Orang bilang, sekoci yang berlayar sendiri tidak pernah merasa lelah sampai dia tiba di tepian. Mata yang terpejam tidak kenal apa itu gelap hingga ia melihat cahaya. Mungkin selama ini Eunseok hidup seperti itu; berputar terlalu gesit hingga tidak terlihat bergerak. Karirnya sebagai dokter anak di negara pemuja jas putih ini sudah menunjukkan betapa besar ia harus bekerja keras, hingga tak sempat lagi menilik sejenak apa kabar hati yang sudah lama tak tersirami.
Sudah dua minggu ini, unit di sebelah kiri apartemen Eunseok terdengar bernyawa kembali setelah sekian lama hanya menjadi sarang setan. Bunyi kardus-kardus diturunkan sudah menjelaskan bahwa kini ia memiliki tetangga baru. Tapi ini Seoul, apatisme adalah nafas ibu kota. Eunseok tidak merasa wajib melakukan sesuatu hanya karena ada individu asing lain bernafas di ruang sebelah.
Hingga sore pada Sabtu pertama, kebiasaan Eunseok mengopi di balkon sepulang kerja kini punya pesaing. Salahkan sekat dinding hanya setinggi lengan yang membuat Eunseok dapat melihat eksistensi sang tetangga baru, melakukan aktivitas yang sama persis dengan dirinya; bersandar pada railing dengan cangkir di telapak, menikmati arah barat yang menjadi peraduan sang surya sejak awal mula semesta diciptakan.
Satu hari, tiga hari, Eunseok sebagai introvert sejati sebetulnya tak punya keperluan untuk menilik balkon sebelah. Tapi inderanya yang normal masih dapat menangkap seperti apa sosok itu. Seorang pemuda, berambut cukup panjang untuk dapat selalu dikuncir sederhana. Hanya dengan kaus longgar dan celana pendeknya, ia betah menatap senja puluhan menit sembari menandaskan teh dalam cangkir, seolah-olah di ujung langit sana wajah seseorang tengah dilukis oleh Tuhan. Bahkan jika Eunseok adalah pendiam, tidak ada yang mengalahkan keterpakuan pemuda di sebelah itu ketika menyelami pukul enam sore.
Si pemuda berkuncir, sebut Eunseok menamainya. Mungkin waktu satu minggu berdiri bersama membuat Eunseok kehilangan waspada, objek senja di barat telah kalah pamor di mata dokter muda itu ketika kini ia lebih sering melihat ke selatan. Dimana profil sisi wajah seseorang dalam kedamaian menjadi pemandangannya. Eunseok tidak tahu bahwa angin sore menerbangkan anak rambutnya yang tak terangkum kuncir akan tampak sangat magis, bibir merahnya yang menyentuh permukaan cangkir akan terlihat amat jelita, dan hembusan nafasnya yang pelan akan jadi terlalu memesona. Eunseok tidak tahu seberapa lama ia tertawan, hingga tahu-tahu saja kepala cantik itu menoleh kemari, ke arahnya.
Demi Tuhan, sekarang dia pasti menganggap Eunseok tidak sopan.
Tapi siapa sangka, pemuda berkuncir itu tersenyum manis pada Eunseok yang masih canggung pasca terpergok mengamati. Senyum sederhana yang tidak meminta balasan apa-apa, namun juga terlalu manis untuk akhirnya malah ditinggalkan oleh Eunseok begitu saja; masuk ke dalam rumah untuk menopengi diri yang terlalu bingung hendak berbuat apa.
________________
"Ayolah, Nak. Kakakmu membutuhkanmu juga di Bucheon. Apa seluruh benefit yang dia jabarkan kemarin masih kurang?"
"Ah- apa ini hanya ibu yang terlalu rindu padamu?"
Sesuatu memang tengah menggelut pikiran Eunseok akhir-akhir ini; tawaran kakak iparnya untuk bergabung ke dalam rumah sakit swasta milik keluarga yang membutuhkan tambahan pediatris. Ini sudah merupakan tahun keempat belas Eunseok meninggalkan Bucheon, sejak awal kuliah kedokteran hingga ia resmi bekerja di rumah sakit umum Seoul. Semua orang setuju bahwa ini adalah momen tepat untuk Eunseok pulang ke kota asalnya, bergabung dengan kolega sendiri untuk mengembangkan bisnis keluarga. Tapi entahlah, Eunseok sudah menapak sejauh ini di ibu kota, sayang jika harus kembali.
Jalanan padat dan otak tidak memerhatikan kaki. Eunseok bertabrakan dengan seseorang di pintu kafetaria apartemen dalam niatnya men-take away makan malam. Gara-gara Eunseok, seseorang berjaket itu sampai menjatuhkan tas kertasnya, segera dipungut Eunseok sebagai bentuk tanggung jawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Someday, If You're Ready
FanfictionDua pasang mata yang sama menatap ufuk barat, menikmati merahnya senja yang menjadi penanda bahwa hari akan diakhiri. Ketika itu, sebuah hati menemukan apa yang ia cari. Someday, If You're Ready- a Seoknen Twoshots