20

435 52 7
                                    

Hukuman itu berlangsung mulai hari ini. Geng Hansel dan geng Harlan diam berada dalam satu mobil lebih tepatnya truk pengangkut pasir. Truk pengangkut pasir itu membawa mereka dari awal Bandara Internasional Syamsudin Noor yang katanya berada di daerah Banjarbaru.

Kedua geng sama sekali tidak menyangka mereka akan satu kendaraan. Hal yang lebih parah mereka tidak menggunakan mobil pribadi melainkan truk. Mereka benar-benar seperti anak buangan dari kampus.

"Huwek!"

"Anjir, siapa itu muntah?!" teriak Ravin dengan menutup hidungnya.

Yolan yang melihat justru tertawa terbahak-bahak. Ia menunjuk ke arah Galen yang muntah menggunakan plastik hitam. Ravin yang melihat seketika menjadi mual. Ravin berdiri dengan dadakan membuat truk sedikit oleng.

"Eh, anjing! Pelan-pelan! Kalo nih truk jatuh tanggung jawab!" teriak Miko menatap tajam Ravin yang tengah berada di pinggir truk dan mengeluarkan isi perutnya.

Berbeda dengan Jay meringis melihat teman-temannya yang sudah tepar. Padahal mereka masih dalam perjalanan. Mereka kurang yakin seberapa jauh lagi perjalanan yang akan ditempuh.

Hansel dan Arka berbicara satu sama lain. Hal itu membuat atensi Harlan tertuju kepada kedua lelaki itu. Harlan tidak tahu lagi mau berbuat, seperti apa.

"Gue cuman tau kita bakal ke Desa Loksado. Kalo diliat-liat dari maps tinggal 4 jam lagi," kata Arka dengan menunjukkan ponselnya kepada Hansel.

"Hah, 4 jam lagi! Anjir, habis ini isi perut gue jadi usus goreng!" pekik Galen yang terkapar dengan memegang perutnya.

"Lama juga, ya? Moga aja bisa diantar sampai tujuan," harap Hansel dengan menatap terpal berwarna biru.

Namun, berbeda dengan kenyataannya. Hansel melotot menatap supir yang telah mengantarkan mereka. Mereka ditinggal di tengah jalan, padahal masih cukup lama jika melihat dari maps.

"Pak, yang benar ini kami ditinggal di sini? Ini masih 9 km loh, Pak? Jika kami ada motor kami menerima dengan baik, tetapi ini kami jalan kaki. Nantinya kami cuman kecapean di jalan, Pak," ucap Hansel dengan menunjukkan ponsel Arka yang masih bisa membuka maps.

"Yakin lo, Hansel? 9 km! Tepar di jalan ini kita, mah! Arlan yang enigma aja nggak tentu sanggup apalagi kita!" protes Jay yang sudah berkeringat padahal mereka belum memulai jalan kaki.

"Bang Han di situasi kayak gini mana mungkin boong!" seru Yolan yang terlihat sudah sangat depresi.

Varo yang mendengar seketika hanya bisa mengumpat, padahal lelaki itu biasanya sangat sabar dibandingkan teman-temannya yang lain. Ia hanya tidak bisa membayangkan berapa jam mereka akan bisa mencapai puncak. Ia juga mengkhawatirkan Galen dan Ravin yang sudah tidak sanggup melanjutkan perjalanan.

"Hust, kalian jangan ada yang berbicara kasar di sini! Desa ini masih berkaitan dengan mistis takutnya kalian tidak baik-baik saja. Saya juga hanya mengikuti perintah dari pemerintah yang juga dapat perintah dari universitas kalian."

"Baik, terima kasih, Pak," ucap Harlan dengan menundukkan tubuhnya.

Harlan yang diam dari tadi seketika bergerak dengan mengangkut barang-barangnya. Ia berjalan meninggalkan kelompok mereka tanpa mengatakan apapun. Ia bersusah payah mengangkut barangnya yang cukup banyak hampir dibilang banyak.

Teman-teman Harlan juga ikut bergegas membawa barang. Waktu membawa barang mereka terlihat sangat suram dan pucat terutama Galen. Keempat lelaki itu menyusul Harlan dengan terburu-buru.

"Baik, kami berterima kasih kepada Bapak. Bapak sudah bisa pergi," ucap Arka dengan tersenyum.

"Ayo cepat ambil barang-barang kalian! Kita harus nyusul mereka. Kita nggak boleh ketinggalan rombongan mereka," ajak Hansel dengan membawa ranselnya.

***

Sembilan pemuda itu berjalan dengan menyeret tubuhnya yang sudah berat. Mereka terus berjalan, tetapi tidak menemukan sebuah desa. Mereka juga melewati beberapa rumah atau tempat wisata untuk menanyakan arah.

"Haish, katanya sebentar lagi sampai. Tapi gue ngerasa tuh puncak nggak ada habisnya!" gerutu Yolan dengan berjongkok. Ia menyatakan bendera putih untuk saat ini. Kakinya sudah tidak sanggup untuk melangkah jauh.

"Lemah banget," sindir Jay yang menatap Yolan.

"Ngejek gue lemah, tapi liat dulu teman lo kek gimana!" cibir Yolan dengan menatap tajam Jay. Tangannya menunjuk kepada kedua lelaki yang terdampar di atas jalan.

Jay hanya menatap malu ke arah Galen dan Ravin. Kedua lelaki itu tampak tiduran di atas aspal. Kedua lelaki itu terlihat malas waktu dipaksa Varo untuk berjalan lebih jauh.

"Ya, Tuhan! Kenapa pihak kampus jahat banget sama kita-kita?!" seru Galen dengan raut wajah menyedihkan.

"Bokap gue kenapa nggak mau nyari cara lain biar nggak dihukum kek gini! Aduh, demi Tuhan! Capek banget," lirih Ravin yang merasa otot kakinya akan pecah.

"Kalo kalian mau balik juga bisa," ucap Varo yang akhirnya bersuara.

"Gimana caranya?!"

"Cari anjing liar atau babi hutan. Nanti dia yang bakal antar lo pulang," celetuk Varo lalu meninggalkan keduanya yang hidup penuh drama.

"Bukannya pulang beneran malah pulang ke rumah Tuhan itu, mah!" teriak Galen dengan pasrah.

Akhirnya setelah penuh banyak drama. Sembilan pemuda itu kembali berjalan naik semakin ke atas. Kaki terasa berat, tetapi mereka paksa karena hari sudah semakin gelap. Mereka hanya takut bertemu dengan hewan buas yang siap menyantap mereka kapan saja.

Senyuman mereka terbit tatkala melihat sebuah desa. Desa yang berada di puncak Meratus itu mereka jumpai dengan keadaan susah payah. Hansel membuka ponselnya dengan mengabadikan setiap pemandangan yang ada dijalan.

Mereka yang masih agak sehat membantu beberapa yang kelelahan. Mereka dibantu oleh penduduk desa yang melihat mereka di depan desa. Akhirnya mereka bisa melakukan istirahat.

"Bungas banar bubuhan pian. Sapa ngaran bubuhan pian, dingsanak?" (Kalian ganteng sekali. Siapa nama kalian, saudara?)

Hansel menatap teman-temannya. Teman-temannya juga menggelengkan kepala. Ia juga menatap ke arah geng Harlan yang cuman diam tanpa mengatakan sesuatu.

"Oh, iya. Maaf saya lupa karena kebiasaan pakai bahasa Banjar. Jadi nama kalian siapa?"

Hansel tersenyum dan mulai memperkenalkan namanya juga nama teman-temannya. Ia juga menyerahkan kepada Harlan tanpa memberikan tatapan kebencian. Selama di sini mereka harus berbuat sopan dan baik agar tidak mencoreng nama baik kota mereka.

"Sebelumnya perkenalkan Mamut Dehen. Panggil saja saya Ahen. Di sini saya kepala desa jadi jika ada masalah apapun kalian bisa lapor ke saya," ucap Ahen yang menggunakan dialek lokal. "Saya akan mengantar kalian ke tempat tinggal kalian selama 1 bulan ke depan. Ayo ikuti saya!"

Mereka bersembilan mengikuti langkah dari pak Ahen. Ternyata mereka di tempatkan pada sebuah rumah kayu dengan ada sebuah tangga. Di bawahnya terlihat ada lubang karena rumah tidak menyatu pada tanah.

"Semoga rumah ini bisa muat untuk kalian berlima. Jika begitu saya tinggal," ucap Ahen yang meninggalkan mereka bersembilan.

***

Jangan lupa vote dan komen:v
Makin absurd deh mereka🫡
Lanjut!!

Dendam ParalelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang