Tepat satu minggu setelah aku kembali ke rumah. Dan rasanya masih saja asing. Aku tidak terbiasa dengan suasana ini. Terutama ketika Ayah yang membangunkan pagiku. Cara dia membangunkanku begitu santai, tidak agresif sama sekali. Akibatnya, Ayah tidak cukup berhasil menghilangkan kantuk di mataku. Sehingga rasanya sangat malas mengangkat kepala dan bergegas ke kamar mandi.
Aku memulai langkah pertama dengan berat menuju dapur. Suasana di dapur ramai berkelontang. Ayah terlihat sibuk bertarung dengan kuali panas. Ketimbang memperhatikan apakah ikan patin yang dia goreng sudah matang atau belum. Ayah lebih asyik menghindari percikan minyak. Aku tidak yakin dengan rasa ikan patin yang digorengnya itu.
Ayah tampak menyerah dan mematikan kompornya. "Paling suka dengan ikan patin goreng, kan?"
Bahkan aku yang dari jauh saja bisa melihat ikan patin yang dimasaknya itu belum matang. Ayah perlu kacamata dengan teknologi yang lebih canggih.
"Iya," jawabku pelan. Kemudian berlalu ke kamar dan membasuh wajah. Akhir-akhir ini wajahku selalu tampak kusut. Sangat berantakan.
Usai membasuh wajah. Aku berjalan ke ruang tamu. Menyalakan televisi dan menonton acara talkshow yang sangat kusukai sedari dulu, sambil berharap bisa mengembalikan suasana seperti waktu itu. Namun, usaha untuk kembali ke masa itu membuatku sedikit sesak. Satu-satunya pelarian yang seharusnya kulakukan hanyalah berbaring tidur, dan melupakan semuanya barang sejenak.
"Kenapa dia meninggalkan kita?" tanyaku pada Ayah yang baru keluar dari dapur. Tangan kanannya membawa piring berisikan patin goreng yang baru dia pindahkan dari kuali. Dia meletakkan piring itu di atas meja.
Ayah menggaruk kepalanya. Aku yakin dia sudah bosan mendengar pertanyaanku ini. "Kita tunggu saja. Pasti ibumu akan kembali," katanya. Kemudian duduk di kursi yang ada di depanku.
Mungkinkah Ibu akan kembali? Setelah dia memutuskan pergi meninggalkan kami dengan alasan gaji Ayah yang tidak cukup apa-apa. Tanpa diberi tahu seharusnya aku sudah dapat menebak alasan di balik keputusan Ibu itu. Terutama saat dia sering mengeluh tentang pekerjaan Ayah ketika sedang berada di meja makan. Namun, aku pikir pertengkaran kecil setiap hari itu tidak akan berarti sama sekali. Aku tidak menyangka akan sejauh ini.
Di tengah lamunan yang menyiksa. Tiba-tiba ada suara yang memanggilku dari luar, "Kak Eggy! Kak Eggy!"
Aku sama sekali tidak mau berangsut dari tempatku. Sangat malas rasanya. Sudah hari keenam, dan Aldebaran masih terus melakukan hal yang sama. Berteriak memanggil dari luar, mengajakku bermain ke sungai. Jelas aku tidak mau. Tidak ada yang mampu membuatku bersemangat. Termasuk melihat sungai yang warnanya keruh itu.
Setiap kali Aldebaran mencoba mengajakku bermain. Aku hanya menyuruh Ayah untuk mengusir halus bocah keras kepala itu dengan mengatakan kalau aku sedang sakit dan tidak mau diganggu. Untunglah, seperti biasa Ayah selalu bisa diajak kerja sama.
"Aldebaran lagi, tuh. Kamu yakin tidak mau pergi dengannya? Pergi sajalah. Kasihan. Kalian sudah lama tidak bertemu. Dia pasti sangat ingin bermain," kata Ayah. Kemudian dia berjalan menjenguk sumber suara yang sedari tadi tidak pernah berhenti berteriak.
Aku menghembuskan napas gusar ketika Ayah membuka pintu dan mengizinkan Aldebaran masuk ke dalam rumah. Tanpa basa-basi lagi. Aldebaran langsung berlari menemuiku.
"Kak Eggy. Ayo ke sungai. Aku beli pancing baru," kata Aldebaran. Dia diam sesaat kemudian melanjutkan, "Eh, bukan bukan. Pancing ini sudah kubeli sejak dua minggu lalu, tapi belum pernah kupakai. Tidak ada orang yang mau menemaniku ke sungai."
"Ikutlah, Eggy. Sepertinya mancing di sungai bakal seru. Aldebaran punya umpannya?" tanya Ayah yang baru saja tiba.
"Sudah ada. Umpannya pakai buah sawit."
KAMU SEDANG MEMBACA
NEBULA [15+]
JugendliteraturUmurku 14 tahun, pecinta buku yang lumayan terobsesi pada benda langit. Dan, aku tidak terima, kenapa harus mendapat panggilan sehina itu? "Duda Miskin," ejek Miller sepupuku. Ya betul, ini kesalahanku. Semua dimulai saat malam, ketika Bella tiba-ti...