CHAPTER 16

38 6 0
                                    

Zeya merasa heran dengan sikap Jaziel yang berubah drastis setelah pertemuan terakhir mereka. Setiap kali Zeya mencoba mengajaknya mengobrol, Jaziel selalu mengalihkan pembicaraan atau menghindar. Sudah dua hari Zeya tak melihat Jaziel, bahkan ketika ia datang ke apartemen Jaziel dan menekan bel, tidak ada respons sama sekali.

"Zey!" panggil Fera, teman sekelasnya yang duduk di belakang Zeya.

Zeya tersadar dari lamunannya dan menoleh. "Kenapa, Ra?"

Fera menyodorkan buku tulisnya ke arah Zeya, menunjukkan soal yang ia kerjakan. "Jawabannya bener gak sih? Apa gue salah rumus?" tanyanya memastikan.

Zeya memeriksa hasil pengerjaan Fera dan menunjuk salah satu bagian. "Ini harusnya minus enam x, tapi lo nulisnya minus tiga x."

"Oh, iya. Thanks, Zey, udah ngoreksi," balas Fera dengan senyum, yang direspon Zeya dengan anggukan.

Saat itu, kelas sedang dalam pembelajaran matematika. Guru yang seharusnya mengajar sedang tidak bisa hadir karena ada acara, tapi ia menitipkan tugas melalui grup kelas untuk dikerjakan dan dikumpulkan.

Zeya sudah selesai mengerjakan tugasnya sejak tadi dan merasa bosan. Pikiran tentang Jaziel yang tiba-tiba menghilang membuatnya semakin pusing. Zeya merasa kehilangan teman, terutama karena Jissa dan Chenzi, dua temannya yang biasanya menghubungi, tak bisa dihubungi karena badai yang melanda daerah mereka, membuat sinyal hilang.

Zeya memutar-mutar bolpoin di tangannya sambil menopang dagu. Sementara itu, teman-teman sekelasnya masih sibuk kesana-kemari, meminta contekan atau bantuan tutor. Meja Kiano, si anak emas F-8 yang ahli matematika, dikerumuni teman-teman yang membutuhkan bimbingan.

Jenuh, Zeya memutuskan untuk keluar dari kelas. Ia berpamitan kepada beberapa teman, yang hanya mengangguk tanpa banyak bicara.

Entah kemana langkahnya akan menuju, Zeya hanya mengikuti kata hatinya, berjalan menyusuri koridor kelas sebelas yang sepi, karena hanya kelas Zeya yang sedang kosong.

"Lo Zeya, kan?" Sebuah suara memanggil dari dekat tangga.

Zeya menoleh dan melihat seorang cowok yang tak begitu ia kenal menghampirinya. Tapi, ada sesuatu yang familiar dari wajah cowok itu.

"Iya, lo kenal gue?" tanya Zeya.

"Gue Alvin, temennya Revan."

Zeya pun mengingatnya. Ia sempat melihat Alvin sekilas saat pertama kali berkenalan dengan Revan.

"Ada perlu apa sama gue?"

"Gak ada sih, cuma mau kenalan aja. Udah, gue cabut dulu," jawab Alvin singkat. Sebelum pergi, dia menatap Zeya lagi dan berkata, "Oh, btw, kalo lo nyari Revan, dia lagi di taman belakang."

Zeya sebenarnya tidak butuh informasi itu, tapi karena tidak punya tujuan lain, ia memutuskan untuk menuruni tangga dan pergi ke taman belakang. Tempat itu tidak menyeramkan seperti yang orang bayangkan, melainkan cukup tenang.

"Well, dia belum kapok," gumam Zeya ketika sampai di taman.

Pemandangan yang sudah sering ia lihat—Revan dan Ana beradu mulut. Tak heran Alvin lebih memilih kembali ke kelas. Namun, perhatian Zeya tertuju pada Gala yang tiba-tiba muncul dengan wajah penuh amarah. Dia menarik Ana ke sisinya, menatap Revan dengan nyala api di matanya.

Zeya berdecak pelan. Drama seperti ini biasanya hanya terjadi di novel, tapi sekarang ia menyaksikannya langsung. Sayangnya, ia tak punya rasa suka pada Gala sejak insiden waktu itu. Setelah kedua pasangan itu pergi, Zeya menghampiri Revan.

"Lo masih belum nyerah juga?" tanya Zeya sambil mendekati Revan.

Revan menghela napas kasar dan berjalan ke arah Zeya. Tatapan elangnya membuat Zeya sedikit waswas, tapi ia tak menghindar. Sedetik kemudian, Revan tiba-tiba memeluk Zeya erat. Zeya terkejut, tapi ragu-ragu ia menepuk punggung Revan pelan.

Echoes of Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang