Bab 8. Mengalahkan Keraguan.

361 47 14
                                    

Kelakuan Bahi memang tak jauh beda dengan yang dulu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kelakuan Bahi memang tak jauh beda dengan yang dulu. Sifat jail dan tengil pria itu selalu sukses membuat Eveline mendengkus sebal sambil mengulang sedikit memori masa lalu dalam ingatan.

Bedanya, sekarang pria dengan tinggi badan 180cm lebih itu mempunyai sikap dewasa yang kadang muncul secara alami. Mungkin karena ujian hidup yang membentuk sikap tersebut juga usia yang kian bertambah dengan seiringnya waktu.

Dan Eveline menyukai itu.

"Apa, apa, apa? Astaga Bia!" Bahi menggeram meladeni adiknya yang sejak tadi ngotot ingin diajarkan naik sepeda motor. "Kamu naik sepeda aja udah gak kehitung nyusruk berapa kali. Gaya-gayaan mau bisa bawa motor. Lagian motor mas bukan motor matic, kamu naik aja kakinya gak bisa nahan."

"Ya makanya itu, aku mau kredit motor biar bisa belajar. Kan enak nanti pulang kerja gak usah repotin Mas Bahi."

Bahi mendesah malas. "Mas mending direpotin daripada mikirin kamu masuk ICU."

"Mas Bahi!" gerutu Bianca sambil memukul punggung kakaknya yang mulai berjalan ke ruang tengah. "Mas, aku mau bisa naik motor. Enak mau pepergian gak usah pesen ojol. Boros juga, kan. Iya gak Kak Eve?"

Eveline yang sejak tadi duduk diam sambil mendengarkan dua penghuni rumah itu berdebat, tiba-tiba mengerjap bingung. Ia tak pernah memakai jasa ojek online karena selalu ada sopir rumah yang siap mengantarnya, tapi mengiyakan apa yang ditanyakan Bianca sepertinya hal yang tepat.

"Iya, bener."

Bahi duduk di samping Eveline setelah menarik tudung hoodie yang digunakan gadis itu hingga menutupi kepala. Lalu mendengar beberapa kata protesan Eveline yang berakhir memukul lengannya.

"Gak usah didukung." Bahi mengusap lenagnnya sebentar. "Perempuan tuh kalau bisa naik motor suka ngaco dijalanan. Salah sen lah, ambil jalur gak tau aturan, diklaksonin malah marah, kalau salah malah nyolot. Berasa jalanan punya dia seorang."

Terkekeh geli, Eveline memilih jadi penonton saja. Menurutnya lucu jika melihat Bahi dan Bianca bertengkar seperti ini.

"Mas samain aku sama ibu-ibu? Ya, aku gak kayak gitu lah kalau bisa naik motor."

"Ya ibu-ibu kan perempuan. Kamu juga perempuan."

Bianca mendengkus. Ia tak berniat bergabung dengan dua orang di sofa karena memilih berdiri sambil menumpu kedua tangan di perpotongan pinggang. Tatapan tajamnya tertuju pada sang kakak.

"Pokoknya aku mau kredit motor. Aku udah punya tabungan juga buat DP!" pungkasnya lalu menghentakkan kaki sebelum pergi meninggalkan dua orang di sana.

"Kenapa sih gak boleh banget Bia bisa bawa motor?" Eveline bertanya saat Bahi menatap kepergian Bia dengan tatapan sedikit bersalah. "Bia bukan anak di bawah umur juga kan, udah punya KTP buat bikin SIM."

Memang benar, tapi Bahi tak mau mengambil risiko dengan mencemaskan Bianca yang setiap hari pulang pergi membawa kendaraan sendiri. Dulu ia pernah kebetulan bertemu gadis yang sedang menaiki sepeda motor sendirian diganggu beberapa pria di jalanan sepi. Jika saat itu ia tak melewati jalan tersebut, entah apa yang terjadi dengan gadis itu. Bahi bahkan masih ingat bagaimana pendar kepanikan dengan suara bergetar si gadis saat berkali-kali mengucapkan terima kasih padanya.

What's Wrong?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang