Demi keamanan bersama Cerita ini tidak sepenuhnya lengkap. Untuk versi lengkap nya bisa DM aja :v
Hari ini aku pulang cepat. Lebih tepatnya, izin untuk pulang lebih dulu. Badanku terasa tidak enak sejak pagi.
Walaupun mungkin saja aku menahannya hingga jam pelajaran selesai, aku memilih tidak. Kepalaku pusing dan aku benar-benar tidak ingin berurusan dengan pelajaran.
Setidaknya untuk hari ini.
Tepat ketika bus merapat ke arah halte, aku bersiap-siap turun. Meninggalkan pelajaran untuk alasan remeh seperti pusing dan tidak enak badan seperti ini memang haram hukumnya bagiku atau bagi ayahku sehingga tidak mungkin aku menghubungi supir untuk datang menjemput lebih cepat ke sekolah.
Dia akan segera melapor pada Ayah dan itu akan menjadi awal bagi ceramah tidak berkesudahan yang sangat tidak enak di dengar dari ayahku, lewat telepon, dan berlanjut saat ia pulang dari kantor.
Walaupun itu akan tetap terjadi nanti, setidaknya aku bisa tidur dulu di kamar begitu berhasil masuk mengendap-ngendap ke dalam rumah.
Aku menuruni bus dengan cepat Takut-takut ia kembali berjalan sebelum aku sempurna menapakkan kaki.
Uh, ya, aku tidak terbiasa naik kendaraan umum. Ini mungkin baru kali ke tiga atau empat aku mencobanya sendiri.
Setelah turun dan akhirnya menyadari di halte mana aku berada, kepalaku tiba-tiba saja semakin berdenyut nyeri.
Aku turun di halte yang salah.
Sial.
Dari sedikitnya kali aku mencoba naik kendaraan umum, hampir setiap kali pula aku salah mengenali halte.
Aku tidak hapal betul nama-nama dan patokannya. Mereka semua terlihat mirip.
Aku memijat kening, mencoba meredakan pening yang menjadi-jadi.
Angin yang berembus juga cukup dingin dan memperburuk keadaan.
Aku tidak memakai jaket atau pakaian hangat apapun selain seragam sekolahku.
Hari ini benar-benar menyebalkan.
Setelah memastikan melalui fitur map di ponsel, aku melangkah meninggalkan halte.
Dari petunjuk di sana, aku bisa kembali ke rumah cukup dengan jalan kaki.
Aku memang sedikit payah dalam hal mengingat rute, bahkan meski hanya untuk kembali ke rumah.
Aku berusaha tetap fokus pada jalanan di bawah pijak kakiku. Ini sulit karena badanku semakin tidak bisa diajak kompromi.
Aku merasa semakin kedinginan di akhir musim panas seperti ini.
Aku membuang napas. Menyebalkan rasanya harus menahan pusing di tengah perjalanan seperti ini.
Mungkin memang seharusnya aku menghubungi supir pribadi ku saja tadi.
Semakin aku mengambil langkah, semakin jelas pendengaranku menangkap suara cengkerama dari depan sana.
Tidak begitu ramai, namun kontras berbeda dengan bunyi ribut kendaraan atau pejalan kaki lain di sekitar sini yang memilih melintasi jalanan dalam diam.