Api berkobar di setiap tempat. Rumah-rumah roboh dan terbakar. Jerit tangis dan ketakutan bersahutan dari berbagai arah. Kedamaian yang semula ada di depan mata tiba-tiba berubah menjadi tragedi dalam sekejap. Jungwon bertanya-tanya, bagaimana?
"Penyihir! Bunuh semua penyihir!" Barisan pria bersenjata –mungkin tentara berlari dengan derap langkah kaki yang keras.
Jungwon melihat sepasang ibu dan anak ditebas di depan matanya. Pria yang membunuh mereka berkata, "Para penyihir ini telah menjual jiwa mereka ke iblis dan mereka harus dimusnahkan demi kedamaian negeri ini."
Sepertinya Jungwon tahu situasi macam apa yang menimpa mereka. "Perburuan penyihir. Aku tidak boleh diam saja. Aku harus mencari mereka!"
Hanya beberapa langkah dari tempatnya, Jungwon bertemu dengan Roselia yang sedang menggambar sebuah pedang dengan tangan gemetar. Akan tetapi, mungkin karena dia masih belajar dengan sihirnya, senjata yang ia gambar tidak jadi tepat waktu.
Jungwon langsung memejamkan mata tatkala pedang itu terayun. Lututnya jatuh ke tanah bersama teriakan Phobos yang memanggil nama Roselia begitu pilu.
Karena takut, Jungwon langsung memutar arah sambil menutup mata. Begitu ia sampai entah di bagian mana desa, Alster berlari melewatinya. Gadis itu berhenti saat dia melihat seorang anak laki-laki dipojokkan oleh moncong-moncong senapan.
"Berhenti! Jangan lukai Vascal!" perintah Alster dan para tentara itu pun mundur mematuhinya.
"Tidak, jangan..." Mata Jungwon membelalak ketika ia melihat tentara lain berlari di belakang Alster sambil mengangkat pedang. "Alster!"
Darah terciprat sampai ke tubuh Jungwon. Di hadapannya, tubuh kecil Alster jatuh bersimbah darah.
Jungwon menggeleng dengan tatapan tak percaya. "Ini tidak benar. Kenapa Alster mati? Seharusnya dia tidak mati karena Alsteris masih hidup sampai saat ini. Ada yang aneh... Ada yang aneh di sini."
Ander yang baru sampai di tempat itu langsung oleng ke tanah menyaksikan kematian adik bungsunya. Tangisannya berubah jadi murka dalam waktu singkat. Dengan tangannya, seluruh tentara yang ada di depan matanya ditarik ke sana kemari. Beberapa dihantamkan ke dinding sampai kepalanya hancur, sedangkan beberapa lainnya disobek sampai jadi potongan-potongan.
Waktu itu, Jungwon lupa bahwa seluruh tindakannya tidak akan memberi pengaruh pada apa yang terjadi di sana. Tidak peduli berapa kali pun Jungwon berteriak sambil berusaha melindungi warga desa yang tidak bersalah, mereka tetap mati. Karena apa yang Jungwon lihat, semua situasi yang dia alami sekarang sesungguhnya hanyalah ingatan belaka.
Pembantaian itu berhenti ketika seluruh tentara sudah mati di tangan Ander. Hujan deras turun dan memadamkan api yang membakar rumah-rumah. Akan tetapi, semuanya tidak selesai sampai di sana.
Lotte tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya berdiri diam menatap mayat Alster untuk waktu yang lama, sampai matahari terbit, lalu tenggelam lagi.
Di bawah sinar rembulan, sorot mata Lotte yang teduh dan lembut menggelap. "Aku akan memusnahkan manusia. Semuanya."
.
.
Jungwon tahu kalau semua ini hanyalah ingatan dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencegah tragedi ini terjadi. Meski begitu, tetap saja Jungwon merasa takut dan menyesal.
"Apa yang akan terjadi pada kita setelah ini, Solace?" tanya Peridot sambil memeluk lutut.
Solace hanya menjawabnya dengan gelengan. Dia menyelesaikan nisan terakhir, lalu duduk di samping saudara kembarnya.
Di antara keheningan yang menyelimuti mereka, suara ledakan dan teriakan terdengar dari kejauhan. Sisa penyihir yang masih hidup mengikuti Lotte dan Ander dalam misi mereka memusnahkan manusia. Jungwon dapat melihat asap hitam membumbung di antara pegunungan tak jauh dari tempatnya berada sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
POLARIS: The Academy of Magic | ENHYPEN
FanfictionJungwon menghabiskan hari-hari dengan menghindari penagih hutang yang mencari ayah brengseknya. Ketika Jungwon mulai putus asa akan masa depan, ayahnya memberitahu Jungwon sesuatu yang tak masuk akal. "Ibumu adalah seorang penyihir." !baku!