5. Pada tuan berbalik kepemilikan
3 bulan kemudian...
Pada siang yang begitu pekat, seperti biasa dalam suasana riuh setelah terdengar bunyi bel panjang istirahat, siswa-siswi berpencar mencari tempat masing-masing; ada yang ke kantin, ke taman, bermain bola dan lain hal. Syanah berjalan sambil menikmati minuman gelas dingin pada tangan kanannya. Sendirian menikmati suasana kala itu. Dari sisi depan kelas 3 IPA, remang-remang Syanah memandang seorang laki-laki muda berkaca mata dari arah pintu gerbang masuk yang baru saja turun dari mobil dengan beberapa orang lainnya. Terkesima karena semakin jelas, dia adalah orang yang tidak asing dan sangat dikenali Syanah; Pak Saiful. Seketika Syanah lari terbirit-birit masuk ke dalam kelas dan tidak ingin terlihat oleh pak Saiful.
"Agghh sial lagi, kenapa dia datang? Apakah dia mau memeras saya. Aduhhh." Ucap Syanah lirih dan duduk diam di dalam kelas dengan wajah tak karuan.
Wajah Syanah berkeringat dingin sambil terus meminum minuman dingin kemasan di tangan kanannya. Pikirannya melambung membayangkan kalau pak Saiful akan memproses masalah bukunya yang diambilnya. Pikirannya kosong memandang ke depan sambil terus meminum dengan bunyi serudukan sedotan karena tidak terasa minumannya sudah habis. Melihat wajah yang tak biasa, Zaen menghampiri dengan mengejutkan kepada Syanah. Tapi tetap saja nihil, tak ada rasa terkejut yang dirasakan Syanah. Zaen hanya duduk di sampingnya tanpa menanyakan hal apapun, dia sudah paham, jika bertingkah tak seperti biasa, maka ada masalah. Dalam khayalan, Syanah berpikir kuat tentang apa yang dia rasakan. Mencoba menguatkan diri. Semua persoalan hanyalah fenomena dan yang menjadi kategori adalah hidup. Hakikat dari diri kita adalah kehidupan, segala hal lain yang datang pada manusia adalah fenomena. Sedih, bahagia, ketakutan, kecemasan, sakit adalah fenomena yang bisa datang dan pergi. Sedangkan kehidupan, tetap berdiri kokoh, tidak pergi dan datang, akan selalu berdiri bagai tiang tegak yang siap diterpa semua fenomena.
"Apakan, otakmu mulai banyak halu. Tapi, saya penasaran. Ayo bagi-bagi pikiranmu lagi, Syanah." Zaen tersenyum lucu.
"Ini hanya fenomena. Sudahlah." Syanah menghembuskan nafas dengan kuat.
"Why? Kenapa kau? Tegang sekali." Zaen mengernyit.
Tidak merespon, Syanah malah bertanya di mana keberadaan Denish. Syanah keluar kelas mencari Denish. Dalam kecemasannya itu, terbesit gagasan dalam pikirannya, "Izin pulang lebih dulu, dengan alasan sakit perut," untuk menghindari agar tidak bertemu pak Saiful. Di tempat biasa, melihat Denish sedang asyik menikmati es krim termurah di ujung sekolah bersama beberapa temannya. Teriakan dan lambaian tangan mengajak Denish menghampiri. Syanah menceritakan segala hal tentang rencana yang akan dia lakukan. Kaget dan tak seperti biasa, Denish menyetujui dan berangkat untuk segera izin pada wali kelasnya. Begitu yakn, pak Saiful pasti sedang berada di ruang tamu, bersebelahan dengan ruang kepala sekolah. Saat menghampiri ruangan guru dan bertemu ibu Desi dengan segala acting mereka, akhirnya Syanah berhasil mengelabuhi wali kelasnya itu dan diberi izin. Syanah dan Denish bergegas keluar ruang guru dan segera pulang ke rumah. Beberapa meter dari ruangan guru, Syanah sangat terkesima melihat pak Saiful yang berpas-pasan dengannya didampingi pak Deni. Senyumannya membuat Syanah berkeringat dingin tak karuan. Mereka sedikit membungkuk menyapa dan terus berjalan. Beberapa langkah bergegas, pak Deni berceletuk.
"Oh iya. Syanah, tolong bentuk kelompok, ya. Setelah ini saya langsung masuk kelas."
"Syanah? Nama yang indah dan menarik." Sambung pak Saiful tersenyum dengan suara lembutnya.
"Dalam bahasa arab, Syanah pakai H di akhir memiliki makna tempat air yang terbuat dari kulit. Kalau tanpa H di akhir kalimat memiliki makna berjuang. Pakai H, atau tidak?"
"Pakai H, pak." Syanah mengangguk.
"Wadah yang terbuat dari kulit sangat kuat. Pakai H atau tidak, Maknanya sama-sama memiliki pertahanan yang luar biasa." Pak Saiful.
"Menarik. Anaknya memang sangat mampu menampung banyak inovasi berpikir dalam membangun segala pertanyaan. Luar biasa, Pak." Pak Deni menambah.
Mereka pun beranjak dari tempat tersebut. Syanah hanya tersenyum dan mengangguk tanpa banyak bicara. Saling membelakangi dan beranjak pergi. Denish yang kebingungan mengernyit dan bertanya lirih pada Syanah soal arti dari namanya. Saat ingin berbalik badan, ingin bertanya soal arti dari namanya, Syanah menahan sambil menutup mulutnya dan menarik beranjak pergi.
Kecemasan tetap saja menghantui Syanah. Segera ke kelas, mengambil tas dan beranjak pulang. Pesan dari pak Deni dititip pada Denish. Syanah pulang sendirian. Terik panas matahari semakin menyengat, keringat halus pada kulit membasahi bajunya. Tidak jauh dari sekolah sekitar 50 meter berjalan kaki, dari arah belakang terdengar ada panggilan yang menyebut namanya. Seketika menoleh dan terkejut lagi melihat pak Saiful yang seolah-olah sedang mengintai semenjak setelah mengambil bukunya itu. Menunduk dalam sesekali menatap ia merespon dengan baik.
"Eh, Bapak." Wajah pucat pasi.
"Tenang. Buku adalah perantara untuk berbagi segala pengetahuan. Sudah selesai dibaca bukunya?" Pak Saiful tersenyum lebar.
Dalam suasana yang ketar-ketir, Syanah segera mengeluarkan buku dari dalam tasnya dan segera bergegas lari dengan sekuat tenaga tanpa memandang pada pak Saiful lagi.
"Ini, Pak. Maafkan saya." Celetuk Syanah sambil mengembalikan buku pak Saiful dengan dorongan yang cukup kuat sehingga pak Saiful terdorong ke belakang selangkah.
Pak Saiful menarik dan menghembuskan nafas dengan perlahan, menggelengkan kepala merasa lucu dengan tingkah Syanah. Semua mata dari dalam mobil memperhatikan yang sedang terjadi, merasa aneh ketika seorang anak berseragam putih abu dengan penuh ketakutan mengembalikan buku kepada pak Saiful. Terlihat kasar. Pandangan mereka sungguh salah ketika men-judge persoalan yang tidak mereka ketahui sama sekali. Segala pertanyaan muncul, tentang ada apa, mengapa, dan bagaimana. Pak Saiful hanya menjawab tentang Syanah yang sudah terlalu dekat dengannya sehingga kadang bersikap seolah-olah sudah sangat dekat semenjak seminar kala itu; padahal hanya untuk mengelabui. Bahkan diantara rekan-rekannya berasumsi tentang adanya sesuatu yang lebih; hubungan emosianal/suka. Pak Saiful membantah demi mempertahankan eksistensinya sebagai widyaswara yang amat terkenal. Dalam mobil, ia memandang buku dalam genggamannya, membuka lembar demi lembar, ada beberapa fragmen yang digarisbawahi, usang dan seolah-olah batas bacanya sudah di 276 halaman. Dalam hatinya berkata, "mengapa tidak, ketika ada bibit bangsa yang menyukai buku sebab mencintai kebijaksanaan harus dibiarkan? Saya harus terus menjembataninya agar tetap fokus pada sikap bijak dalam mengarungi hidup."
Dari kejauhan, sang nenek yang sedang duduk di atas balai-balai bambu pada gubuk tua tersebut melihat Syanah yang sedang lari ketakutan. Semakin dekat, Syanah langsung memeluk sang nenek.
"Ada apa, Syanah? Ada yang kejar ingin melukai kau?" Nenek memeluk erat.
"Nek, saya dalam masalah. Pak Saiful, ada. Saya sudah kembalikan bukunya." Syanah menangis dengan keluh pada sang nenek.
Mendengar curahan hati sang cucu, nenek Suratih hanya diam tanpa membalas. Terus mengelus kepala Syanah. Rasa khawatir terlihat pada wajah sang nenek. Mencoba menguatkan diri pada Syanah. Sang nenek memeluk sambil mencium kepalanya, mengingatkan hal positif dalam persoalan buku itu. Menguatkan dengan mengatakan, bahwa mereka bisa saja tidak bisa salahkan Syanah dengan beberapa alasan; ketika buku tersebut diambil, sempat diketahui oleh pak Saiful, tapi beliau memilih diam. Anggaplah setelah mendapat izin meminjam dalam bentuk diam yang diberi oleh pak Saiful, maka dalam keadaan ini, seolah-olah Syanah telah mengembalikan bukunya. Mendengar segala hal yang disampaikan sang nenek tentang kejadian, Syanah mulai berpikir tenang beranjak masuk ke rumah, beristirahat sejenak, makan dan menggantikan sang nenek berjualan.
Suasana sore yang semakin berada di penghujung, tak bosan-bosan mereka bertemu dan selalu melakukan kegiatan rutin; mencari kayu bakar di hutan terdekat. Syanah sangat menikmati suasana sore dengan pena dan buku tulis di sampingnya, berbagai petuah ditoreh pada bukunya itu. Denish menghampiri dengan penuh senyum, duduk di samping Syanah. Hal biasa bagi Syanah melihat tingkah aneh yang dimiliki Denish. Kali ini, Denish pemenangnya. Dia menuturkan tentang sikap salah yang diambil Syanah untuk berbohong bahwa dirinya sakit, padahal tidak. Satu pertanyaan Denish yang tidak bisa dijawab Syanah kala itu. Saat neneknya datang untuk menggantikan Syanah, mereka berdua beranjak ke hutan terdekat untuk mencari kayu bakar. Beberapa meter dari gubuk tempat jualan Syanah, dari arah belakang disusuli Zaen yang bersepeda sambil meneriaki mereka dengan sebutan tanpa nama, "Woii," ucapan yang biasa bagi Syanah dan Denish. Sebelum memasuki ke hutan, Zaen mulai bertanya tentang perbuatan Syanah yang dicurigai Zaen. Syanah hanya bisa diam tanpa perlu bercerita. Rasa takut coba diredam, karena segala bentuk kerugian jiwa Syanah salah satunya adalah rasa khawatir, cemas dan ketakutan yang ditimpainya tidak akan bisa dirasai oleh orang lain, mereka tidak akan paham. Kekuatan untuk pulih hanya ada pada diri, bukan pada lain. Syanah bersikukuh tidak menceritakan segala persoalannya pada orang lain.
"Tapi kan, kita penasaran." Zaen terus mendorong sepeda.
"Duka, hanya kita yang paham. Sekalipun diceritakan tidak akan berdampak hilang soal itu." Syanah terus berjalan santai.
"Aaalaahhhh, sudahlah, Syanah. Cerita. Ke bibi, kau cerita?" Denish menyambar.
"Dia sosok yang hanya mengintar dalam rumah dan gubuk dan menanti kedatanganku. Tentu dia adalah jiwaku yang juga merasakan jiwanya." Syanah bergumam.
"Banyak celoteh. Berarti dia cerita ke bibi." Zaen menolak kepala Syanah dan berlari segera ke hutan.
"Aghh, sial!" Syanah geram. Mereka semua berlari ke hutan dengan segera. Matahari kian bersembunyi, menyisakan jejak dalam cahaya senjanya.Keesokan harinya, Syanah bergegas pulang dari sekolah sendirian menikmati terik panasnya siang dengan angin yang sepoi-sepoi menerpa. Hatinya masih tertindas ketidaknyamanan. Terus saja bergegas dengan penuh yakin. Masalah akan berlalu. Akan berakhir. Sepanjang jalan, tanpa disadari pak Saiful telah mengikutinya dari dalam mobil. Syanah masuk ke dalam gubuk, memberikan salam kepada sang nenek dan bergegas masuk ke dalam rumah. Pak Saiful turun dari dalam mobil sambil menggenggam buku di tangan kanannya, dan menghampiri sang nenek yang sedang duduk smabil menjahit pakaiannya. Sang nenek terkejut ketika mendengar perkenalan dengan sebutan nama pak Saiful. Sang nenek yang bijak, mencoba menanyakan maksud dan tujuan kedatangannya tanpa bertindak yang berlebihan; menghindar, cemas dan takut. Dengan senyuman, pak Saiful hanya ingin mengembalikan buku kepada pemiliknya. Mendengar jawaban pak Saiful, dapat disimpulkan sang nenek, bahwa Syanah tidak mencuri buku tersebut. Bahkan pak Saiful telah memberi kepemilikan kepada Syanah. Nenek pun beranjak ke dalam rumah dan memanggil Syanah. Terkejut ketika melihat kedatangan pak Saiful, akan tetapi dibujuk sang nenek agar Syanah bisa mendengarkan semua penjelasan pak Saiful dan paling penting, agar rasa panik Syanah bisa pudar. Nenek tetap berada di samping Syanah untuk menemani dan menguatkannya. Mereka pun bersua.
"Syanah, ini bukumu." Pak Saiful tersenyum mengangguk penuh yakin sambil menyodorkan buku.
Syanah belum bisa menerima yang diberikan. Hanya bercelinuk, menggeleng karena masih dalam hati yang tertindas kecemasan. Pak Saiful menghela nafas, menarik kembali buku yang disodor. Sang nenek terus menyoroti Syanah agar segera mengambil buku tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada pak Saiful.
"Kekhawatiran hanya karena tak ada suara yang membiarkan kata boleh dalam kepemilikan." Pak Saiful tersenyum.
"Lalu, untuk apa bapak ke sekolah lagi kalau bukan karena ingin memproses saya yang sudah mencuri buku bapak." Syanah memberanikan diri berbicara.
"Karena kewajiban, jadi saya ke kota S lagi. Bukan karena kamu, Syanah. Ambil saja buku ini. Ini sudah jadi milikmu." Pak Saiful meyakinkan.
Syanah masih ragu.
"Diam, itu menunjukkan setuju." Pak Saiful.
Melihat banyak cengkerama, sang nenek langsung menerima buku yang diberi pak saiful dan diberikan kepada Syanah. Dalam suasana yang terik, sang nenek masuk ke dalam rumah untuk menyeduhkan secangkir teh untuk pak Saiful.
"Kali ini kau ragu karena hatimu yang bermain. Padahal sejauh ini, akal sehatmu bagus berjalan." Pak Saiful tersenyum lucu.
"Karena saya salah, Pak. Makanya saya seperti ini. Bingung." Syanah menyambung.
"Pikiranmu bilang apa? Trus hatimu bilang apa?" Pak Saiful mulai tergelak.
Mendengar pertanyaan tersebut, Syanah terkesima dan memandang pak Saiful penuh heran.
"Kau paham, Pak?" Syanah mengernyit memandang.
"Saya pertama kali membaca tentang kebijaksanaan ini, saya selalu membandingkan seluru persoalan versi pikiran dan hati." Pak Saiful.
Memancing pembicaraan, akhirnya Syanah mulai berbicara panjang. Dia mulai menjelaskan, menurut pikirannya, bahwa yang telah dilakukannya adalah hal yang salah, akan tetapi dalam waktu seketika, tidak salah. Karena sang pemilik buku, membiarkan, diam dan tidak mempermasalahkan tentang bukunya yang hilang. Sehingga pikirannya mengatakan, bahwa hal yang dilakukan tidak bermasalah. Ditambah hal lucon ketika pak Saiful memusatkan pandangan pada Syanah yang memantau lalu tersenyum lebar. Menurut hati atau perasaannya, berpendapat bahwa hal tersebut, jelas perbuatan yang salah; sejak awal sudah berniat mencuri.
Mendengar penjelasan Syanah, pak Saiful semakin tergelak. Berjalannya menit, sang nenek menghidangkan secangkir teh dan ubi rebus. Nenek kembali ke dalam rumah untuk menyiapkan makan siang. Pak Saiful terus saja bercerita tentang kegemarannya menulis dan membaca buku, walau sampai sekarang ini belum ada buku fiksi yang dibukukan. Dia hanya mengakui banyaknya karya ilmiah yang telah dipublikasikan secara nasional. Syanah hanya mencoba mendengarkan segala petuahnya dengan penuh serius.
"Sudah baca sampai halaman 276, ya?" Pak Saiful menyambar pembahasan lain.
"Sepertinya, 279." Syanah.
"Wah. Apa saja yang sudah diperoleh?"
"Sambungan beberapa catatan dari seminar bapak, dua hal yang selalu saya bahas; pikiran dan perasaan. Pikiran dari otak, dan perasaan dari hati."
"Tapi, banyak sekali yang belum dipahami. Terkadang berulang-ulang dibaca pun, belum dapat paham juga. Saya tertantang, bagai menunggu ilham agar dapat ilmu laduni yang paham tanpa belajar. Intuisi?"
"Sudah jauh. Bagus." Bangga.
Jawaban Syanah, mengantarkan pak saiful menepuk tangan dan memuji. Pak Saiful riang gembira, merasa berhasil ketika di kota S, ada bibit yang telah berhasil subur dan harus dijaga kesuburannya. Kita bagaikan tanah liat, yang akan terbentuk jika mau dibentuk. Dalam suasana terik dikalahkan oleh desiran angin sepoi-sepoi menerpa menjadi sejuk.
"Ada yang lebih menarik dan sederhana soal pengetahuan. Tahu kah, dari mana pengetahuan berasal? Kalau dipikir secara rasional, bukan logika mistikal belaka, maka dapat diterima." Berpikir panjang.
"Bukankah,..."
"Syanah, saya harus kembali. Ada meeting via zoom sekarang. Teman-teman menunggu saya di hotel." Pak Saiful beranjak, pamit kepada nenek di dalam rumah dan segera pulang dengan jemputan sopir hotel.
KAMU SEDANG MEMBACA
BALABAD
FantasyTerobsesi mencari hakikat kehidupan ketika bertemu narasumber seminar yang mengajak semua siswa dan siswi berpikir, diajak untuk sama-sama belajar. Hingga rela mencuri buku favorite narasumber demi menyelam lebih dalam tentang hidup. Syanah percaya...