14

2.1K 241 27
                                    

_HTK_

Shani kini hanya bisa menangis memandangi layar ponsel yang menampilkan ratusan pesan teruntuk Zean, tapi tak ada respon sama sekali. Shani menelpon Zean pun sama saja tidak diangkat. Sebenarnya setelah kepergian Zean tadi dia ingin menyusul, tapi kondisi seakan tak memihak. Tiba-tiba kepala Shani sakit dan sekarang malahan jatuh demam.

"Ayolah angkat, kamu salah paham," gumam Shani sambil terus mencoba menelpon Zean.

Pintu kamar terbuka menampilkan sang Mamanya yang membawa nampan bersisi makanan. "Masih nangis?" Mama Shani sampai lelah melihat anaknya yang terus menangis. Ia sudah tau apa yang anaknya itu alami dengan pacarnya. Ia juga sudah memberi saran untuk memberi Zean sedikit waktu menenangkan diri. Siapa tau Zean masih terbakar emosi, butuh waktu untuk sendiri.

"Maa, bantuin Shani. Zean dari tadi ga mau bales atau pun angkat telpon aku," rengek Shani meminta bantuan.

"Huh, kan Mama udah bilang beri Zean waktu dulu. Jangan terus diganggu. Besok pasti Zean udah siap dengerin penjelasan kamu," kata Mama Shani sambil meletakkan nampan di atas nakas lalu duduk di sisi tempat tidur.

"Tapi Shani ga tenang. Zean salah paham. Aslinya tadi Shani bisa pulang karna syarat dari Aran agar jam tangan itu kembali Ma," jelas Shani lagi.

"Iya Mama paham, kita tunggu sampai besok. Kalau besok Zean masih marah sama kamu, Mama akan bantu jelasin. Sekarang kamu makan dulu dan minum obatnya," kata Mama Shani seraya tangannya memegang kening Shani yang masih terasa panas, tapi sudah lebih baik.

"Apa Shani mogok makan aja ya Ma biar Zean mau dateng ke sini?" pikir Shani.

"Sekalian aja ga usah makan selamanya. Kamu cari makan sendiri. Mama biar enak berkurang bebannya," jawab Mama Shani enteng lalu beranjak keluar kamar.

"Ih Mamaaaa~" rengek Shani.

~HTK~

Di sisi lain Zean duduk di tepi jalan dengan memegang segelas kopi hangat. Sangat cocok diminum di malam yang dingin ini. Seperginya dari  rumah Shani, Zean jalan tanpa arah. Dia menonaktifkan ponselnya karna tak ingin di ganggu oleh siapa pun. Hingga tanpa terasa malam menghampiri. Dia tak peduli dengan luka yang sampai sekarang belum terobati. Bahkan rasa sakit akibat kecelakaan itu tak sebanding dengan rasa sakit karna cemburu.

Hingga kaki Zean lelah, dia berhenti di sebuah pedagang asongan yang sedang mangkal dan banyak pembeli. Zean memesan segelas kopi yang dia nikmati sekarang sambil memandang jalanan yang cukup ramai malam ini.

Zean pov.

Aku masih merasa kesal mengingat kejadian tadi. Bagaimana Shani bisa pulang dengan cowo itu? Kenapa tidak memintaku saja untuk menjemput jika memang tak ada kendaraan untuk pulang? Kenapa harus Aran? Aku tau Aran menyimpan perasaan pada Shani, sangat jelas sekali. Aku harus berhati-hati dan menjaga Shani. Karna mau bagaimana pun Shani milikku.

Hubunganku dengan Shani sudah berjalan cukup lama. Aku tak menyangka dapat bertahan selama ini. Apalagi ini adalah pengalaman pertamaku. Di sisi lain aku takut, jika Shani bosan dengan aku yang hanya seperti ini saja. Tak ada yang spesial bagiku. Aku ya hanya aku. Mencintai Shani dengan caraku sendiri.

Di sisi lain juga sebuah pikiran mengganggu kepalaku. Mengapa Shani tidak mengejarku? Tidak adakah sebuah usaha yang dia lakukan? Apa harus aku yang terlihat selalu mengejarnya? Apa ternyata benar diam-diam ada kedekatan antara Shani dan Aran?

Berbedanya tempat mencari ilmu membuat kami tidak bisa saling memantau satu sama lain. Kepercayaan dan kesetiaanlah yang menjadi penguji. Aku berharap akan segera lulus dan menyusul satu universitas yang sama dengan Shani. Agar keresahanku segera sirna.

HANYA TENTANG KITA II [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang