45.

41 8 16
                                    

“Perlu aku jemput?”

“Tidak usah, Widi. Setelah selesai konsultasi, aku masih akan berada di sini untuk mengikuti grup keterampilan untuk lansia.”

“Baiklah. Hubungi aku jika Mama ingin dijemput.”

“Tentu saja. Sampai jumpa.”

“Sampai jumpa.”

Louisa turun dari mobil Widi. Ia berjalan memasuki sebuah klinik psikologi yang berada di daerah itu. Widi memerhatikan wanita tua itu yang semakin jauh. Ketika Louisa sudah hampir tak terlihat, perhatian Widi beralih pada seseorang yang dikenal keluar dari gerbang klinik psikologi itu. Widi menurunkan kaca mobilnya.

“Ezra!”

Ezra menoleh ke asal suara. Keduanya saling melempar senyum.

“Butuh tumpangan?”

Awalnya Ezra terlihat enggan dan menimbang-nimbang penawaran Widi. Lalu ia mengangguk dan masuk ke dalam mobil Widi.

“Kamu ngapain di tempat ini?” tanya Widi saat menyalakan mesin mobil. Ia mulai membawa Ezra pergi dari sana. “Kamu baik-baik saja, kan?”

“Eh, kamu mau ke mana?”

Widi melirik pada pria itu. Aneh sekali saat menyadari Ezra tidak menjawab pertanyaannya. Widi jadi garuk-garuk kepala. “Supermarket.”

“Aku ikut, deh.”

“Belanja juga?”

“Ya. Beli kentang.”

“Hm, oke. Kamu ikut.”

Mereka hanya perlu waktu sepuluh menit untuk sampai ke supermarket. Widi mengambil satu troli dan troli itu didorong oleh Ezra. Ezra bilang ia hanya akan belanja sedikit barang, jadi lebih baik menumpang pada troli Widi. Awalnya mereka saling tidak bicara, Widi sibuk memilih bahan makanan yang akan dibeli.

Sepertiga troli sudah terisi bahan makanan milik Widi, tapi Ezra tidak mengambil apa pun untuk dibeli. Bahkan kentang yang katanya mau dibeli juga tak ada di dalam sana.

“Ezra, kita sudah melewati bagian sayur mayur. Kamu enggak ambil kentang?” tanya Widi. Ezra terlihat bingung. “Kamu ke sini bukan untuk belanja, kan?”

“Bukan. Melarikan diri lebih tepatnya,” jawab Ezra sambil mendorong troli mendahului Widi.

“Ada hubungannya dengan kepulangan dari klinik psikologi, kan?”

“Ya.”

“Stres? Cemas? Sulit tidur? Sulit konsentrasi? Atau—“

“Semuanya!” seru Ezra sampai seluruh orang di sekitar menoleh ke arah mereka. Wajah Ezra memerah. Ia menggumam, “Maafkan aku.”

Mereka masuk ke bagian bahan-bahan kue. Widi mencari ragi untuk membuat roti. Sayangnya ragi itu berada di rak paling atas, Widi tak sampai meraihnya.

“Ezra, tolong ambilkan itu!” pinta Widi sambil menunjuk ragi.

Sebuah tangan terulur mengambilkan ragi untuknya. Dari lengan pakaiannya, Widi tahu orang yang menolongnya bukan Ezra, bukan juga karyawan supermarket.

“Ini.”

“T-terima kasih ....”

“Sama-sama.” Pria itu langsung mendorong troli untuk menjauh.

Widi langsung bertanya, “Kamu masih ingat denganku, kan?”

Pria itu adalah Ernest. Ia berhenti mendorong trolinya, kemudian sedikit menoleh dan berkata, “Ya. Kamu temannya Nando.”

Ernest kembali mendorong trolinya. Ia belok ke kanan di ujung rak. Widi terdiam di tempat berdiri. Dari belakang Ezra mendorong troli perlahan. Ternyata ia tertinggal di belakang sana.

Kenapa Ernest itu seperti angin yang datang dan pergi sesuka hati? – Widi

“Sudah dapat ragi?” tanya Ezra begitu sampai.

“Sudah.” Kemudian Widi bertanya pada Ezra, “Kamu lihat pria yang mengambilkan ragi untukku?”

Ezra menggelengkan kepalanya. “Aku enggak lihat. Mungkin dia sudah pergi duluan sebelum aku sampai di sini.”

“Oh, ya.”

Selama bersama Widi, Ezra lebih banyak diam. Biasanya dia akan aktif bicara. Widi tahu sesuatu sedang terjadi pada pria itu. Jadi sebelum pulang, Widi mengajak Ezra untuk makan es krim di sebuah kafe. Ezra duduk duluan dan Widi yang memesan es krim. Widi datang ke meja pilihan Ezra dengan dua porsi banana split yang menggugah selera. Bayangkan, tiga scoop es krim yang terdiri dari rasa vanila, cokelat, dan stroberi yang diapit pisang di kedua sisinya. Di puncak masing-masing es krim dihias dengan whipped cream dan ceri yang merah berkilau. Jangan lupa taburan kacang dan lelehan saus cokelat penambah rasa. Yummy!

“Ice cream won’t hurt you,” ucap Widi sambil menaruh pesanan di atas meja. Ia lihat Ezra tersenyum dan menarik satu porsi es krim. Widi segera duduk. “Jadi apa masalahnya?”

“Aku merasa berubah menjadi orang lain. Oh, bukan. Aku diubah menjadi orang lain, kayaknya itu kalimat yang tepat.” Ezra menyuap es krim cokelat ke dalam mulutnya.

“Aku enggak yakin itu benar, kamu ya kamu. Sekuat apa pun orang mencoba mengubahmu, kamu ya tetap kamu.”

Ezra tersenyum kecut. “Do you see anything different about me?”

“No.” Widi sibuk memakan es krim vanila tanpa menatap Ezra.

“Lihatlah.”

Widi akhirnya mencoba memerhatikan Ezra. Kaos putih, kemeja hijau pastel tak dikancing, celana bahan katun twill warna abu-abu, sepasang sepatu putih. Pria itu juga secara terang-terangan mengendus bau badan Ezra, yang tentu saja membuat Ezra risi.

“Bagaimana?”

“Kayaknya aku kenal wangi ini. Tapi di mana, ya?” Widi mencoba mengingat-ingat. “Aroma parfum kamu lebih fruity. Wanginya enak. Tapi sangat jarang ditemukan pada pria yang punya brewok seperti kamu.”

“Di mana brewokku?”

“Ya Allah! Aku baru sadar!” seru Widi saat mengetahui wajah Ezra bersih. “Where did it go?”

“Heinrich tidak suka cium dengan wajah berbulu. Padahal aku berniat menumbuhkan kumis. Padahal kan enak ciumannya ada sensasi geli-geli begitu!”

Widi tersenyum geli. Ya, dia tahu rasanya. Dulu Ezra punya brewok di waktu kedua kalinya mereka bersama. Dan memang rasanya geli ketika dicium. Melihat senyum Widi sedikit melegakan bagi Ezra.

“Kayaknya Heinrich coba mengubahku menjadi Kenny.”

“Aku kira dia sudah move on.”

“Kami enggak pernah move on. Dan selalu ada Kenny di apartemen kami.”

“Kok bisa? Kalian mencuri mayat Kenny dari dalam kubur?”

“Enggak begitu!” Ezra ingin sekali mengetok kepala Widi dengan sendok. “Ada beberapa barang Kenny yang masih disimpan oleh Heinrich. Ia simpan di dalam lemarinya. Kadang-kadang rasanya seperti ada Kenny di dalam lemari yang sedang memerhatikan kami saat melakukan aktivitas.”

Kedua pria itu tiba-tiba membayangkan setan Kenny yang mengintip dari dalam lemari. Hal itu membuat mereka merinding.

“Kamu paranoid kali?”

“Bisa jadi.”

“Apa kamu sudah membicarakan hal ini dengan Heinrich?”

“Belum. Dia sedang sibuk mempersiapkan perjalanan untuk bosnya.”

“Ke mana?”

“Dia bilang perjalanan ini rahasia.”

Tiba-tiba Widi teringat dengan pesta seks rahasia yang dibilang oleh Ronan. Pesta seks rahasia yang dihadiri juga oleh Ernest. Kemudian Widi teringat kalau hari ini dia juga baru bertemu dengan Ernest, kenapa tadi dia tak menanyakan hal itu?

Duh, gobloknya aku! Tapi enggak etis juga menanyakan hal tabu seperti itu. – Widi

Diam-diam Widi mengetik pesan untuk Ronan di bawah meja. Mungkin saja Nando menggunakan jasa Heinrich untuk pergi ke tempat pesta seks rahasia itu. Dan mereka berdua bisa menyusul ke sana. Sebuah rencana sederhana yang Widi kira bisa berjalan dengan mulus.

Tapi ternyata,

“Aku tidak bisa membocorkan hal ini! Nando bisa membunuhku!” kata Heinrich yang diinterogasi oleh Ronan dan Widi di apartemennya. Duo bottom itu terlihat mengerikan saat sedang mode serius. “Ezra, kau tidak berniat untuk membelaku?”

Ezra duduk di sofa tunggal hanya bisa geleng-geleng kepala. “Aku paling takut kalau para bottom sudah bersatu.”

“Payah,” gumam Heinrich yang putus asa. Ia menarik napas dalam-dalam. “Sungguh aku tak bisa mengatakan apa-apa pada kalian. Aku takut kehilangan pekerjaan.”

“Aku jamin itu tidak akan terjadi,” kata Ronan. “Ayolah, beri petunjuk atau apalah!”

“Petunjuk? Apa, ya?” Heinrich memikirkan sebuah petunjuk yang tidak terlalu sulit. “Adriana Lima.”

“Adriana Lima?” ulang Ronan dengan nada kebingungan. Ia menatap Widi. Widi mengedikkan bahu. “Ada lagi?”

“Tidak ada,” tegas Heinrich yang tak mau lagi memberikan petunjuk. “Kalau sesuatu terjadi padaku, kau harus tanggung jawab, lho.”

“Baiklah.” Ronan bersandar pada kursi. “Adriana Lima. Aku sedang berpikir—“

“Ah! Tidak! Silakan berpikir di tempat lain. Aku dan Ezra perlu istirahat.” Heinrich menunjuk pintu keluar.

“Ayo, Ronan. Kita pergi dari sini,” ajak Widi sambil menarik lengan Ronan dan menyeretnya agar keluar dari sana. “Terima kasih atas petunjuknya.”

“Sama-sama,” sahut Heinrich dengan senyum lebar.

*

Di sebuah kafe pinggiran kota, Widi dan Ronan mampir sejenak untuk menikmati kopi dan kue. Sejak awal mereka tiba di sana, Widi bicara terus, Ronan lebih diam dan fokus makan kue yang dipesan. Hari ini sangat melelahkan dan membuatnya banyak pikiran.

“Mereka pergi ke mana, ya?”

Pertanyaan Widi tidak digubris oleh Ronan. Dalam diamnya, Ronan mempertanyakan kenapa harus repot begini untuk meyakinkan Widi tentang sifat buruk Ernest. Jika mereka tahu dan nekat pergi ke sana, hal ini akan mengancam rumah tangga Nando dan Ronan juga. Jika Nando sampai marah besar dan menceraikan Ronan, siapa yang mau tanggung jawab?

“Widi, aku rasa aku tidak bisa mengantarmu ke tempat pesta itu,” ujar Ronan yang juga kecewa pada keputusan sendiri.

“Kenapa?” tanya Widi sambil terus menatap Ronan.

“Aku takut jika Nando menceraikanku.”

Keduanya terdiam. Widi tiba-tiba sadar betapa egois dirinya. Ini bukan hanya tentangnya, ini tentang Ronan juga.

“Aku tahu dia brengsek, aku tahu mungkin aku bukan satu-satunya kekasih dalam hidupnya, begitu juga sebaliknya. Tapi aku sangat mencintai pria itu,” jelas Ronan. “Kau ingin tahu kenapa awalnya aku sangat bersemangat membongkar sifat Ernest yang ini?”

“Ya, tentu saja.”

“Jon. Jon meminta kami untuk menjagamu, juga keluargamu. Jon ingin kamu dapat kekasih yang baik. Aku sudah mengatakan hal buruk tentang Ernest. Tapi yang buruk untukku, belum tentu buruk untukmu, kan? Selain itu, kita juga tak tahu apakah Ernest tertarik padamu. Aku rasa pencarian kita akan sia-sia dan hanya akan menyakiti kita saja.

Kau akan patah hati. Aku bisa saja kehilangan Nando. Maafkan aku jika kau pikir aku sangat egois.”

Giliran Widi yang terdiam. Ronan pikir Widi marah padanya. Kemudian ia tersadar kalau Widi sedang tidak menatap dirinya. Widi menatap sesuatu di belakang Ronan. Ronan menoleh. Sebuah televisi yang diletakkan di atas sebuah lemari sedang menampilkan berita tentang penembakan massal di sebuah klinik psikologi. Ada 22 korban tewas yang ditemukan dalam peristiwa ini.

Jantung Widi berdetak kencang, tubuhnya lemas nyaris tak bisa bergerak saking takutnya. “Tidak! Ma!”

Sekuat tenaga Widi berusaha bergerak dan keluar dari kafe itu. Ronan bengong melihat Widi yang meninggalkannya. Ronan menatap pelayan sejenak dan meninggalkan selembar uang 100 dolar di atas meja karena tak punya waktu mengurus pembayaran.

Terlihat Widi yang gemetar sedang menelepon seseorang. Ia terlihat kesal karena panggilannya tidak diangkat. Ketika ia membuka pintu mobilnya, Ronan datang.

“Ada apa?”

“Aku harus pergi ke klinik psikologi yang baru saja ditampilkan di televisi. Mama Louisa ada di sana,” kata Widi dengan nada gemetar.

Melihat Widi yang hendak duduk di kursi pengemudi, Ronan langsung berseru, “Kamu enggak bisa menyetir dalam kondisi begini! Kamu bisa membahayakan diri sendiri!”

Ronan mendorong Widi agar pindah ke kursi samping pengemudi. Setelah itu Ronan yang menyetir mobil Widi menuju klinik psikologi yang dimaksud. Sepanjang perjalanan Widi mencoba menelepon nomor Louisa. Masih juga tidak diangkat.

Sesampainya di klinik psikologi terlihat banyak polisi dan tenaga medis di sana. Juga ada jurnalis dari beberapa media penyiaran sedang melaporkan siaran langsung. Widi melihat salah seorang polisi yang diwawancarai menyebutkan telah ditemukan kembali beberapa korban tewas di dalam gedung, korban-korban yang selamat sudah dievakuasi ke tempat yang aman, dan korban luka sudah dibawa ke rumah sakit terdekat. Jujur saja, Widi sangat bingung harus mencari Louisa di mana di tengah kekacauan ini.

Ronan mencari Louisa melalui jalan yang paling pahit. Ia terpaksa bertanya kepada seorang polisi ke mana para korban selamat, luka, dan tewas di bawa.

“Kita pergi ke rumah sakit dulu,” ajak Ronan sambil berjalan.

“Mama di sana?” tanya Widi yang sangat khawatir.

“Entahlah. Aku punya alasan kalau korban luka dan tewas lebih cepat didata.”

Pencarian dilanjutkan ke sebuah rumah sakit yang ditunjukkan oleh polisi. Di sana sangat ramai. Ambulans datang bergantian membawa korban tewas dan luka. Ada juga wartawan di luar rumah sakit mencari informasi. Ronan menarik Widi agar tidak terpisah darinya. Ronan pergi ke bagian informasi ruang IGD. Di sana Ronan bertanya tentang informasi korban yang tewas, kemudian ia diarahkan untuk pergi ke sebuah ruangan yang terdapat papan putih berisi nama korban tewas yang terus diperbarui daftarnya.

Ada 30 nama korban tewas di papan putih itu. 22 nama pertama adalah korban tewas di TKP. Di sana juga disertakan usia dan lokasi kematiannya. Widi dan Ronan langsung lemas ketika mendapati nama Louisa Marie Walter ada di sana. Louisa meninggal di ruang keterampilan lansia bersama 21 korban lainnya.

Kepala Widi mendadak pusing. Ia dipapah oleh Ronan untuk mencari tempat duduk.

“Apa kau ingin mengidentifikasi wajah Louisa?” tanya Ronan sambil membantu Widi duduk.

“Beri aku waktu,” jawab Widi. “Astaga! Harusnya tadi aku menyuruhnya langsung pulang saja.”

“Semua sudah terjadi. Kita harus memberitahu anak-anak jika memang benar Louisa telah tiada. Tunggu di sini.”

Widi menyaksikan Ronan pergi. Ronan mencari tahu di mana ia bisa melihat mayat Louisa. Setelah mendapatkan informasi, Ronan kembali pada Widi.

“Kita ke kamar mayat. Sekarang.”

Sebenarnya, Widi enggan. Tapi ia memaksakan diri untuk mengikuti Ronan. Mereka memasuki kamar mayat bersama dengan seorang karyawannya. Di dalam sana terdengar banyak tangis dari keluarga yang datang. Mereka berhenti di depan sebuah mayat yang ditutupi kain putih. Ada catatan di ranjangnya yang menunjukkan kalau ini mayat bernama Louisa Marie Walter.

“Kau sudah siap?” tanya karyawan itu sebelum membuka kain.

“Siap.” Widi menggenggam tangan Ronan.

Kain putih dibuka sebatas leher. Terlihat rambut merah dan wajah pucat Louisa. Matanya terpejam dan tak akan terbuka lagi. Kesedihan terpancar di wajah Widi. Satu lagi keluarganya hilang. Entah bagaimana ia menjelaskan semua ini pada Sarah dan William.

Mama. – Widi

“Apakah benar ini Louisa Marie Walter?” tanya karyawan itu.

“Benar. Ia adalah ibuku.” Widi menghapus air matanya. “Apa penyebab ia meninggal?”

“Ada tiga peluru bersarang di tubuhnya.”

“Oh, Tuhan!” Widi tak kuasa membayangkan kejadian yang menimpa Louisa.

Ma, maafkan aku. Seharusnya aku bisa menjagamu lebih baik lagi. Maafkan aku. – Widi

*

28 Januari 2023

Hari-hari yang sulit semoga berakhir, ya.

Terima kasih sudah membaca.



His Love 3 🌈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang