Bab 8 (Volume 2) : Bimbangnya Dyah & Rencana

256 58 10
                                    

Dyah POV

17 april 1345, Kadipaten Cirebon Hutan Kera Plangon

Dyah Pitaloka bersama 3 pengawal dan 2 dayang sedang dalam perjalanan kembali menuju Pusat Kadipaten untuk bertemu dengan Prabu Linggabuana. Sudah 2 minggu sejak mereka berada di Majapahit untuk melakukan pengamatan dan mencari informasi di sana. Selama ada di sana hubungan Dyah dan Agra makin dekat. Dimana pada hari kedua Agra Disana, mereka kembali bertemu di sebuah sungai dekat sana dan Dyah sedang duduk termenung.

Dari sana mereka mulai saling mengobrol dan saling curhat satu sama lain, dan tentu masih menyembunyikan identitas mereka yang sebenarnya. Meski begitu Dyah kaget saat tahu bahwa Agra masih berusia 11 tahun atau seumurannya. Padahal tinggi Dyah saja masihlah 130 cm sedangkan Agra 165 cm, ini membuat Dyah Iri dan ini membuat Agra mengejeknya sebagai gadis pendek yang membuat hal ini menjadi bahan pemicu pertengkaran mereka. Hari-hari mereka lalui bersama dengan berbagai momen yang dilewati seperti canda tawa, saling sinis dan bertengkar, bahkan sudah seperti teman dekat saja. Ini membuat pengawal Dyah menjadi khawatir. Bahkan sempat mengingatkan Dyah agar tak terlalu dekat dengan Agra karena adalah rakyat Majapahit dan lebih di khawatirkan Putri Dyah bisa jatuh cinta padanya.

Tapi, meski Dyah nyaman berteman dengan Agra, Dyah juga sekalian mendekati Agra agar dapat mendapatkan banyak informasi, juga belajar cara berbaur dengan warga Majapahit. Dan ia merasa bahwa dirinya telah berhasil mengulik banyak informasi dari Agra, padahal justru sebaliknya. Meski begitu, setelah semua hal yang ia lakukan untuk membantu ayahandanya, ia selalu merasa ada yang menjanggal dihatinya.

"Entah mengapa, aku sangat bimbang untuk setuju dengan Ayahanda atau tidak. Karena, aku melihat kerajaan yang akan diperangi oleh kami memiliki kehidupan yang jauh lebih baik . Baik itu dalam aspek ekonomi dan sosialnya" Lirih Dyah sambil merenung kembali mengenai Kondisi Majapahit.

Ia sempat mengunjungi beberapa desa dan kota pusat Kekadipatenan Cilacap. Ia kagum dengan jalan batu lebar yang menghubungkan antar daerah dengan penerangan berupa lentera sepanjang jalan. Tapi, ada hal yang membuat Dyah merasa ngeri dengan banyaknya pos keamanan yang tersebar di sepanjang jalan. Bahkan dirinya sempat takut ketauan berasal dari sunda mengingat logatnya yang masih terdengar seperti Sunda.

Sebuah hal yang menjadi perhatiannya adalah banyak alat besar yang sepertinya berfungsi membangun bangunan Yang Tinggi. Sebenarnya, ia ingat bahwa pernah kesini bersama kakeknya. Tapi, saat itu keadaan jauh berbeda dari yang sekarang. Karena, penampakan kota yang jauh lebih rapih, tertata dan semakin baik. Rumah warga sipil Tentu saja Sunda tak bisa melakukannya, mengingat fokus mereka selalu pada militer dan pelayaran.

Bukan hanya bangunan saja, Dyah juga memperhatikan Pakaian Rakyat Majapahit semakin lebih baik dan variatif. Barang dagangan yang ada dipasar juga makin beragam dan menarik, terutama beberapa kerajinan bambu yang membuat Dyah ingin membelinya. Tentu, semua keadaan yang ia lihat berbanding terbalik dengan kondisi di kota dan Desa Cirebon. Dimana kondisinya jauh lebih buruk dibandingkan dengan Kadipatenan yang ada di Majapahit.

"Putri Dyah, kita sebentar lagi akan tiba di pusat wilayah" Lapor salah satu pengawalnya

"Sangat baik, mari kita laporkan apa yang kita amati pada gusti Prabu" Jawab Dyah dengan lega, karena ia sudah merasa sangat lelah berjalan berhari-hari menyusuri hutan dan gunung agar tiba disana.

******

Pusat Kekadipatenan, Kediaman Tumenggung Aceng

Akhirnya Dyah dan rombongan tiba di kota dengan sehat dan selamat. Mereka beruntung tak bertemu hewan buas dan bandit selama di perjalanan. Mungkin ini karena banyaknya aktivitas militer di dekat sana, karena sedari tadi Dyah dapat melihat beberapa rombongan pasukan yang sepertinya sedang berpatroli.

MENJADI PRABU HAYAM WURUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang