8. Menjenguk

80 17 4
                                    

Sepertinya beberapa hari terakhir tenis menjadi olahraga favorit Yudha. Terbukti pria itu kini sedang bermain di gor bersama coach-nya. Sudah sekitar dua jam berlalu tapi permainan masih belum usai. Yudha yang tak mau menerima kekalahan dari coach-nya yang berjiwa kompetitif.

Dulu jangankan berolahraga, setiap pulang sekolah Yudha harus minum obat yang jumlahnya tak sedikit. Tak jarang ia pulang ke rumah dalam kondisi pingsan karena kelelahan. Biasanya itu terjadi ketika ia sibuk bimbingan untuk lomba. Yudha di masa sekolah dikenal sebagai pemuda jangkung bertubuh kurus dengan sifat ambisius. Ia selalu berada diurutan pertama ranking paralel, disusul Wendy kemudian Alpen.

Akhirnya setelah berusaha lebih keras Yudha bisa memenangkan permainan kali ini. Dengan keringat yang sudah bercucuran pria itu duduk selonjoran di samping lapangan.

"Lumayan juga coach."

Ferry-coach Yudha membalas dengan senyuman tipis kemudian duduk disebelah pria yang tidak mau kalah itu.

"Tenaga saya udah habis terkuras, padahal nanti malam saya harus ngelatih yang lain." ujarnya dengan suara terengah.

"Masih siang ini, bisa coach istirahat dulu."

"Yaudah saya pulang duluan kalo begitu. Tau sendiri kan saya sibuk ngajar artis-artis main tenis sekarang. Apalagi ada pertandingan olahraga sesama selebritis."

Ferry terkekeh begitu juga dengan Yudha. Memang sekarang tenis menjadi salah satu olahraga yang banyak ditekuni oleh public figure di Indonesia, mulai dari artis sampai selebgram dan tiktokers.

Sepeninggalan Ferry, Yudha mulai membereskan peralatan tenis miliknya. Ia bisa langsung pulang setelah semuanya beres. Tapi Yudha memilih duduk kembali, menunggu seseorang yang ia harapkan datang.

Cinta, satu nama yang Yudha harapkan datang sekarang. Dua hari yang lalu ia bertemu dengan anak itu di rumah sakit. Yudha tidak tahu apakah Cinta sudah keluar dari rumah sakit atau belum. Nanti saja kalau Cinta tidak ada ia akan bertanya pada Willy.

"Abis main Bang?"

Yudha mendongak, benar saja yang bertanya adalah Willy. Laki-laki itu tersenyum kemudian menggaruk tengkuknya, nampak kikuk sekali.

"Iya. Kamu sendiri?"

"Iya."

"Cinta sudah sembuh?"

"Belum,"

"Masih di rumah sakit?"

"Di rumah,- tunggu kok Bang Yudha tau Cinta di rumah sakit?"

"Dua hari yang lalu saya ketemu di rumah sakit. Kenapa kalau belum sembuh sudah keluar dari rumah sakit?"

"Sudah jauh lebih baik Bang, tapi belum sembuh sepenuhnya karena Cinta sakit jantung. Kata dokter cuma bisa sembuh kalo ada donor, tapi itu juga gak menjamin karena sulit beradaptasi dengan jantung baru."

"Wil, kalau boleh saya mau jenguk Cinta."

"Boleh Bang, boleh. Cinta pasti seneng ada yang jengukin dia. Tapi sebentar ya Bang, tunggu aku beresin dulu gor. Sebentar kok."

"Iya, tapi saya beli dulu buah tangan. Nanti saya jemput kamu setelah selesai."

Yudha berjalan menuju mobilnya. Senyumnya merekah tanpa ia sadari, ternyata akan bertemu dengan Cinta memberi dampak yang begitu hebat padanya. Suasana hatinya bahkan menghangat setelah sebelumnya tadi ia menjadikan permainan tenis sebagai peralihan dari tugas perusahaan yang menumpuk.

Yudha bukan orang yang menyukai anak kecil. Kalau boleh jujur ia tidak nyaman berada di dekat anak kecil, apalagi bayi. Karena Yudha harus bisa mengontrol perasaannya, ia harus menampilkan wajah bahagia yang penuh kegembiraan meskipun suasana hatinya tidak seperti itu. Istilah singkatnya ia harus gimmick.

Miracle of Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang