Demi keamanan bersama Cerita ini tidak sepenuhnya lengkap. Untuk versi lengkap nya bisa DM aja :v
Pagi ini, bukan suara alarm yang membangunkan Hikaru.
Pertama, dia lupa memasangnya. Kedua yang amat sangat menjengkelkan adalah fakta bahwa suara dengkuranlah yang memaksanya menyambut matahari.
Sial. Bahkan suara alarm-nya yang nyaring kini terdengar lebih baik daripada dengkuran kencang plus dekapan yang ia terima kini.
" Oi, bangun sialan."
Hikaru meronta minta dibebaskan oleh seorang yang sejak tadi malam telah menyanderanya, atau kurang lebih seperti itu (Hikaru hanya ingin terdengar dramatis).
Orang yang menjengkelkan, arogan, dan bajingan kalau Hikaru boleh menambahkan dan yang telah membuat masa perkuliahan Hikaru menjadi jauh lebih berat karena tingkahnya yang diluar kata normal.
Orang sinting yang selalu menjadi musuhnya, saingannya, dan beberapa hal negatif lain yang tidak bisa ia jabarkan dalam satu paragraf.
Dan orang ini pula yang semalam namanya ia teriakkan keras-keras.
Ironic.
Sungguh Hikaru ingin sekali mengasihani dirinya sendiri.
" Huh? Lima menit lagi."
Dekapan itu kian menguat.
Ten yang tubuhnya jauh lebih besar, jauh lebih tinggi, memanfaatkan itu untuk menenggelamkan wajah Hikaru ke dalam dadanya.
" Lepaskan tanganmu! Aku mau mandi!" Hikaru kembali meronta.
" Buru-buru sekali, memangnya kau mau kemana?"
" Sudah kubilang 'kan semalam?" Ia mendorong wajah Ten, masih mencoba melepaskan diri.
" Aku ada kelas Profesor yang jam sembilan nanti."
" Apa?"
Dekapan itu melemah.
Hikaru memanfaatkannya untuk melarikan diri sejauh mungkin dari ranjang dan pergi ke kamar mandi.
Tidak peduli dengan rengekan Ten yang terus meminta untuknya kembali dan menghabiskan pagi mereka dengan bermalas-malasan.
Setelah mengunci pintu kamar mandi, Hikaru dihadapkan dengan sebuah cermin besar. Ia lantas berdiri di depannya, mengecek setiap sudut tubuhnya guna menemukan bekas-bekas kemerahan yang telah Ten hadiahkan padanya semalam.
"Akan kubuat sebanyak mungkin supaya kau bisa pamer." Begitu katanya.
" Bocah kurang ajar."
Hikaru meraba bagian lehernya yang terdapat tanda kemerahan.
Butuh dua puluh menit bagi Hikaru untuk membersihkan badan. Biasanya ia butuh lebih banyak waktu daripada sekarang, tapi mau bagaimana lagi, dia masih perlu menyiapkan banyak hal sebelum kelas di mulai jam sembilan nanti.
Namun saat hendak melangkah keluar, ia baru menyadari sesuatu.
" Ten, bawakan aku handuk." Ia terpaksa meminta tolong.
Sejauh ini tidak ada respon.
Apa si raksasa itu sudah tertidur lagi? Kalau benar, Hikaru akan menghajarnya nanti.
" Ten, handuk!"
Masih tidak ada respon.
" YAMASAKI TEN! KUBILANG BAWAKAN AKU HANDUK, KAU TIDAK DENGAR? "
Sayangnya, masih belum juga ada respon.
Terpaksa, Hikaru pun keluar dari kamar mandi dengan keadaan bertelanjang bulat.
Saat ia hendak memarahi Ten sialan yang sudah mengacuhkannya, tiba-tiba ia mendengar suara jepretan dari seseorang yang telah mengambil foto lewat ponselnya.
Hikaru mengerjakan.
" Oh, lumayan juga."
Itu adalah Ten. Yang kini tengah memandangi hasil bidikannya sambil tersenyum jahil.
"Akan ku unggah di instagram dengan caption:
' Run si gadis yang menyukai kebebasan'. "" Lakukan itu dan ku pastikan hari ini akan menjadi hari terakhirmu melihat matahari."
" HAHAHAHAHA! "
Masih tanpa pakaian sehelaipun, Hikaru kini berlari dan menerjang Ten yang masih berbaring di ranjangnya disertai suara tawa yang kencang.
Telinga Hikaru dibuat berdenging. Tawa itu, demi Tuhan, Hikaru ingin sekali melenyapkan tawa itu dari muka bumi ini.
" Berikan padaku! "
Hikaru berhasil mengambil ponsel pintar milik Ten dan menemukan fotonya itu.
Meski terlihat seksi dan lumayan menurut dirinya sendiri, tapi untuk keselamatan, Hikaru pikir ia perlu membuang foto itu dari galeri.
" Kau sangat tidak asyik." protes Ten yang mana membuatnya di hadiahi sebuah pukulan sayang menggunakan bantal tercintanya.
" Kau sendiri sangat tidak waras." Ledek Hikaru.
Ten menahan pukulan Hikaru kali ini, kedua tangannya memegang lengan di Hikaru dan matanya menatap lekat-lekat.
" Kau pikir siapa yang sudah menghilangkan kewarasanku, ha?"
Itu bukan pertanyaan yang akan Hikaru jawab.
Hikaru terus diam seakan baru saja terkena sihir. Ia tidak memberontak. Tidak pula ia mengelak bahkan saat wajah Ten kian mendekat membiarkan si jangkung itu bergerak maju, mengambil dagunya untuk diangkat, dan meraih bibirnya untuk dicium.
Ugh.
Dalam hangat memabukkan seperti itu rasanya seorang Yamasaki Ten. Seakan-akan semua hal yang menjengkelkan dari dirinya lenyap begitu saja.
Tergantikan oleh sebuah perasaan aneh tapi juga nyaman yang membuat perut Hikaru terasa seperti tergelitik.
Membuat otaknya memohon agar waktu bisa berhenti, sehingga mereka bisa melakukan ini lebih lama lagi.
Ahh, benar-benar sial.
Dan untuk kesekian kalinya, Hikaru di buat kalah.