3. Pemerintah adalah Fenomena
"Politik? Pemerintah? Wah, kau aneh-aneh saja. Janganlah bahas yang bukan bagianmu." Zaen menyanggah.
"Kan kau pernah bilang, politik, pemerintah adalah dua materi yang jahat. Buktinya nenek saya dapat bantuan terus. Yakin jahat?" Syanah beranjak ke tempat duduknya dengan mata sinisnya.
Melihat tingkah Syanah, Zaen hanya terdiam dan kembali duduk di tempat duduk. Kebetulan pelajaran pertama adalah pelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Waktu yang sangat dinanti oleh Syanah. Pak Dani seorang guru ASN (Aparatur Sipil Negara) meminta semua siswa-siswi membentuk kelompok untuk membahas secara kelompok tentang sejarah singkat masuknya Islam di Indonesia serta segala pengaruhnya. Selesai merangkum, satu persatu kelompok maju ke depan kelas sambil membahas hasil diskusi mereka kepada kelompok lain. Semua hasil pembahasan pada intinya adalah sama. Islam masuk pada abad ke-7 M melalui jalur perdagangan dan melakukan asimilasi. Salah satu bukti paling kuat tentang kedatangan Islam di Indonesia adalah ditemukannya makam Sayyidah Fatimah Binti Maimun di Gresik yang bernisan tahun 1082 M atau sekitar abad ke 10 M. Rata-rata jawaban dengan segala pengembangan. Saat hendak menutup pelajaran pertama, Syanah terlihat tidak tenang sejak tadi, merespon permintaan penutup pak Dani.
"Ada yang ingin ditanyakan?" Pak Dani sambil merapikan buku di atas mejanya.
"Saya, Pak. Iya, Saya." Syanah dengan sigap dan gugup.
Terdengar suara bising, bahkan ada yang sengaja membanting buku, pena, melempar kertas, suara gerutu dan macam-macam.
"Aduhh. Jangan tanya lagi. Ayolah, Nah. Udah ngantuk kita." Denish di sampingnya mengernyit.
Syanah menepuk pahanya agar diam tanpa berkomentar.
"Sudah, anak-anak, tolong diam. Mari Syanah, silahkan bertanya." Pak Dani.
"Terima kasih, atas waktunya. Pertanyaan saya sederhana, menurut bapak apakah pemerintah adalah wakil rakyat yang baik? Jika, iya, kenapa isu-isu yang kita dengar, mereka adalah pejabat suka menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi. Bukan itu bagian dari korupsi? Jahat atau baik?" Syanah.
Mendengar pertanyaan Syanah, pak Dani terdiam tanpa langsung menjawab. Suasana hening seketika. Tiba-tiba suara celetuk berarah dari sudut kelas.
"Syanah. Pemerintahan kita bagian dari politik. Dan politik yang kita kenal selama ini adalah kotor, jahat, suka korupsi." Raden dengan suara meninggi.
Syanah melihat, mengernyit tanpa membalas kata.
"Lah, namanya pemerintah juga manusia. Sama halnya manusia pada umumnya, mereka manusia pasti berbuat salah." Celetuk Caca melihat ke arah Syanah.
Pak Dani tetap memantau pembahasan mereka.
"Kalau pun pemerintah adalah politik kotor, korupsi dan lain sebagai, itu bukan masalah. Bersyukur mereka adalah pertahanan negara. Bayangkan kalau mereka tidak ada, mau kita akan jadi budak negara asing?" Firman menyambar.
"Itu untung ada para pahlawan dulu yang memang bergelut di dunia pemerintahan, tapi sekarang manusia penghianat pada pendahulu. Susah sampai merayap dada merebut merah dan putih, tapi kini dipermainkan mereka." Raden mempertahankan argumennya.
"Lah, kok pembahasan panjang, ya? Ngambang." Lirih Syanah kurang puas dengan jawaban.
"Kenapa kau?" Denish menyenggol pundak Syanah.
"Ya, untuk jawab kayak mereka, saya juga bisa. Sial." Syanah menderu mengkerut pada dahinya.
Sesa yang duduk di bangku kedua dari Syanah menoleh ke belakang sambil tersenyum bosan.
"Syanah, apakan, kau jangan banyak bertanya. ang bersuara hanya mereka-mereka saja. Kalau bukan Raden, ya Firman. Kalau bukan Firman, ya Caca. Kalau bukan Caca, ya kau Syanah. Untung Zaen hanya tutp mulut, si manusia kepo."
"Sssttt. Simak saja." Syanah meminta Sesa menghadap kembali ke depan.
Mendengar pendapat-pendapat yang bertebaran di dalam kelas, Pak Deni tersenyum bahagia. Di luar konteks pembelajaran, mereka juga sedang memantau dan mengikuti isu dunia pemerintahan yang memang sudah menjadi tranding sejak dulu; persoalan yang sama, zalim pada rakyat. Media sosial terus menelusuri segala hal yang sedang terjadi di luar kendali, penguasa sebenarnya; rakyat.
"Baik, anak-anak. Terima kasih atas respon luar biasa kalian. Bagaimana menurut Syanah? Sudah ada jawabannya?" Pak Deni.
"Saya ingin jawaban dari pak guru yang pasti merangkum semua jawaban warna-warni."
Pak Deni tergelak lucu. Berbalik badan, mengambil spidol hitam dan menggambar sebuah lingkaran besar. Dalam lingkaran, dibagi menjadi beberapa pecahan tak beraturan. Dia mulai menulis dalam pecahan tentang susunan pemerintahan, mulai dari presiden, wakil presiden, terus ke bawah; para mentri dan kabinet. Kemudian ia membuat jaringan dengan menarik garis demi garis yang diakhiri dengan lingkaran kecil lagi. Di setiap dalam lingkaran tersebut ditulis segala macam regulasi secara umum; pendidikan, urusan keagamaan, hukum perdata, dan regulasi lainnya.
"Wahhhh, kan. Kita lama di dalam kelas. Ngantuk sekali saya." Denish menepuk pundak Syanah sambil menyandar di kursinya.
Suara mulai bising ingin menghentikan ilmu tambahan yang diberikan pak Deni.
"Tenang, Wir. Pak Deni orangnya cerdas dan tidak akan membuang waktu. Lagian masih sepuluh menit pelajarannya akan selesai." Sambil menoleh ke jam dinding kelas.
"War, wir, wur. Nama saya Denish." Denish terlihat lesuh.
"Ya anak-anak. Coba perhatikan ini. Keren, kan mind map-nya." Pak Deni kelakar.
"Baik-baik. Bapak coba jelaskan. Waktu saya masih ada 8 menit." Sambil melihat ke jam tangannya.
"Bulatan besar, ibarat kepengurusan kalian di dalam kelas. Nah, di lingkaran kecil yang berjaring dari lingkaran besar, ibarat aturan yang kalian tetapkan di dalam kelas. Negara kita ibarat kelas kalian.Nah, kira-kira isi dari semua aturan ini memiliki implikasi yang baik atau buruk untuk kelas?" Pak Deni tersenyum lebar.
"Baik, Pak." Jawab serempak mereka.
"Berarti negara atau pemerintahan yang berjalan di atas aturan yang sudah ditetapkan itu, apakah layak kita langsung men-judge Pemerintah Jahat/Politik jahat?"
"Tidak, pak."
"Nah, kira-kira siapa yang jahat?"
"Para pejabat. Iya para pejabat." Celetuk Syanah.
"Nah, apakah layak Pemerintah kita sebut sebagai pemerintah jahat atau politik itu jahat?" Pak Deni.
"Tidak, Pak."
"Lalu, yang salah berarti orang-orang di dalamnya?"
Pak Deni hanya bisa tersenyum memandang semua siswa di dalam kelas.
"Makanya, Penting bagi kalian berpendidikan agar berkarakter baik. Mengemban amanah menjadi prioritas bagi yang berakal. Dan, hanya orang yang berakal yang mampu menggerakan yang seharusnya dia lakukan."
Suasana menjadi hening. Penuh hikmat. Mata saling berbinar. Seolah mengangankan kebaikan masa depan mereka akan menjadi lebih baik.
"Kelas bapak berakhir, ya." Pak Deni bergegas keluar. Seketika ia berhenti di tengah kelas dan melanjutkan kalimat.
"Menjadi orang yang berkarakter baik, tidak harus berpendidikan tinggi, tapi harus berilmu tinggi. Ada yang berpendidikan tinggi tapi tidak berilmu. Ada yang berilmu tinggi, tapi dia tidak berpendidikan tinggi." Senyum pak Deni dan melangkah keluar kelas.
"Waahhhh melenyot kata-kata terakhirnya." Denish berdiri dan ber-acting jatuh, menarik badannya dan merebahkan diri di atas meja.
"Tidur, Wurr." Ucap Denish melihat ke arah Syanah yang cengir bahagia sambil terus memandang papan tulis yang bergambar mind map atas karya pak Deni.
Ucapan Denish tak dihiraukan Syanah.
"Puas, kan jawabannya pak Deni?" Zaen menggantungkan tangannya di atas pundak Syanah.
"Pikiranmu sempit. Kan kau yang bilang Pemerintah itu jahat. Padahal kan, tergantung." Syanah menolak Zaen.
"Ah, tetap saja gila pemerintah itu." Zaen bersikukuh membenci menyebut yang bernama pemerintah.
"Saya mulai paham, Zaen. Ini sesuai teori." Syanah tersenyum ceria.
Dalam suasana riuh bertepatan dengan jam pelajaran berikut yang kosong. Tidak nampak adanya rambu-rambu tentang kedatangan seorang guru. Dalam kelas tersebut, ada yang sedang baring-baring di sisi belakang bangku, ada yang sedang membentuk kelompok masing-masing dengan berbagai cerita, ada yang sedang membaca buku, ada yang sedang usil mengganggu teman-temannya dan macam-macam.
Seketika Zakiah dengan buku dan pena di genggamannya datang menghampiri Syanah yang sedang duduk sambil membaca buku bacaan kesayangannya itu.
"Syanah, geser ke bangku sebelah!" Pinta Zakiah sambil sesekali menoleh ke samping bangku, melihat Denish yang terlihat nyenyak.
Tanpa mengangkat wajahnya; mata melihat ke bacaan pada buku yang dipegangnya, Syanah bergeser duduk ke tempat duduk Denish. Sesa yang ada di depannya pun menoleh ke belakang merespon kedatangan Zakiah. Sesa mulai memainkan matanya sambil melihat ke Syanah yang sangat serius.
"Biasalah, terlalu rajin." Zakiah sambil menarik buku catatan Syanah pada tumpukan di meja dan melengkapi catatannya yang kurang.
Suasana kelas yang begitu riuh tidak mengubah sikap Syanah untuk fokus mencari tahu tentang pengetahuan; terus belajar dan membaca buku. Syanah sadar tentang kedatangan Zakiah dan dibuat heboh oleh Sesa, akan tetapi ia tetap fokus. Sedikit mengganggu, mengantarkan Syanah berperasangka buruk kepada kedua temannya itu. "Apakan, giliran ada butuhnya saja, baru mau berteman dan bermain denganku." ucap syanah dalam hati dengan tetap bersikap santai, seolah-olah tidak ada hal yang membuatnya muak terhadap mereka. Beberapa detik, Syanah memecahkan tawa tentang akal sehat yang dihancurkan oleh perasaannya sendiri.
"Hahaha." Sambil memeluk bukunya.
"Kenapa kau Syanah? Tiba-tiba ketawa." Zakiah mengenyit.
Sesa hanya tersenyum geli akan sikap lucu Syanah.
"Ah, tidak. Saya cuma lucu dengan bacaan ini. Tokohnya lucu sekali." Syanah tergelak sambil memperlihatkan buku yang dipegangnya.
Zakiah yang di sampingnya merasa heran dan betanya-tanya ketika memperhatikan buku yang dipegang Syanah.
"Tokoh? Buku cerita berarti; novel atau cerpen." Zakiah sambil menahan tangan Syanah yang memegang bukunya, memperhatikan judul buku.
"Coba saya lihat." Zakiah merampas.
"Mana yang menceritakan tokoh yang lucu? Inikan buku pengetahuan." Zakiah mengernyit dan merasa heran terhadap Syanah.
"Maksudnya, saya sedang mengingat tokoh yang lucu pada novel yang pernah saya bac." Syanah langsung merampas buku yang diambil Zakiah.
"Ah, sial. Mereka tahu." Dalam hati Syanah sambil kembali mengambil posisi dan terus membaca buku.
Dalam keheningan diri dengan suasana kelas yang riuh, pikirannya melayang tentang sesuatu yang baru saja terjadi. Matanya tetap fokus pada bacaan di buku yang digenggamnya, akan tetapi pikirannya sedang bermain. Seolah-olah ia telah mengingkari tentang satu prinsip yang yang sudah menjadi landasan dalam gerak-geriknya dalam mengarungi kehidupan, tentang pikiran dan hati adalah dua hal yang berbeda. Ketika bertingkah laku dengan pikiran akal sehat, maka kebenaran mengintari. Ketika bertindak dengan hati, maka belum tentu kebenaran mengintari. Syanah telah mengingkari dirinya sendiri yang telah menilai Zakiah dan Sesa dengan perasaan (hati) sebagai teman yang hanya memanfaatkan dirinya ketika butuh. Saat itu Syanah telah mengikuti hati atau perasaannya. Apabila dia bertindak dengan pikiran/akal sehat, maka selayaknya dia menyambut kedatangan Zakiah dan Sesa dengan penuh positif tanpa memikirkan hal buruk apapun, karena kondisi menunjukkan kedatangan Zakiah yang ingin melengkapi catatan IPS-nya, dan Sesa yang ingin menyambung silaturahim mereka sebagai teman.
"Maafkan tentang kebenaran yang saya ingkari, Oh diriku." Syanah menutup bukunya dan membangunkan Denish yang tertidur pulas hingga bel istirahat berbunyi.
***
Kali ini dalam suasana yang berbeda. Bel panjang berbunyi menunjukkan jam pulang. Seperti biasa, rumah Zaen dan Denish satu arah sehingga mereka sering pulang bersama. Syanah tidak pernah peduli apakah dia pulang sendirian ataukah dengan mereka berdua, akan tetapi selalu saja mereka berdua yang menemani Syanah. Dalam perjalanan pulang, Zaen lebih dulu ke rumahnya, kemudian Denish dan terakhir adalah Syanah. Seperti biasa, sesampainya di rumah, Syanah langsung menggantikan sang nenek untuk menjaga jualan kayu bakar. Syanah menjaga jualan nenek pada gubuk tua tersebut ditemani satu buku yang begitu lambat dibacanya, bukan sebuah novel yang bisa diikuti alurnya. Kali ini, bacaannya adalah buku yang perlu direnungi pada setiap lembar halamannya. Saat nenek menghampiri, dengan sikap spontan ia menyembunyikan buku tersebut.
"Sudahlah, baca saja terus." Sambil lalu nenek duduk di samping Syanah.
"Aghhh, Nenek. Inikan sudah dapat izin." Syanah dengan sikap sigapnya.
"Nek, dengar dulu. Guru ngaji saya pernah bilang, bahwa diamnya seseorang itu menunjukkan setuju. Itu yang saya pegang, makanya saya anggap tidak apa ambil buku ini; saya janji akan kembalikan pak Saiful, Nek." Syanah meyakinkan nenek.
"Dan kalau pak Saiful persoalkan, dia pasti akan menyatakan ke guru-guru kalau bukunya hilang. Ini, malah diam dan memberi senyum pada saya. Padahal jelas dia tah saya yang ambil bukunya," Syanah mengernyit dalam penjelasan.
"Ada benarnya, Sayang. Tapi sudahlah. Kau yang bilang sendiri akan kembalikan. Ingat, anggaplah kau pinjam." Sambil baring di samping Syanah.
"Syanah! Mau sama-sama cari kayu bakar, tidak?" Teriak Denish dari depan gubuk tua itu.
"Nah, itu Denish? Pergi, tidak?" Nenek menunjuk.
"Iya, Nek. Biar menambah stok kayu bakarnya." Syanah beranjak.
Mereka beranjak ke hutan terdekat. Perjalanan ke hutan dengan lipatan kain melingkar yang akan disiapkan untung menjunjung kayu yang akan didapat nanti. Dari kejauhan, Zaen menghampiri mereka dengan sepeda tua milik kakeknya. Menghampiri dan mengikuti Syanah dan Denish.
"Wahh, sial. Dia lagi, kan? Sebentar pasti akan ada pembahasan yang mengundang perdebatan lagi." Denish meringis.
Syanah langsung melirik dan melihat ke arah belakang mereka. Tersenyum sinis, dan bercegak pinggang.
"Nah, pas." Syanah berdesis.
"Kan ada saya kalau mau diskusi."
"Benar. Kalau dia, emosinya beda. Tertantang buat saya."
"Heii. Ke hutan, kan? Yuk, saya ikut." Zaen tersenyum dan mengintari mereka.
Sesampainya di hutan, mereka mulai menyebar dalam keadaan berdekatan sambil memilih kayu bakar. Sesekali Zaen yang membawa parang di pinggangnya, memotong kayu-kayu yang dianggap besar untuk dibagi beberapa bagian. Merasa cukup ketika mereka masing-masing memperoleh dua ikat kayu bakar; dijunjung dan dipegang. Sekitar 30 menit memilih kayu bakar, seperti biasa mereka berhenti pada pohon jambu liar di hutan untuk memetik buahnya. Zaen dengan segala kelincahan, memanjat dan memetik beberapa buah dan dibagi pada mereka; Syanah dan Denish. Cukup banyak, bahkan sempat dibawa pulang. Dari bawah, Syanah berceletuk tentang dirinya yang ingin bebicara sesuatu. Zaen langsung meloncat menghampiri dan memulai diskusi yang tiada habis-habisnya.
"Oh, iya. Apa maksudmu tentang pemerintah adalah hanya fenomena?" Ingat Zaen.
"Masih ingat, ternyata. Ya, ada kaitannya juga dengan penjelasan logis, Pak Deni tadi."
"Kali ini, saya mulai paham. Ayo lanjutkan. Saya ingin dengar saja." Sambil mengunyak jambu dalam genggaman tangan kanannya.
Syanah tersenyum memperhatikan alam terbuka. Meminta Zaen dan Denish juga untuk memperhatikan segala isi dari alam terbuka nan indah. Syanah mulai bercengkerama tentang langit yang mulai memancarkan megah merahnya, burung-burung berkicau riuh, hawa udara mulai terasa dingin. Manusia dan bentang alam yang mencakup hewan dan tumbuhan merupakan bawaan Tuhan sebagai anugerah terbesar. Manusia dengan segala persoalan besarnya adalah kategori. Namun, objek yang nampak dalam kategori itu adalah fenomena. Kita sebagai makhluk yang bebas, namun didatangi oleh aturan, "fenomena" maka kita akan menjadi terikat.
"Menarik. Saya mulai menyukai kau, Syanah." Zaen tergelak.
"Menyukai pemikiranu saja. Membuat saya sebagai manusia menjadi lebih santai dan tidak panik dengan hidup." Sambung Zaen.
"Berarti kita semua sama saja. Hanya kekuasaan yang membuat kita bernasib begini." Desuh Denish.
"Bisa juga." Syanah.
"Makanya benar dalam seminar pak Saiful kemarin, beliau mengutip dari salah satu fragmen ilmuan yang menyatakan bahwa, kita adalah manusia bebas yang terikat dengan aturan yang mengikat." Syanah tersenyum lebar.
"Betapa besar nikmat Tuhan kepada kita, ya." Denish teharu.
"Semakin gelap. Pulang-pulang." Syanah bergegas.
"Ehh. Saya belum selesai. Berarti, hal-hal tambahan dalam asal disebut fenomena?" Zaen mengernyit.
"Bisa jadi. Sudah mulai gelap. Ayo balik!"
Mereka semua bergegas dalam kelarutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BALABAD
FantasyTerobsesi mencari hakikat kehidupan ketika bertemu narasumber seminar yang mengajak semua siswa dan siswi berpikir, diajak untuk sama-sama belajar. Hingga rela mencuri buku favorite narasumber demi menyelam lebih dalam tentang hidup. Syanah percaya...