Siang itu, Ten tengah berjalan santai menuju kantin fakultas hukum ketika matanya secara tak sengaja menangkap sosok Hikaru yang sedang duduk sendirian menikmati makanannya.
Tidak heran, pukul dua belas siang memang waktu yang ideal untuk mengisi perut.
Tapi tumben sekali anak itu duduk sendirian? Apa dia memang sedang menunggu seseorang? Seperti Ten misalnya?
" Bro, aku tau kau akan mengganggunya, tapi kasihani dia sedikit."
Fujiyoshi, kawannya sejak dari SMA menahan langkah Ten sebelum dia bergerak mendekati Hikaru.
Seakan tau bahwa si jangkung hanya akan datang untuk mengganggu, ia melakukan tindakan pencegahan sebelum peperangan dimulai.
Ya, Ten dan Hikaru, keduanya dikenal sebagai musuh bebuyutan satu sama lain.
Tidak ada kedamaian saat kedua insan itu bertemu.
Entah sejak kapan tepatnya bendera permusuhan itu berkibar, namun yang jelas, menempatkan keduanya dalam satu ruangan yang sama dapat mengundang sebuah badai besar.
" Kemarin dia baru saja kalah darimu di pemilihan Presiden mahasiswa. Beri dia waktu untuk sendiri." Fujiyoshi melanjutkan sarannya.
Ah, tentang kekalahan itu, Ten merasa dirinya tidak perlu bersimpati. Sebab kekalahan Hikaru adalah hal yang amat sangat ia tunggu kedatangannya.
Bermula ketika anak itu sesumbar untuk mengajaknya taruhan tentang siapa yang akan terpilih menjadi Presiden Mahasiswa selanjutnya.
Hikaru saat itu sangat percaya diri, berkata bahwa jika ia kalah dari Ten, maka ia rela melakukan apapun untuk membayarnya.
Ten tentu menyambut taruhan tersebut dengan tangan terbuka, mengingat hadiah-nya terdengar amat sangat menggiurkan.
Lalu hari itu pun terjadi. Tepatnya kemarin, Ten mendeklarasikan kemenangannya setelah pemungutan suara usai.
Dia sangat ingat wajah Hikaru yang mendadak pucat kala ia merangkul gadis itu untuk mengejeknya.
Dan hari itu pula, Ten rela melewatkan pesta perayaannya dan memilih untuk bermain dengan Hikaru di apartemennya.
Jujur, ia sempat berpikir bahwa Hikaru akan menolak.
Bahkan saat saling berhadapan di tempat tidur pun Hikaru masih bersikap setengah hati.
" Tampar aku kalau kau tidak ingin melanjutkannya." Begitulah ia memberi pilihan.
Namun meski di iringi dengan sumpah serapah dan umpatan-umpatan lainnya, ternyata Hikaru tidak kunjung menamparnya yang mana dapat di artikan sebagai lampu hijau.
Dan itulah cerita bagaimana Hikaru bisa berakhir di ranjangnya tadi pagi.
" Kudengar dia juga di bantai habis-habisan oleh profesor tadi pagi." Fujiyoshi kembali menginformasikan.
" Tau dari mana?" nada suara Ten sedikit meninggi. Agak terganggu dengan fakta bahwa kawannya lebih banyak tau soal Hikaru di banding dirinya.
" Pacarku yang bilang."
Mereka berdua kini berdiri untuk mengantri membeli makanan.
Kedua mata Ten masih memperhatikan Hikaru yang sibuk sendiri dengan makanannya.
Berniat untuk memberitahukan keberadaannya, maka ia pun mengirimkan sebuah pesan singkat untuknya.
Ten: Kau terlihat jelek.
Tidak butuh waktu lama untuk Hikaru menerima pesannya.
Ten tersenyum jahil saat melihat Hikaru menengok kesana-kemari. Mencari eksistensi sesorang yang baru saja mengiriminya pesan.
Dan begitu mata mereka bertemu, Ten spontan menjulurkan lidahnya.
Tidak mau kalah, Hikaru mengacungkan jari tengahnya.
Hikaru: Berhenti mengikutiku. Dasar stalker!
Alis Ten menukik saat menerima pesan balasan dari Hikaru.
Ten: Kau pikir di kampus ini hanya kau saja yang kelaparan?
Hikaru: Terserah. Jangan ganggu aku.
Ten lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket dan kembali mengantri dengan damai.
Biarlah untuk kali ini saja, ia akan melepaskan Hikaru dan membiarkannya sendirian.
" Ayo! "
Setelah selesai membayar makanannya, keduanya lalu bergegas mencari tempat duduk.
Saat melewati meja yang ditempati Hikaru, Ten meliriknya sesaat sebelum akhirnya ia kembali berjalan dengan santai.
Hikaru tentu saja bingung.
Terutama ketika sebuah susu kotak rasa stroberi tiba-tiba hadir di hadapannya secara ajaib.
Setelahnya, ia mendapat sebuah pesan baru yang pada akhirnya menjawab kebingungan yang sempat lewat di benaknya.
Ten: Minumlah supaya kau tumbuh tinggi sepertiku.
" BERENGSEK."