𑁍𑁍 (P A R T 𑁍𑁍 14) 𑁍𑁍

89 4 1
                                    

✼  ҉  ✼  ҉  ✼ ✼  ҉  ✼  ҉  

TRUTH OR DARE

Aku baru saja selesai membersihkan diri. Lalu tak sengaja mendapatinya tengah menatap ke arah luar jendela berkaca besar itu. Tepat saat aku baru saja keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambutku yang masih sedikit basah. Entah melihat pemandangan yang menarik dari atas sana atau mungkin melamunkan sesuatu.
"Ehm ... bisa berduaan seperti ini ... bukankah romantis?" Ia berbalik menatapku dengan seulas senyum di bibirnya lalu berjalan ke arah sofa putih yang tak jauh dari tempatnya berdiri tadi. Dan duduk menyamankan diri di sana.

"Oh! Hampir saja lupa. Tadi saat kau mandi, aku membeli minuman dan camilan di minimarket bawah." Dan benar saja. Di meja ruang tengah itu kini penuh dengan berbagai minuman dan juga camilan yang tadi sempat dibelinya.
"Dan ini untukmu." Ia bahkan sudah menyiapkan segelas minuman untukku. Dengan senang hati, aku lalu berjalan menghampirinya dan mengambil gelas itu dari tangannya.
"Terimakasih," ucapku padanya.

Saking hausnya aku langsung meminumnya saja tanpa bertanya minuman apa yang diberikannya tadi. Dan ketika minuman itu menyentuh lidahku, aku langsung merasa kaget dengan rasanya yang tak biasa. Karena jelas ini bukan minuman biasa pada umumnya.
"Ini ... bir, kan? Kau ....?" tanyaku dengan begitu paniknya. Sementara ia justru menertawakanku habis-habisan.

"Ekspresimu itu sangat lucu. Hey! Jangan kaku begitu. Kita sudah SMA, kan? Tidak ada salahnya sedikit melanggar aturan," ucapnya setelah puas menertawaiku. Aku langsung meletakkan kembali gelas itu di atas meja. Tidak berniat lagi untuk meminumnya. Rasa hausku benar-benar hilang seketika.

"Eh! Aku punya kartu. Ayo kita bermain!" ajaknya penuh semangat sambil memperlihatkan sekotak kartu di tangannya. Disisi lain aku hanya bisa lagi dan lagi menuruti setiap permintaannya.
"Tapi, bermain kartu hanya berdua saja itu tidak seru." Aku lalu bergeser memilih duduk di single sofa, di sebelah sofa besar yang didudukinya.
"Begitu, ya. Bagaimana kalau sambil bermain Truth or Dare?" usulnya lagi. Aku pun berdecak malas. Apakah ia tidak bisa mencari permainan yang lebih menyenangkan lagi?
"Itu terlalu rumit," protesku padanya, setelah meneguk minuman soda kaleng yang tadi dibelinya.
"Tapi, apa kau tahu bagaimana permainannya?" Dan aku hanya mengangguk asal. Sebenarnya aku tak terlalu mengerti dengan permainan yang dimaksudkannya itu. Ia pun langsung mengambil kartu yang tadi diletakkannya di atas meja dan memainkannya.

"Baiklah. Akan kujelaskan nanti sambil mulai bermain, ya." Sekarang, ia mulai mengambil kartu itu dari dalam wadahnya. Lalu mengacak kartunya dengan asal.
"Pertama, kita akan bermain sepuluh kali dan kau tidak boleh mundur di tengah permainan ini. Kedua, pilih kartu yang kau suka. Ketiga, kartu dengan angka terbesarlah yang akan menjadi pemenangnya. Dan si pemenang ini berhak mengajukan pertanyaan atau tantangan untuk yang kalah. Itulah Truth or Dare. Apa kau mengerti?" jelasnya panjang lebar. Oh! Ternyata semudah itu. Aku pun mengangguk mengerti setelah selesai mendengarkan semua penjelasannya tadi.

Permainan pun dimulai. Cukup menegangkan. Dan di ronde pertama ini, ia berhasil menjadi pemenangnya.
"Yeay! Aku menang! Saat aku menanyakan Truth or Dare, kau harus menjawab Truth, ya. OK?" Hah! Padahal permainan baru saja dimulai. Tapi, ia sudah mengubah aturannya sendiri. Jadi, ini malah terlihat seperti Truth or Truth, ya? Terserahlah. Aku memang sudah mencium aroma pemaksaan dari awal.

"Truth," jawabku, sama seperti permintaannya tadi.
"Bagus. Kalau begitu, sebagai awal permainan, menurutmu siapa yang paling terlihat imut di kelas kita?" Astaga! Pertanyaan macam apa ini? Apakah tidak ada pertanyaan lain yang lebih menarik?
"Kenapa mendadak kau bertanya hal semacam itu?" protesku, yang langsung membuatnya merengut lucu.
"Permainannya memang seperti itu. Kalau kau tidak bisa memberikan jawaban, maka kau harus memilih Dare, yang berarti tantangan. Dan jika seperti itu, aku akan memberimu perintah. Dan kau harus mau melakukannya. Tidak ada kata penolakan," ucapnya, setelah mengisi kembali gelasnya yang kosong.

I WANT TO EAT YOUR PANCREASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang