4. Barisan Semut

0 0 0
                                    

4. Barisan Semut
Dalam keseharian Firman di sekolah terkenal dengan penampilan yang sangat apik. Berbeda dengan Zaen yang memeliki karakter yang berbeda dengannya, keseringan pakaian seragamnya sering di luar celananya. Pagi itu kebetulan mereka sedang jalan bersama menuju ruang kelas.
"Zaen, kau sudah siap untuk kuliah?" Tanya Firman menepuk pundaknya.
"Iya. Saya tidak mau, tapi karena permintaan orang tua, saya akan berusaha agar bisa kuliah."
"Biasalah perkataan mereka; cukup kita yang susah, kau nanti harus jadi orang sukses, sekolahlah yang tinggi!" Zaen tersenyum menepuk pundak Firman.
Terus menapaki menuju kelas mereka. Dari dalam kelas terdengar cukup riuh, tidak seperti biasanya. Firman mengernyit dengan langkah kaki agak cepat untuk mengintai dan memperhatikan hal yang terjadi. Suara bising menyebut-nyebut namanya dan disangkut pautkan dengan kata bangku; terutama suara manusia yang bergender perempuan di dalam kelas tersebut.
"Kok, bangku Firman?" Dalam hati sambil terus menghampiri.
Firman terkejut melihat mejanya yang berdempelan dengan jendela kelas terdapat banyak semut hitam berjejeran melintang pada meja belajarnya itu.
"Aghhh sial. Minyak, minyak tanah!" Ucap Firman sambil meminta salah satu temannya meminta sedikit minyak tanah pada bu kantin.
Mendengar ucapan Firman, Zaen ikut menerobos dan mengusir semut-semut di atas meja Firman dengan tiupan. Melihat tingkahnya, Firman menarik pundak kiri Zaen agar dia segera beranjak agar tidka melakukan hal konyol. Semut hitam terlihat amat banyak, membuat siapa saja yang memandang akan mengangkat bulu kudukya.
"Kau mau bunuh semut-semut ini?" Zaen heran sambil menatapnya.
"Iya. Sebentar lagi kita akan ada pelajaran. Lalu, saya duduk di mana kalau bukan di tempat duduk sendiri."
"Ini, Fir." Salah seorang teman memberi setengah semangkuk minyak tanah pada Firman.
Saat hendak menyiram, Zaen menahan tindakan Firman untuk tidak menyiram semut semua. Dia mulai menjelaskan tentang semua makhluk di muka bumi memiliki hak untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Semut adalah salah satu makhluk di bumi yang selalu menjadi korban kejahatan manusia untuk mudah dibunuh. Semut termasuk makhluk yang wajib diberi hak hidupnya bahkan mencegah agar tidak mengundang kedatangan mereka pada tempat yang tidak layak mereka tempati dan mencari makan; sisa makanan di piring, sisah teh manis di gelas, dan kondisi lain yang menjadikan mereka sebagai bombardir. Kadang, bahkan sering tanpa sadar, karena ingin segera mencuci piring, akhirnya semua semut yang sedang menikmati makanan sisa di atas piring, atau teh manis sisa menjadi korban lengsernya nyawa dengan serbuan air atau sabun. Dalam kondisi ini, Firman membantah segala proposisi Zaen. Menurutnya, manusia memiliki derajat yang lebih tinggi dari makhluk lain. Sehingga jika dipilih dua hal mana yang didahulukan, maka harus mendahulukan hal mendominasi mendukung manusia.
"Apapun alasan kau, ini meja saya. Jangan hanya karena semut, mengorbankan diri saya yang akan menerima pelajaran menjadi tak konsen karena tidak bertempat duduk." Tegas Firman sambil lalu beranjak ingin menyiram semut-semut itu.
"Stop-stop. Kalau alasan kau hanya ingin semut-semut ini hilang dari mejamu itu, maka caranya banyak. Tidak harus dengan minyak tanah. Biar saya." Ucap Zaen dan mengambil sapu dan ingin membersihkan semua semut itu.
Melihat respon Zaen, Firman membiarkan dia yang melakukan semuanya. Beberapa saat, Syanah menghampiri dan melihat Zaen yang tidak seperti biasanya melakukan hal yang benar; melakukan yang sepatutnya dilakukan. Syanah memperhatikan tanpa berkomentar tentang apa yang dilakukan Zaen.
Suara riuh saling lempar suara, mengira Zaen dan Firman sedang berkonflik. Mereka sangat tidak yakin, ketika melihat Zaen yang melakukan hal yang seharusnya dilakukan Firman; membersihkan meja Firman. Dari wajah Firman terlihat ketidaksabaran, dahinya mengernyit dan terlihat amat geram karena semut yang disapu Zaen semakin banyak dan tak beraturan lagi. Seketika, Firman mendorong sedikit badan Zaen dan menyirami semut-semut semua.
"Sana kau. Lama sekali. Sial." Firman langsung menyirami semut-semut yang bertebaran di atas mejanya dengan memercik, demikian pada jendela yang berdempelan dengan mejanya.
Zaen bergeser dan tidak dapat berkomentar apapun, melongo seperti orang yang menyesal dengan perbuatan Firman. Syanah melirih, merengek perlahan dengan kata, "aduh" melihat perbuatan Firman yang membunuh banyak semut.
"O, ow." Denish menutup mulutnya, kaget melihat yang dilakukan Firman.
"Kalau begini kan cepat hilang." Ucap Zaen mengambil sapu pada genggaman Firman, menyapu semua semut yang telah mati. Sangat banyak.
"Ternyata benar, kulit yang bagus tak menjamin isi yang mulus." Zaen menggelengkan kepala dan kembali ke tempat duduknya.
"Oh, iya. Saya jawab pernyataan itu, Zaen. Seperti kacang yang gagah kulit luarnya, ketika dikupas, eh isinya keriput dan rasanya cuku aneh." Firman menunjuk.
"Iya, itu kau, sial." Zaen membentak sambil menunjuk.
"Eh sudah." Syanah menghampiri dan menenangkan Zaen.
Suasana cukup riuh lagi karena bangga terhadap Zaen yang berhati lembut. Selama ini dia terkenal sangat kasar, akan tetapi kali ini kebijaksanaan memenuhi tingkah lakunya; melindungi semut karena memiliki hak hidup dan tidak bertindak kasar terhadap Firman.
"Tapi, tindakanmu keren sekali. Kau berani menegakkan yang benar." Syanah tersenyum.
"Saya hanya,..." Zaen menarik nafasnya dalam dan terus memandang bangkai semut yang berantakan di luar kelas.
"Saya tahu. Sudahlah. Makanya manusia yang bermoral itu susah sekali." Syanah menepuk pundaknya dan ingin membahas sesuatu.
Dalam hitungan detik, kelas akan segera dimulai ketika terdengar suara sepatu bapak guru yang akan mengisi kelas. Mereka pun berhenti dalam cengkerama dan akan melanjukannya ketika sedang mencari kayu bakar nanti sore. Pelajaran demi pelajaran berlangsung kala itu hingga mereka semua berada di penghujung waktu. Pulang.
Langkah demi langkah meninggalkan kelas. Beranjak keluar, Firman memperhatikan dari sisi pintu kelas dan akhirnya menyapa.
"Sudahlah, jangan kayak anak kecil." Sambil merangkul Zaen.
"Saya biasa saja. Sudahlah, Firman. Kau seharusnya punya rasa iba sama semut tadi."
"Masih tentang semut?" Firman melepas rangkulan sambil menggeleng kepala dan mengernyit.
Denis dan Syanah mengitari dari belakang mereka. Membiarkan pembahasan mereka selesai.
"Tidak demikian, Fir. Apapun yang kau lakukan, seharusnya kau pikir dulu, dan benarkan dengan hati."
"Berpikirlah, bahwa semut adalah makhluk yang sama pangkatnya dengan manusia, bedanya mereka kecil dan kita besar. Benarkan dalam hatimu, mereka berhak memiliki hidup." Zaen menepuk dada Firman dan beranjak pergi.
"Satu lagi, kalau kau sayang dirimu sendiri, seharusnya otomatis kau sayang semut-semut itu. Tapi, sayangnya tidak. Kau bahkan tidak tahu cara menyayangi dirimu sendiri." Zaen berbalik belakang menepuk pundak Firman,  beranjak pulang.
Syanah dan Denish berlarian mengikuti Zaen dari belakang. Firman terlihat aneh dengan gaya bicara Zaen yang amat bijak. Tidak sama dengan yang dilihatnya.
Kala sore yang berbinar, mereka beranjak ke hutan lagi untuk mencari kayu bakar sekalian membahas persoalan yang telah terjadi di sekolah. Sepanjang mereka mencari kayu bakar, Syanah terlihat riang, tersenyum karena melihat tingkah Zaen yang sepemikiran denganya. Seusai mencari kayu bakar, mereka meringkuk di depan pohon jambu biji andalan mereka. Hanya memandang buah-buah jambu yang bergelantungan; tidak memetik. Syanah memulai pembahasan yang tidak akan pernah habis; kebenaran dalam kehidupan. Penuh penjelasan, mengatakan bahwa yang telah dilakukan Zaen adalah hal baik. Antara pikiran dan perasaan, Zaen telah berhasil mendahulukan pikiran daripada hatinya. Menurut Syanah, segala sesuatu yang bernilai benar berasal dari akal sehat/pikiran. Telah berhasil memikirkan tentang realita bahwa segala sesuatu yang hidup atau bernyawa adalah pemberian Tuhan untuk hidup sebagaimana kehidupan yang diberikanNya. Tentang siapa yang berhak menghilangkan nyawa dari yang bernyawa adalah sang pemberi nyawa; Tuhan. Manusia bukan sang pemberi nyawa, sehingga sangat tidak pantas jika dia mematikannya. Semut adalah material kecil yang bernyawa, dan sangat rawan nyawanya terancam karena hal-hal sepele yang dilakukan manusia; menyisakan makanan pada kresek, lalu dibuang ke tempat pembakaran sampah dan dibakar; manusia tidak akan memikirkan tentang semut-semut yang bertengger pada kresek makanan tersebut yang akhirnya terbakar dan mati. Hal sepele dan terlihat konyol, tapi sangat berharga dan mulia jika dilakukan. Berbeda dengan Firman, nampak dari implikasi perbuatannya, hanya karena alasan dirinya; nyaman ketika belajar dengan duduk manis sambil menikmati angin sepoi dari jendela, dia menghianati pikirannya, mengikuti emosionalnya untuk melakukan kesalahan, mematikan semua semut dengan siraman minyak tanah. Melampiaskan emosinya dengan segera membasmi semua semut.
"Itu dari hati saya, Syanah. Dari perasaan saya yang memang sayang dengan semua binatang. Semut termasuk. Bukan pikiran saya yang dahulu bertindak." Zaen datar.
"Benar, Syanah. Kadang juga saya tidak bisa terima pendapatmu, Syanah." Denish berdiri sambil mendongak melihat-lihat buah jambu yang sudah matang.
"Berarti kamu belum baca seluruh konsepnya, Denish." Syanah sambil melempar batangan ranting ukuran kecil sekitar 7 cm ke arah Denish yang sering ceplos;
"Kalau gitu, Zaen. Jawab pertanyaan saya dulu. Kenapa kau sayang semut?" Sambar Syanah.
"Ya karena mereka berhak hidup sama kayak kita. Kasian." Zaen.
"Coba jawab, darimana kau berpendapat dari mana kau dapat pernyataan itu, dari hati atau pikiranmu?"
"Coba kau, pikir..." Zaen menunjuk.
"Eiitt, stop! Coba kan, kau ucap kata pikir." Sambar Syanah.
"Iya-iya dari pikiran sudah. Terserah kau." Zaen.
"Tentu. Segala hal sebelum masuk ke hati, harus lewat gerbang hati dulu." Syanah tersenyum.
Mendengar penjelasan panjang Syanah, Zaen terlihat bosan dan kecapean. Seketika, Zaen beranjak pulang tanpa mengajak mereka pulang.
"Sudahlah, selain masalah tidak jelas di kelas tadi, mungkin dia sedang kecapean tentang pekerjaan di rumah." Denish menyahut dan mengangguk tersenyum pada Syanah.
"Iya, Denish, saya paham. Zaen hebat telah melakukan hal yang memang harus dia lakukan." Syanah.
"Orang yang menjunjung kebenaran hidup itu karena tujuannya adalah hukum moral kemanusiaan. Sedangkan orang yang pintar berdebat karena memang tujuannya adalah menunjukan kemampuannya sendiri." Tutup Syanah sambil mengajak Denish pulang.
"Kata-katamu sesuai yang kau lakukan, Syanah. Ayolah pulang." Mereka beranjak pulang.

BALABADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang