1. Persoalan Seragama

4 0 0
                                    

1. Persoalan Seragam
1. Seragam Bisa Jadi Salah
"Ini hanya kebetulan," Ucap Syanah menatap diam.
"Kenapa kamu?" Zaen menatap bingung.
"Coba kau lihat di depan sana. Mereka sedang memakai topeng. Lucu sekali kita." Syanah duduk di samping Zaen yang sedang bercucur keringat seusai main futsal.
"Pikiranmu sinting, terlalu banyak halu. Jangan mengada-ngada yang tidak ada. Sok hebat!" Zaen sambil sedikit mendorong kepala Syanah tertawa lucu.
Dalam tatapan kosong sambil meminum seteguk demi seteguk air dalam botol, Zaen ingin melangkah dan lanjut bermain futsal bersama teman-temannya. Langkah pertamanya ditahan oleh Syanah dengan sikap tegasnya.
"Apa, sih?" Zaen mengernyit.
"Dengar sekejap. Kau lihat di sana, kan? Kemarin mereka adalah mereka. Sekarang mereka adalah bertopeng monyet." Ucap Syanah serius.
Seketika Syanah memegang kedua pundak Zaen, lalu mendorongnya kuat seraya berkata;
"Sana kau bermain, dungu." Syanah beranjak berbalik arah dan mencari toko sekitar.
Dalam panasnya suasana, Zaen seolah masih bertanya-tanya kebingungan.
"Kayak Anjing saja. Gila. Untung kau perempuan." Zaen membuang ludah dan berlari menuju lapangan.
Syanah gadis cantik militan yang lebih memilih jalan sendirian dengan yang dimiliki. Hidup sendirian tanpa bapak dan ibu ataupun saudara. Neneknya bernama Suratih, terkenal dengan panggilan bibi Ratih, walau jalannya sudah sangat bungkuk, selalu bergelar bibi. Bahkan tanpa sadar, teman-teman Syanah sekitar rumah memanggilnya bibi juga. Rumahnya berjarak 10 meter dari bibir jalan raya. Sejak dulu hingga sekarang, pekerjaan neneknya adalah menjual kayu bakar yang dipilihnya di hutan. Untunglah sejak dulu sampai berganti zaman, rumahnya beratap model dulu, gubuk hingga sekarang tak ada perubahan. Di pinggir jalan ada gubuk beratap alang-alang digunakan untuk menjual kayu-kayu bakar. Setiap selesai pulang sekolah, tempat bertengger Syanah adalah gubuk tersebut sambil menjaga jualan kayu bakar sang nenek.
"Pak, ini berapa?" Tanya Syanah sambil memegang minuman gelas berwarna.
"Dua ribu,"
Syanah membayar dan beranjak.
Dalam perjalanan beberapa meter menuju lapangan, ada seorang ibu separuh baya mengendarai sepeda, tiba-tiba buah-buahannya bertebaran di jalanan. Tanpa disadari, kalau ada bagian yang robek pada karung goni berwarna coklat tersebut. Syanah langsung berteriak memberi tahu dan menyuruh ibu tersebut berhenti.
"Ada apa, Nak?" Suara ban sepeda direm.
"Ibu tidak sadar? Buah-buahnya berceran sepanjang jalan." Ucap Syanah terengah.
"Lah," Ibu tersebut sedikit terkejut melihat buah jeruk beriringan tercecer sepanjang jalan. Entah sudah jarak berapa meter. Turun dari sepeda tuanya dan memilih buahan yang berjatuhan.
Syanah ikut memilih.
"Orang-orang juga kasih tahu dari tadi, hanya ibu terlalu laju, keasikan. Sampai tidak dengar." Syanah tertawa.
"Iya. Saya tidak dengar."
Sambil mendorong sepeda tuanya perlahan, mengitari jalan sebelumnya sambil memilih buah yang berjatuhan. Seusai ini, Syanah mendapat sekantong buah jeruk manis.
"Terima kasih sudah bantu, Nak." Menyodorkan sekantong jeruk.
"Ibu mau ke pasar. Mau jualan dulu." Sambung wanita separuh baya itu dengan senyuman manisnya.
"Kasih diterima. Yang layak dilakukan adalah bergerak membantu memilih buah-buah yang berjatuhan lalu, taro kembali ke tempat semula." Syanah tersenyum.
"Anak baik hati." Sang ibu menepuk pundaknya.
"Bukan, Ibu. Yang mesti dilakukan, seharusnya disuruh bertindak begitu. Hati hanya simbol saja untuk dinilai baik atau tidak."
"Iya sudah. Ada-ada saja kalian yang sekolah banyak ilmu dan pintar. Kamu itu, anak baik pokoknya. Ibu ke pasar, dulu." Ucap wanita separuh baya menepuk pundak Syanah, tersenyum dan beranjak.
Syanah berjalan perlahan menuju lapangan sambil memegang sekresek jeruk. Matahari semakin menjulang, dahinya mengkerut, berkeringat, dan terus saja melangkah. Semua teman-temannya memakai pakaian sesuai permintaan guru olahraganya. Hari ini adalah pertemuan beberapa sekolah dengan seragam yang berbeda. Kali ini Syanah memakai pakaian olahraga sekolah yang berlaku pada umumnya. Bukannya tidak mampu membeli seragam bola, hanya saja ada kebutuhan mendesak lainnya yang harus didahulukan; makanan, dan kebutuhan sehari di rumah. Ini juga bukan masalah ketika tidak memiliki seragam tersebut. Lalu, masalahnya ada di mana? Kala itu, iya beranjak duduk di bawah tribun lapangan yang beratap, lalu dihampiri oleh beberapa temannya yang tidak berseragam baru juga.
"Syanah, kok tidak sama-sama dengan Rani, Sesa, Zakiah? Kau ada masalah?"
"Itu hanya rasamu saja. Ketika tidak bersama sekarang, apa berarti ada masalah?" Syanah tersenyum datar.
"Ya, sapa tahu. Kan tidak biasa." Denish.
"Coba ambil keputusan itu pakai berpikir. Jangan hanya pakai dugaan saja."
"Eh, kau tahu dugaan itu berasal dari mana?" Syanah menahan tangan Denish sambil tersenyum lucu.
"Yaa dari pikiran lah." Denish menepuk pundaknya.
"Wahh, terlalu umum." Syanah memecahkan tawa lagi.
Denish tersenyum melihat ke arah Syanah sambil menganggukkan kepala. Masih dalam suasana yang sama, betapa banyak siswa-siswi dari beberapa sekolah di kota S. Dari kejauhan, Zaen memandangi Syanah sambil menunjuk. Denish melihat penuh keheranan.
"Sebelum kau bertanya kenapa, saya jawab. Zaen penasaran dengan pernyataan saya kalau semua manusia memakai topeng monyet tak terlihat." Syanah tertawa lepas.
"Haaa?" Semua mata melihat ke arah Syanah dengan tingkah koplaknya.
"Kau cukup aneh dan gila. Atau kau memang sedang mengalami gangguan jiwa, Syanah." Denish mengernyit.
"Sak karepmu, wes." Tegas Syanah sambil mengupas satu buah jeruk dan membagi ke teman-temannya.
Beberapa menit berlalu, Syanah yang sedang menikmati berbagi cerita jenaka dengan Denish dihampiri Zaen yang datang dengan membuat Syanah cukup terkejut.
"Nah, itu Syanah." Zaen menghampiri Syanah yang tidak melihat kedatangan Zaen.
Perlahan langkah kaki menghampirinya. Bagai hiruk pikuk dengan gabungan beberapa sekolah, Denish yang berhadapan arah dengan Zaen mulai kaget karena langkah kakinya kini sudah sangat dekat. Denish mencolek Syanah yang begitu serius merespon segala ceritanya. Sekali lagi mencolek dengan mata melotot yang menyoroti kedatangan Zaen. Syanah menoleh seketika dan kembali menghadapkan wajah ke arah Denish. Ia terkejut, seolah ada magnetik yang mengirim respon cepat pada otaknya akan bayangan Zaen.
"Eh kau Zaen," Kaget melihat kedatangan Zaen, tubuhnya terperanjat dan menatap.
Bayang-bayang menghantuinya karena cemas jika Zaen akan berlaku usil sebagai hubungan timbal baliknya tadi yang demikian usil. Tapi, di luar dugaan.
"Saya mau tagih utang. Saya mau dengar penjelasanmu tentang manusia bertopeng monyet. Yaa walaupun saya sudah punya jawaban sendiri tentang itu. Tapi jawabannya kau sepertinya berbeda." Zaen menatap Syanah sambil melap keringat di dahinya.
"Wahhh," Sambil memegang dadanya, menarik nafas karena takut jika Zaen bertindak semena kepadanya.
"Okey, sambil saya makan jeruk ini, ayok jelaskan." Duduk di samping Syanah sambil mengambil sebuah jeruk di dalam kresek samping kiri Syanah.
Semua terdiam melihat Syanah dengan penuh penasaran. Denish mulai kebingungan. Melihat mereka semua yang begitu serius, Syanah langsung merampas sebuah jeruk yang hendak dikupas kulitnya oleh Zaen dan beranjak cepat untuk pergi.
"Kalau mau dengar, ayo sambil jalan pulang saja." Teriak Syanah.
"Agh. Sial." Zaen langsung mengikuti Syanah.
Denish penasaran dan mengikuti mereka.
"Saya ikut. Tunggu!" Denish lari mengitari.
Dalam perjalanan, Syanah mengangkat pembicaraan.
"Memangnya menurut kamu, apa maksud saya tadi, Zaen?"
"Kalau saya berpikir, maksud kamu bahwa semua manusia itu berpura-pura baik, padahal mereka punya banyak kejahatan." Zaen.
"Kenapa kau menilai manusia itu pasti melakukan kejahatan?"
"Iya. Untuk apa Tuhan menciptakan manusia kalau bukan untuk berbuat salah, lalu mereka tahu tempat kembali mereka adalah Tuhan. Ini adalah cara Tuhan supaya hambanya tahu jalan pulang. Dan untuk apa juga Tuhan menciptakan salah dan benar, atau baik dan buruk kalau bukan untuk dialami, dipakai." Zaen tegas.
"Berarti sepanjang permainan futsalmu itu kau sedang berpikir tentang manusia bertopeng?" Syanah.
"Iya, demikian. Kurang itu, tapi bertopeng monyet." Zaen.
"Sumpah saya tidak paham apa yang kalian bahas." Denish meringkih, selain letih otot, ia juga letih otak mendengar penjelasan yang membuatnya tambah pusing.
Melihat Denish yang kebingungan, Syanah merangkulnya sambil menatap Zaen untuk mulai penjelasannya.
"Iya, semua manusia itu bersembunyi dibalik topeng mereka sendiri, namanya topeng abstrak. Mereka berperilaku karena terikat dengan keadaan mereka. Mereka tidak apa adanya. Seperti contoh kecil tadi, adalah Rani, Sesa dan Zakiah, hanya karena keadaan mereka memakai pakaian seragam baru dan saya tidak, mereka sama sekali tidak bersua dengan saya. Seolah-olah tidak saling kenal, padahal ber-pas-pasan. Mereka ber-circle dengan mereka sendiri yang sama. Padahal kau tahu kan, mereka sangat akrab denganku di sekolah. Bahkan segala kesusahan mereka dalam hal pelajaran, saya bantu."
"Kesimpulanmu apa, Syanah? Masih ngambang." Zaen mengernyit.
"Nah, apakan kau bermasalah sama mereka." Denish melotot canda.
Syanah mengelap wajah Denish karena serabut menjawab.
"Ya kesimpulannya, mereka tidak demikian. Itu bukan Rani, Sesa dan Zakiah yang saya kenal. Itu topeng abstrak mereka. Mereka terjebak saja dalam ketidaksadaran."
"Ya berarti kan, mereka sebenarnya jahat. Licik. Sembunyi di balik topeng monyet yang kau bilang tadi."
"Jelas beda, Zaen. Menurutmu bertopeng adalah beridentitas jahat. Tapi, kalau saya, bertopeng adalah menyembunyikan kebenaran. Tidak harus jahat."
"Tapi penjelasanmu dari tadi hanya bilang, bertopeng tanpa ada kata monyet. Kurang berarti penjelasannya." Zaen menatap.
"Kata bertopeng monyet, iya benar. Kata monyet itu hanya fenomena. Pahami kata bertopeng saja lah." Syanah tersenyum lebar.
"Wes. Sak karepmu, Syanah. Cape bahas itu." Zaen merangkul Syanah.
"Wah wah, kebangetan. Jangan sentuh-sentuh." Syanah melepas rangkulan Zaen.
Langkah demi langkah, Zaen bertanya lagi.
"Yang seperti itu, baik atau tidak?" Zaen mengernyit.
"Aduuhhh. Cukuplah bertanya, Zaen. Tidak penting." Denish mengernyit sambil menepuk dahinya.
"Sssttt. Ini penting dibahas, Nish." Syanah merangkul Denish.
"Menyiksa, jawabannya. Manusia akan menjadi insan yang kasihan nantinya." Dengan tegas Syanah menjawab.
"Ada lagi jawaban lain?" Zaen.
"Iya. Implikasinya, manusia ditipu daya oleh pe-rasa-annya. Rasa yang merusak. Dia tidak memakai akalnya sama sekali dalam bertindak. Sadar tidak sadar, demikian." Syanah.
Zaen dan Denish mengangguk-ngangguk. Melihat bayangan dirinya sudah hampir sama panjang, Syanah mengingat neneknya. Saat ini dia sudah harus berada di gubuk menggantikan neneknya berjualan kayu bakar.
"Aaalah. Sudahlah Zaen, saya buru-buru harus pulang ke rumah. Sudah terlalu sore."
"Nish," Sambil menepuk pundak Denish dan berlari pulang.
-------------------------

BALABADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang