6. Ada Balabad

1 0 0
                                    

6. Bergerak bagai balabad
Setelah istirahat, Syanah dan Zaen sudah berencana akan pergi ke perpustakaan, melihat dan mencari bacaan yang menarik sesuai keinginan mereka. Berjalan mengitari rak buku yang dipenuhi dengan warna-warni cover buku, ditambah bau khas dari buku-buku yang bertumpuk berdempetan. Entah buku apa yang dibaca Zaen, Syanah tetap fokus mencari buku yang menurutnya cocok dengan apa yang sedang digeluti. Nihil. Tak ada yang ditemukan, kebanyakan buku yang berbau mata pelajaran; fisika, biologi, sejarah, keagamaan, matematika dan lain-lain. Sambil terus berjalan dan memandangi buku-buku yang berdempetan, Syanah terpanah dengan satu buku yang tertulis KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), melerai dan mulai membaca di sudut baca pada perpustakaan. Selembar demi lembar dibuka dan dibaca sekilas, ada kata abib yang artinya rumah khusus perempuan di Papua, mulai berpikir tinggi, ingin ke warung internet di sekolah dan melihat bagaimana rumah khusus untuk perempuan. Melihat dan menemukan, adibintang yang artinya bintang lapangan. Membayangkan Firman yang terkenal pintar, diteriaki adibintang. Melihat dan menemukan, ambyur yang artinya melompat ke air dari ketinggian. Di sini Syanah tergelak lucu, membayangkan kalimat, "Zaen ambyur ke kali". Senyuman geli Syanah langsung disambar oleh Zaen di sampingnya.
"Apa?" Tanya Zaen sambil menoleh ke bacaan Syanah.
"Kata 'Ambyur' memiliki arti melompat ke air dari ketinggian. Nah, di situ saya bayang kau yang cebur ke kali. Makanya saya ketawa." Syanah menepuk pundak Zaen.
"Aghhh. Sialan. Kau saja yang selalu anggap remeh saya." Zaen sambil terus membaca.
"Saya sudah tahu, kau bagaimana. Makanya saya berani berkelakar seperti ini."
"Berarti sebuah keakraban berkonsekuensi pada semena-mena, ya?"
"Bagai sepasang kekasih, keakraban berkonsekuensi pemakluman. Tidak ada rasa sakit ketika yang dicinta mencaci." Syanah termangu.
"Apa itu puisimu setiap malam?" Zaen menatap sambil tertawa lucu.
Tak peduli pertanyaan Zaen, Syanah kembali fokus membaca kosa kata pada buku di hadapannya itu. Selembar demi selembar dibuka, kemudian menemukan kata "Balabad", terdengar amat asing. Sempat terpikir kata "babat", yang sering dipakai ibu-ibu ketika masak daging sapi di pesta undangan. Balabad memiliki arti di atas angin. Syanah mulai membayangkan segala sesuatu yang berada di atas angin; pesawat, helikopter, roket, termasuk daun yang jatuh dari pohonnya. Lebih inklusif lagi, ketika Syanah membayangkan karpet terbang milik Aladin seperti di cerita-cerita dongeng yang masyhur. Syanah amat lucu dan tertawa menyatukan kata balabad dengan karpet terbang Aladin. Dalam gelakannya itu, mulai mendalami makna. Andai kata semua manusia memiliki karpet terbang ajaib, maka kebahagiaan menghampiri, sebab manusia dapat melanglang buana secara gratis, melepas rasa penat yang menyesak di hatinya. Syanah mulai memahami kata angin adalah materi yang tak terlihat tapi di rasakan manfaatnya. Angin bersemayam di semua ruang dan waktu; kecuali pada ruang yang hampa udara, seperti bulan. Syanah mulai tersenyum lucu ketika pikirannya ke mana-mana. Pikirannya mulai membayangkan dirinya yang mampu duduk bersila lalu berada di atas angin, artinya mampu melayang dengan sendirinya. Seketika, Syanah merobek sepotong kertas kecil lalu melepasnya dari ketinggian, melambai-lambai perlahan lalu mendarat ke lantai. Kemudian Syanah mengambil pena dan melepasnya dari ketinggian, begitu cepat mendarat pada tanah. Syanah tersenyum dan mulai mengambil kesimpulan, manusia yang memiliki banyak beban pikiran diselimuti ketakutan atau kecemasan  maka seperti pena, yang jatuhnya begitu cepat sebab beban berat. Kebalikannya, bagai sepotong kertas yang melambung dari ketinggian secara perlahan, ringan, tapi pasti akan tiba pada tujuan. Perbedaan dari dua hal ini hanya terletak pada titik jatuh dan kecepatan. Pena, sudah dipastikan letak jatuh pada garis lurusnya. Sedangkan sepotong kertas, belum pasti jatuh pada satu garis lurusnya, bahkan tidak pernah tahu di mana akan melengser. Soal kecepatan, kertas terlihat melambai dan lambat, tapi tetap sampai. Pena, begitu cepat dengan dentuman yang kuat. Ibarat manusia ketika jatuh, sakitnya begitu terasa jika diposisikan sebagai pena, dentumannya begitu keras terasa. Beda halnya dengan sepotong kertas, maka tidak terasa rasa sakit, perlahan tapi begitu pasti mendarat. "Sepotong kertas sangat menikmati balabad, sedangkan pena, tidak." dalam hati Syanah. Tersenyum tentang hal kecil yang telah dipikirkan. Termangu, dan memilih hidup seperti sepotong kertas yang mampu menikmati balabad. Syanah mulai menarik nafas, dan menghembuskan perlahan. Menenangkan pikiran, terutama hatinya. Mulai fokus pada diri sendiri agar selalu sehat. Pikiran yang sehat menandakan tubuh yang sehat. Syanah merasa menemukan pelajaran berharga tentang balabad. Hiduplah bagai balabad, maka keteraturan menyertai mengantarkan pada tepi. Antara beban berat pikiran dan pikiran yang ringan. Selesai beradu dengan pikirannya sendiri, Syanah menutup KBBI dan meletakkan kembali pada tempatnya. Syanah kembali duduk di samping Zaen.
"Zaen. Saya duluan, ya. Kalau mau lanjut, silahkan." Syanah beranjak menepuk pundaknya.
"Ehh..." Zaen merespon, bergegas menelusuri Syanah.
Mereka terdiam tanpa berbicara sambil terus beranjak ke kelas. Dari sikap Syanah, Zaen terlihat penasaran dan mulai sebuah percakapan tentang semut yang dibela mati olehnya. Syanah tetap saja diam, tersenyum mengangguk dan terus menelusuri jalan.
"Hebat. Kau mempertahankan hak hidup mereka; semut-semut. Melihat dalam perspektif, sama-sama makhluk yang bernafas dan wajib mempertahankan nafas mereka."
"Hah. Semut punya nafas?" Zaen mengernyit.
Syanah menoleh dan memandang Zaen penuh ceria, lalu beranjak dengan cepat ke kelas tanpa merespon pertanyaan terakhir.
Waktu terus saja bergulir. Jam pelajaran bergantian, hingga menunjukkan waktu untuk  pulang. Syanah langsung saja kembali pulang tanpa menunggu Denish dan Zaen. Suasana riuh menghiasi siang itu. Sesampainya di gerbang, terdengar seorang tengah memanggil Syanah. Menoleh dan memperhatikan dari kejauhan sedang menghampiri, Rani disusuli Sesa dan dan Zakiah.
"Ada apa?" Syanah tehenti sambil menatap.
"Begini Syanah, nanti sore saya ke rumahmu, ya. Kita masih bingung dengan rumus matematika yang diajarkan pak Syakir. Ditambah lagi dengan 50 soal latihannya. Bagaimana? Bisa?" Rani sambil merangkul Syanah dengan senyumannya.
"Tumben sekali?" Syanah mengernyit dan mendongak.
"Jangan kikir. Kau harus bagi-bagi ilmu." Zakiah menyambar.
Sesa hanya tersenyum lebar mengharapkan persetujuan Syanah.
"Aduh, sedih sekali. Manusia hanya mengejar kebutuhan pribadinya. Ketika sudah terpenuhi, dia pergi ke tempat lain dan melupakan." Syanah menggelengkan kepala.
"Kan, namanya juga manusia. Kan memang begitu jalannya manusia." Zakiah.
"Ya, jelas salah itu. Manusia harus berjalan dengan akal, biar tidak salah melangkah." Celoteh Syanah.
"Banyak ceramah. Memangnya kemarin-kemarin kami hanya datang untuk memanfaatkanmu, kah?" Rani mengernyit.
"Jawaban dari pertanyaanmu, ada pada kau. Sudahlah, nanti sore kau boleh ke rumah." Ucap Syanah beranjak meniggalkan mereka.
Sepanjang perjalanan, Syanah memikirkan perbuatan jahat teman-teman yang dekat hanya untuk memanfaatkannya. Termasuk geng mereka; Rani, Sesa dan Zakiah. Jahat sebab menipu diri mereka; kenal di saat butuh dan menjadi orang asing ketika tidak dibutuh. Dia selalu berpikir, manusia terlalu banyak drama di dalam dunia. Dia sempat berpikir, lalu dari mana asalnya drama manusia? Bukankah hidup memang adalah drama. Tapi, tidak semua sisi hidup  dibuat drama oleh manusia itu sendiri. Kadang-kadang dan tidak setiap saat dijadikan sandiwara. Syanah mengesah kebingungan dengan pikirannya yang tak pernah menemukan jawaban yang yang tidak mengundang pertanyaan lagi. Perjalanan santai mengantarkan Syanah terperanjat ketika melihat pak Saiful sedang duduk di balai-balai bersama nenek. Dan menghampiri. Mereka menyambut kedatangannya. Dengan penuh kebingungan, Syanah merespon apa adanya. Sebelum Syanah banyak bertanya tentang kedatangannya, ia menjelaskan bahwa dirinya ingin berdiskusi banyak hal bersama Syanah. Nenek tersenyum masuk ke dalam menyiapkan makan siang sembari mempersilahkan mereka berdiskusi di gubuk tua tempat penjualan kayu bakar nenek. Syanah sedikit canggung. Pak Saiful langsung memulai percakapan dengan mengambil sesuatu yang ia letakkan di samping.
"Oh, iya Syanah. Ini buat kamu. Anggaplah hadiah dari saya atas semangatmu membaca buku." Pak Saiful tersenyum.
Syanah tercengang, memandang yang telah diberikan kepadanya; tentang sesuatu yang membuatnya trauma lagi. Perlahan, ia menerima dengan waah datarnya itu.
"Jangan sungkan. Semoga bermanfaat." Mengangguk tersenyum kepada Syanah.
"Kaki melangkah mencari jejak, terselinap maksud dalam segala wacana." Ucap lirih Syanah merunduk dan memandang buku yang diberi.
"Sejak kapan mencintai seni berpuisi?" Tersenyum.
"Sejak SMP saya sangat suka menulis buku harian."
"Saya rasa begitu. Buku harian yang tercatat, bagian dari kata-kata. Puisi adalah kata-kata. Maka buku catatan harianmu adalah puisi bagimu." Pak Saiful tersenyum.
Syanah hanya mengesah sedikit sungkan dan masih saja berdiri menghadap ke arah pak Saiful. Beliau pun mempersilahkan Syanah duduk di sampingnya. Mereka duduk berdua dan berbincang tentang berbagai hal yang ingin diutarakan. Pak Saiful menjelaskan tentang dirinya yang tahu, bahwa Syanah lah yang mengambil bukunya. Diam beliau menunukkan bahwa beliau mengizinkan Syanah mengambil bukunya. Dengan satu tujuannya, sangat bahagia jika ada milenial yang antusias terhadap buku dan mau membacanya. Kedatangannya hanya untuk berdiskusi bersama Syanah hingga akhirnya bertemu.
"Kau sangat ingin saya bertemu denganmu?" Syanah menatap pak Saiful dengan penuh kebingungan.
"Saya cuma ingin sharing, diskusi dan bagi pengalaman." Pak Saiful sambil meletkkan buku di atas balai-balai meja pas di hadapan Syanah.
"lalu, apa sekarang, Pak?
"Diskusi?"
"Entahlah. Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Tegas Syanah mulai bercucuran keringan dingin di wajahnya.
"Ok, Baik. Sekarang, coba kau jawab; pengetahuan apa yang pertama kali ada di dunia ini?" Tanya Pak Saiful tersenyum penuh keyakinan bahwa Syanah akan menjawabnya dengan akal jerninya.
Pertanyaan yang terdengar, memakan waktu bagi Syanah untuk memutar otaknya. Berpikir sesuai alur kehidupan yang sudah dikatakan dalam prinsipnya; pengetahuan diperoleh dengan percobaan, pengalaman dan pengamatan. Dia belum mencoba soal di mana percobaan tentang awal di mana pengetahuan manusia, demikian pengalaman, karena dua hal ini terkait waktu. Ribuan tahun lalu tak bisa mengantarnya untuk bereinkarnasi dengan dirinya sekarang. Namun, dia memiliki pengamatan sebagai cadangan dalam berpikir. Dia mulai menyatukan segala pengetahuan sejarah yang didapat. Detik keheningat, terdengar suara yang memanggil; Zaen memakai sepeda tua dan Denish berlarian menghampiri.
"Syanahhh...!"
Syanah menyelinuk sambil berdiri memperhatikan mereka. Perasaan takut menyelimuti tentang bagaimana pendapat mereka tentang kedatangan pak Saiful pada gubuk tuanya. Denish begitu terkejut ketika melihat seorang yang terkenal karena sering mengisi seminar sedang berada di dekat Syanah.
"Kalau tidak salah, pak Saiful, Kan?" Denish tersenyum.
"Tapi, kenapa bapak di sini?" Sambung Denish bingung.
"Lah, kan bapak yang pernah isi seminar di sekolah, Kan?" Sambung Zaen mengernyit.
"Saya suka berada di sini. Kalian anak-anak cerdik." Jawab singkatnya.
Senyuman memancar di bibir pak Saiful. Mencoba menjelaskan hal positif tentang segala maksud kedatangannya di gubuk Syanah. Sembari mengajak mereka berdua untuk ikut berdiskusi tentang ilmu pengetahuan. Nampaknya, mereka tidak tertarik. Seketika, pak Saiful pamit untuk pulang dengan menelepon supir hotel agar segera menjemputnya. Setelah pamit pada nenek, pak Saiful beranjak pulang.
"Gila, Kau. Bisa-bisanya pak Saiful yang manis itu bisa duduk bersama kau." Denish menyenggol lengan Syanah.
"Sudah-sudah, waktunya kita ke hutan. Kayu bakar." Zaen.
"Oh iya. Mengenai semut-semut yang kau sayangi, demikian kucing yang kau tolongi. Mengapa kau begitu peduli?" Zaen mengernyit.
"Soal itu, cukup perasaanmu yang menjawab." Syanah.
"Sepertinya sore ini saya belum bisa. Rani and the akan ke sini. Mau kerja PR Matematika." Sambung Syanah tegas.
Sedikit aneh tentang kedatangan Rani dan teman-temannya yang tak biasa, tapi bukanlah hal yang rumit tentang kedatangan mereka. Sore kian memuncak, nampaknya yang dinanti telah tiba;  Rani dan kawan-kawannya. Denish dan Zaen berjalan menuju hutan untuk mencari kayu bakar. Nenek pun menggantikan Syanah. Mereka belajar di dalam rumah sederhana Syanah.
"Aaagh. Belum ada jawaban. Nihil." Ucap Zaen sembari meninggalkan Syanah pada gubuk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BALABADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang