2.Buku Bertuan Berpindah Tuan

1 0 0
                                    

2. Buku bertuan berpindah tuan.
"Kan tidak apalah kalau mencuri itu untuk kebaikan," Desuh Syanah di dalam gubuk sambil memegang sebuah buku kesayangannya itu.
"Syanah, sana makan dulu." Nenek menghampirinya.
"Wah, itu buku punya kau?" Sambung nenek memandang.
Terkejut memandangi nenek.
"Saya pinjam, Nek." Wajah panik Syanah sudah sangat dikenali sang nenek.
Mendengar ucapan Syanah yang terlihat gugup, nenek duduk menghampiri di samping Syanah.
"Saya pergi makan dulu." Syanah hendak beranjak.
"Nenek sudah sangat tahu watakmu. Ada apa? Kenapa kelihatan takut? Padahal nenek hanya tanya buku bagus yang kau pegang itu." Nenek tersenyum ramah.
"Bukunya terlihat tebal. Masih terlihat baru. Kau beli?" Nenek memegang lengan tangan kanan Syanah sambil menyeimbangkan duduknya.
Pertanyaan terakhir nenek seolah-olah menguji Syanah tentang hal yang tidak pernah dilakukan Syanah, apalagi bukan buku pelajaran. Bahkan semua buku pelajaran sekolahnya hanya dicopy.
"Begini, Nek. Saya curi buku ini." Syanah menjawab dengan helaan nafas.
Menunggu respon nenek yang marah sudah dalam dugaannya ternyata nihil. Beberapa detik, nenek hanya mengangguk tanpa berkata.
"Nek, saya curi buku ini." Ulang Syanah menatap nenek.
Dengan senyuman datar, nenek bertanya.
"Lanjutkan. Kau ada alasan pasti. Cerita." Keramahan sangat mencuat di wajah nenek.
"Nek, beberapa bulan lalu di sekolah ada seminar yang diisi oleh tamu yang katanya dari ibu kota J. Saya langsung jatuh cinta dengan kepintarannya. Dalam seminar itu, saya mendengar beberapa buku yang diusulkannya untuk dibaca. Termasuk buku yang saya pegang ini."
"Dia pintar?" Nenek dengan keluguannya.
"Dari bicaranya mengangkat suasana menjadi aktif, dari situ saya berkesimpulan dia adalah pintar juga cerdas," Syanah memegang tangan nenek erat.
"Lanjut cerita." Nenek.
"Selesai seminar, saya yang berada di barisan belakang langsung menelusuri ingin menghampiri sambil terus memandangi buku yang dipeluknya itu. Pak Saiful ditemani kepala sekolah masuk ke ruangan tamu bersebelahan dengan ruang kepala sekolah. Saya mengintai dari sisi pintu, sambil terus memandangi buku yang di atas mejanya itu. Ketika itu saya sempat ditegur oleh bu Rosdian untuk membantunya membawa minuman untuk pak Saiful dan kepala sekolah. Saat itu saya jadikan kesempatan emas agar bisa mendapatkan buku tadi. Saya selalu berdoa agar bisa mendapatkan buku tadi. Saat hendak masuk, kebetulan kepala sekolah dan pak Saiful sedang melihat beberapa piagam penghargaan yang terpampang di dinding. Begitu serius mendengar penjelasan kepala sekolah. Dua cangkir kopi bernampan kayu saya suguhkan diiringi ibu Rosdian di belakang saya. Kepala sekolah dan pak Saiful masih saja serius bercengkrama, saat ibu Rosdian balik belakang beranjak, saya berpura-pura merapikan cangkir minuman tersebut seraya mengambil buku bersampul merah hati yang cukup tebal ini dan menyembunyikan di balik nampan yang saya bawa, saya peluk erat. Saya sangat gugup, Nek." Tangan Syanah bergetar karena gugup jikalau nenek akan kaget dengan sikap cerobohnya itu.
"Tidak takut? Apa bisa berjanji sama nenek, buku ini akan dikembalikan?" Nenek tertawa mengelus kepala Syanah.
"Janji, Nek. Ini kan bukan benda yang habis, seperti makanan. Jadi saya pinjam namanya. Pasti saya akan kembalikan." Syanah meyakinkan nenek.
"Iya. Makan dulu." Nenek menyuruhnya segera makan dengan kondisi yang gemulai.
Saat hendak masuk ke dalam, Syanah menghentikan langkah kaki dan mengangkat bicara lagi.
"Tapi, Nek. Ada yang aneh. Seharusnya pak Saiful kaget dan bertanya keberadaan bukunya pada kepala sekolah. Tapi, dia malah diam seolah-olah tidak kehilangan buku ini, sampai dia pulang"
"Dia lihat kau ambil?" Nenek.
"Saya yakin, tidak. Saat saya ambil, mata saya menyipit melihat ke arah mereka. Saya benar-benar gugup kala itu, Nek. Memang benar kala itu tubuh pak Saiful menyamping ke arah saya, tapi tatapannya selalu melihat ke kepala sekolah. Tapi dia sempat melihat kalau saya yang mengantar minuman di runag itu."
"Dan, Nek. Saat hendak pulang, dengan gaya santai dan cerianya, dia memberi selamat kepada  kepala sekolah, ibu Rosdian dan beberapa guru di sana. Sempat dia melihat ke arah saya dengan tersenyum dan sekali mengangguk. Kala itu saya sedang disuruh ibu Rosdian menyapu ruang guru." Berhati besar Syanah bercerita.
"Saya yakin pak Saiful tahu saya ambil bukunya. Tapi dia biarkan. Tidak permasalahkan. Dia biarkan saja. Ini tanda kalau dia izinkan saya ambil buku ini." Syanah menunjukkan perilaku tidak bersalahnya.
"Caramu salah. Sangat salah.Sana makan, dulu. Banyak sekali leluconmu" Nenek sedikit tegas.
Mendengar ucapan nenek, Syanah menunduk bermuka masam, sambil memeluk buku tersebut, ia beranjak masuk ke dalam rumah untuk makan siang.
Angin sepoi pada siang itu membawa nenek tertidur, padahal Syanah meninggalkannya beberapa menit saja. Tubuh yang bungkuk tidak menjadikannya berhenti bergerak untuk melakukan segala aktivitas yang sudah terangkai sepanjang waktu. Dari arah rumah,  desiran gesekan sandal Syanah terdengar ketika ia melangkah menghampiri nenek yang berada di gubuk. Bersamaan dengan itu, dari kejauhan terlihat beberapa orang yang sepertinya akan menghampiri mereka. Semakin mendekat, benar. Mereka hendak menghampiri nenek yang terlihat berada di dalam gubuk. Pakaian mereka sangat rapi, pakaian begitu rapi; atasan putih dan bercelana nilon hitam. Terlihat kece, ditambah atribut lengkap lambang emas di dada mereka bersamaan dengan papan nama. Mereka lebih dulu menghampiri sang nenek. Beberapa detik bercengkrama dengan nenek, Syanah mendapati mereka berucap soal bantuan pemerintah berupa pangan.
"Iya, Nek. Nanti petugas kami akan antar ke sini." Tukas salah satu petugas berartibut lengkap dengan lencana emas dan papan nama di dadanya.
Saat aku menghampiri, salah satu petugas berceletuk.
"Nak, bantu-bantu, Nenek ya!" Seraya menepuk pundak Syanah dan beranjak pergi.
"Kenapa mereka, Nek?" Syanah mengkerut.
"Biasa, bansos dari pemerintah. Dapat beras sama uang."
"Lalu mana yang hendak mereka beri?"
"Nah, itu mereka antar," Celetuk Nenek menunjuk sekejap. Seketika mereka semua fokus pada bantuan yang digenggam petugas dari kelurahan itu.
"Mereka tahu nenek sudah renta seperti ini, makanya mereka sampai mengantar semua bantuan." Sambung nenek sambil merapikan perlahan rambutnya yang berantakan sebab tertidur.
Soal bantuan sosial, nenek sudah biasa mendapat bantuan dari pemerintah melalui kelurahan. Pada biasa, nenek berkendara ojek agar sampai ke kelurahan mengambil semua bantuan. Kali ini berbeda, mereka mengantar sampai ke rumah. Kali ini, bantuannya berupa beras 10 kg, minyak goreng, mie dan telur. Nenek sangat berterima kasih kepada pemerintah akan semua program bansos yang memudahkan nenek untuk memenuhi sedikit kebutuhan dan untuk masyarakat pada umumnya.
"Pemerintah. Sudah sering dapat." Syanah menunduk sambil memegang karung plastik berisi beras.
"Syanah, minta tolong bawa semua ke dalam." Nenek mulai lesuh dan ingin kembali baring beralas bambu. Matanya menyipit; kantuk.
Setelah membawa semua ke dalam rumah, Syanah segera kembali dan ikut baring di samping sang nenek.
"Nek, ngantuk?" Syanah melirik sipit ke wajah neneknya.
"Nenek tidur sebentar, ya." Nenek tertidur.
"Nenek tahu, saya mau lanjut cerita yang tadi, tentang buku ini."
"Bisa nanti, saya sangat ngantuk, Nah." Nenek memeluk Syanah.
Syanah pun terdiam. Membiarkan sang nenek beristirahat. Dalam pikirannya, ada dua hal yang sedang ia renungi. Hatinya mulai gelisah. Takut tentang nenek yang akan sakit, kepikiran karena perilaku mencurinya yang sangat dianggap salah oleh nenek. Hatinya merasa sesak, ingin bercerita meluapkan segala unek-unek yang ada di dalam hatinya. Pertama, tentang diamnya pak Saiful yang dia yakini pak Saiful mengetahui bahwa dialah yang mengambil buku tersebut, tapi malah tidak berontak, memberitahu kepada semua guru agar bantu mencarinya. Malah memberikan senyuman manisnya itu. Kedua, soal pemerintah yang sangat baik dengan menyalurkan secara konsisten kepada masyarakat yang layak menerima bantuan yang selama ini dinilai, pemerintah adalah makhluk yang bermain dan mempermainkan politik beralas rakyat sebagai boneka. Kedua hal yang amat mudah merasuk dalam pikiran. Pernyataan pertama sudah sangat yakin jawabannya tidak salah; Syanah teringat ucapan salah satu guru ngajinya dulu, bahwa diamnya seseorang menunjukkan izin. Pak Saiful diam saat bukunya hilang, berarti dia memberi izin Syanah mengambil bukunya. Soal pemerintah, Syanah hanya berpikir baik ketika yang disuguhkan adalah baik; seperti ketika pemerintah membawa bantuan pangan pada nenek. Tapi jika yang disuguhkan adalah keburukan; berita korupsi, kezaliman pada rakyat bawah, maka itu adalah keburukan. Pemerintah bermain di atas politik; nilai mereka tergantung yang mereka suguhkan. Pikiran akhir Syanah.
"Aghhhh. Problem yang kedua, sangat cocok jika dibahas bersama Zaen yang realistis itu." Lirih Syanah mengelus tangan sang nenek yang merangkulnya.
"kayu bakar. Berapa?" Seorang wanita separuh baya menghampiri dengan oto gerobak mengirinya.
"5000," Syanah terperanjat perlahan bangun menghampiri.
"Bagus kayu bakarya, kering mantap." Terdengar suara lirih lelaki separuh baya di samping wanita itu. Sepertinya dia adalah suaminya.
Beberap detik meraba dan bercengkrama, Syanah berdiri dengan sigap sambil melayani dengan senyuman.
"Apa hanya ini? Masih ada?" Ucap wanita tadi.
"Tidak ada lagi, ini dipilih di hutan sebelah." Syanah tersenyum.
"Wah, saya butuh banyak." Ucap wanita tersebut sambil menghitung jumlah ikatan kayu bakar.
"Ada 11 ikat, ya. Saya ambil semuanya." Sambil mengeluarkan uang sebanyak 55.000 dari dompetnya.
Syanah memindahkan ikatan kayu-kayu bakar ke gerobak oto, dibantu laki-laki separuh baya tadi. Dengan penuh riang gembira, Syanah masuk ke gubuk, perlahan membangunkan sang nenek.
"Nek, bangun. Ayo tidur di kamar saja." Remang-remang nenek membuka mata melihat senyuman tipis di wajah cucunya. Nenek kembali menutup mata, tertidur.
"Bangun, Syanah." Nenek mengelus kepalanya.
Seketika Syanah langsung terperanjat, dan mengambil posisi duduk. Matanya sangat merah melihat ke arah langit biru, yang perlahan mulai dihiasi fajar merah.
"Subuh, Nek?" Syanah bingung.
"Kau juga tertidur. Padahal kau yang bangunkan nenek." Ucap nenek tertawa sambil berjalan tertatih.
Syanah mengitari sang nenek dari belakang, melihat di sakunya terlihat kembung. Uang hasil laku kayu bakar. Syanah berjalan cepat, merangkul sang nenek sambil menyodorkan uang tersebut. Mereka tertawa ria.

BALABADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang