to you

441 77 18
                                    


🌼🌼🌼

Serra baru saja kembali dari IGD ketika kepalanya ditepuk lembut dari seseorang yang berjalan di sampingnya.

Dahinya berlipat bingung melihat dokter yang biasanya sering memasang wajah jutek itu justru mengulum senyum menggoda. Membuatnya menjadi was-was dengan 'kejahilan' apalagi yang akan menimpanya setelah ini.

"Saya dengar kamu belum memutuskan untuk mendaftar residen."

Omong-omong soal itu, Serra masih sangat bingung dan galau. Ia tidak tahu harus melakukan apa setelah ini, padahal masa internship-nya sudah hampir berakhir. Sisa satu minggu, tetap dirinya masih belum bisa menemukan apa yang ia inginkan.

"Gak residen juga gak begitu buruk kok. Kamu kan bisa tetep nemenin saya di IGD. Adrenalin kamu selalu terpacu kan kalo bareng saya?"

Dengan senyum tipis, Serra mengangguk. Menyetujui ucapan Fahri.

"Kalo boleh jujur,"balasnya."Saya suka berada di IGD."

Pengakuan itu tentu saja membuat senyum di wajah Fahri semakin tercetak sempurna.

"Katanya kemaren kamu dipanggil Dokter Razka, ada apa?"

"Soal karir, dok. Dokter Razka bilang saya boleh meninggalkan Sanjaya kalo saya ngerasa ilmu disini gak cukup bagi saya."

Fahri yang berjalan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jasnya mengangguk-angguk paham.

"Dokter Razka benar. Walaupun saya akan sedih kamu tinggalin, tapi saya setuju dengan beliau. Sebagai dokter, pekerjaan kita ini seperti panggilan hati. Kalo kamu belum menemukan panggilan itu di sini, gak ada salahnya kamu pertimbangkan ucapan beliau."

Yang kali ini, Serra bisa menjawab yakin. "Saya mau di Sanjaya, dok."

Alis Fahri terangkat.

"Saya suka berada di Sanjaya. Saya memang masih belum tahu ingin mengambil apa, tapi untuk tempatnya saya tahu kalo saya menginginkan Sanjaya."

Senyum di wajah Fahri kembali terbit.

"Sanjaya yang mana, Serra?"

Pertanyaan menggoda itu kembali datang. Serra mengangkat wajahhya bingung. "Ya, dok?"

"Yang kamu mau Sanjaya Hospital atau Sanjaya yang...itu?"

Kepalanya berputar menatap arah pandangan Fahri. Dan saat itu ia mengerti maksud pertanyaan beliau.

Di depan ruang Pinus, Aldric tersenyum amat lebar dengan tangan memegang bunga kamomil beberapa tangkai. Melambai semangat ke arahnya.

"Malam, Pak Ryan. Apa kabar?"

Fahri yang menyapa terlebih dahulu, membuat Aldric menoleh dan mengangguk sopan.

"Malam, Dokter Fahri. Saya sehat. Baru selesai jaga, dok?"

Ditanya begitu membuat Fahri mengangguk. Menjabat tangan Aldric yang terulur ke arahnya.

"Iya, nih. Ini saya mau pulang. Tapi harus dengerin Serra curhat dulu. Katanya galau."

Digoda lagi, Serra menoleh dan menatap Fahri dengan dahi berkerut. Namun tidak bisa mengeluarkan suara karena Aldric kembali bicara.

"Oh ya? Galau kenapa, dok? Bukan karena ada cowok yang deketin, kan?"

Aldric ini adalah tipe yang terang-terangan. Seluruh penghuni rumah sakit sudah tahu tujuan kedatangannya ke rumah sakit. Dan juga tingkah-tingkahnya yang lain yang mengundang siapapun jadi penasaran dengan laki-laki yang terkenal playboy ini.

The Night BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang