28. Kembali dari Kegelapan

25 5 4
                                    

"Panggil tabib istana sekarang! Dan jangan biarkan orang-orang yang ada di perjamuan ini keluar, sebelum siapa pun yang sudah melakukan kejahatan pada permaisuriku ditangkap!" Khalifah Harun berteriak kencang pada semua penjaga. Dengan wajah panik dia pun mengangkat tubuh permaisuri dan membawanya ke istana. Diikuti anggota keluarga yang lain.

Para penjaga pun sigap menutup setiap gerbang untuk memastikan tak ada yang bisa keluar. Al-Amin, Al-Malik dan Areta tampak harap-harap cemas di tempatnya. Sedang Ayesha memilih langsung mencari tempat persembunyian dibantu Aliyah atas perintah permaisuri sebelum kejadian. Agaknya Anzilla khawatir orang-orang suruhan Al-Malik akan menangkap Ayesha sebagai kambing hitam. Atau paling parah melenyapkannya demi menutupi jejak kejahatan.

"Bagun lah, Permaisuriku, aku tak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi padamu," gumam khalifah sepanjang langkahnya membawa permaisuri. Wajah nelangsanya benar-benar membuat Halima merasa ikut prihatin.

Maka ketika khalifah sudah meletakkan permaisuri di ranjangnya, Halima pun sigap menutup pintu. Bahkan tak memperbolehkan keluarga kerajaan ikut masuk termasuk putranya Al-Amin. Tindakannya membuat Khalifah menautkan alis sekaligus kesal.

"Apa yang kau lakukan di sini, Halima?! Kenapa kau tak ikut memanggil tabib istana?" tanya khalifah heran. Dia menekankan sedikit nada bicaranya karena terlalu frustrasi melihat kondisi istrinya.

"Maafkan hamba, Yang Mulia, tapi ada satu hal yang harus hamba katakan pada Anda terkait permaisuri."

Mendengar perkataan Halima, khalifah semakin tampak bingung. "Jangan bercanda disaat keadaan seperti ini, Halima. Kau tahu Per-"

"Permaisuri masih hidup, Yang Mulia, insha Allah tak akan terjadi hal buruk padanya." Halimah berbicara dengan nada sangat pelan agar orang-orang dibalik pintu tak bisa mencuridengar.

Mendengar kalimat Halima yang sangat tenang, Khalifah semakin dibuat bingung. Mengerti akan hal itu, Halima akhirnya mendekat ke arah khalifah. "Silakan Anda pastikan sendiri dengan memeriksa denyut nadinya," sambung Halima.

Tak butuh waktu lama, khalifah akhirnya melakukan hal yang dikatakan Halima. Dia duduk di samping permaisuri agar bisa menyentuh wajahnya, senyum lega tersungging di bibir laki-laki itu kala menyentuh denyut nadi permaisuri di leher dan pergelangan tangan. Lalu beralih pada hidung. Tak cukup sampai di sana, khalifah pun mendekatkan wajahnya agar bisa mencium bau sesuatu yang keluar dari napas permaisuri.

"Ini ...." Khalifah menggantung kalimat, lalu menatap Halima yang berdiri di samping ranjang. Wajah khawatirnya perlahan berubah menjadi lebih tenang.

"Ya, Yang Mulia, Permaisuri hanya menelan cairan opium yang sudah dikombinasikan dengan alkaloid, bahan itu dipesan beberapa hari lalu dari Eropa, dan efeknya hanya akan menimbulkan pingsan untuk sesaat," terang Halimah meyakinkan.

Setelah mendengarkan penjelasan tersebut, khalifah pun menghela napas lega. "Tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Halima?"

Lalu mengalir lah semua cerita dari mulut Halimah, dari saat Ayesha datang pada permaisuri hingga rencana mereka untuk menukar racun arsenik dari Al-Malik dengan cairan opium, yang efeknya hanya akan membuat orang tertidur untuk beberapa waktu. Opium adalah sejenis cairan yang dihasilkan dari getah tanaman Opium Poppy, di masa depan tumbuhan ini sering disalahgunakan menjadi obat terlarang seperti heroin.

"Demi Allah aku tak akan pernah mengampuni mereka." Khalifah bangkit dengan rahang mengeras, kemarahannya sudah tidak terbendung lagi. Dia pun keluar dari kamar permaisuri dan membuat semua orang panik dan takut.

"Tangkap Al-Malik, dan selir Areta sekarang lalu masukkan mereka ke penjara!" serunya kemudian pada beberapa pengawal yang berjaga. Mereka pun langsung sigap melaksanakan perintah raja.

***

"Aku di mana? Kenapa semuanya gelap?" gumam Anzilla, lalu mengedarkan pandangan pada sekeliling ruang gelap dan sunyi itu.

"Khalifah .... Halimah ...! Kalian di mana?" serunya lagi karena tak ada jawaban dari siapa pun.

"Mahin ... Aliyah ... Ayesha!" Anzilla mulai terdengar panik dan gelisah.

"Apa aku sudah mati?" sambungnya, dengan lutut yang lemas, tubuhnya pun luruh saat membayangkan kini dia benar-benar telah pergi meninggalkan semua orang.

"Apa harus begini akhirnya? Aku bahkan belum mengucapkan salam perpisahan yang layak pada khalifah dan pada orang tuaku di masa depan. Kalian pasti tengah khawatir memikirkan aku. Maaf Dad karena tak menuruti ucapanmu," lirih Anzilla, lalu mendekap lututnya dan menumpukan kepalanya di sana. Baru kali ini wanita cantik itu benar-benar merasa benci dengan kesendirian dan kesunyian. Padahal selama ini dia adalah manusia paling individual dan merasa tak butuh siapa pun.

"Anzilla ... bangun, Nak! Kenapa dia kejang-kejang seperti ini, Dok!" Sebuah suara yang dia kenali sebagai suara ayahnya tiba-tiba terdengar.  Secercah harapan pun mucul dalam diri Anzilla. Rasa putus asanya kini berganti menjadi harapan, Anzilla pun kembali bangkit.

"Dad .... aku di sini! Kau di mana!" seru Anzilla sambil bergerak ke sana ke mari untuk mencari sumber suara. Namun, tak ada jawaban kembali.

"Permaisuri, bangunlah aku mohon," kali ini suara khalifah lah yang terdengar. Begitu lembut dan terdengar putus asa.

"Khalifah, tolong aku ... aku tak mau sendirian di-" kalimat Anzilla terputus karena bias cahaya putih yang tiba-tiba datang dan menelannya bersama kegelapan.

Matanya perlahan mulai mengerjap, samar-samar dia bisa mendengar percakapan khalifah dengan beberapa orang. "Ini bahkan sudah menjelang pagi, tapi kenapa permaisuriku belum juga bangun?" tanya khalifah khawtir.

"Ah ... pusing sekali," rintih Anzilla sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Dia pun berusaha mengangkat tubuhnya agar menjadi posisi duduk.

Rintihannya ternyata berhasil mengundang perhatian khalifah yang memang belum tertidur karena menjaga istrinya. Para tabib dan Halimah pun sigap menghampiri Anzilla.

"Permaisuri ku, akhirnya kau bangun juga ...  syukur alhamdulillah, terimakasih ya Rabb," ujar khalifah senang dan lega, lalu memeluk Anzilla dengan erat.

Anzilla tak menolak perlakuan itu, dia hanya tersenyum samar dan membalas pelukan khalifah tak kalah erat. Jauh di dasar hatinya dia pun lega karena masih bisa melihat khalifah lagi.

"Yang Mulia, apa Anda dari tadi menunggu saya di sini?" Anzilla memecah keheningan tanpa melepas pelukan.

"Sekarang bukan itu yang terpenting ...," khalifah menggantung kalimat, dia mengurai pelukannya pada permaisuri dan menatap matanya lama,

"Jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi. Atau aku tak akan melepaskan mereka semua yang coba menutupinya dariku, termasuk Halimah," ancam khalifah tak main-main.

Mendengar kemarahan itu, Anzilla pun seketika panik. Dia khawatir Ayesha dan yang lain akan ikut menanggung hukuman juga. "Jangan, Yang Mulia, semua ini hamba yang salah, hamba lah yang menyuruh mereka melakukan ini dan menutupinya dari Anda. Tolong ... jangan hukum Halima dan selir Ayesha," Anzilla memohon dengan sangat.

Melihat istrinya masih tampak lemas, khalifah pun hanya mengembuskan napas karena merasa tak tega. "Sudahlah, tolong periksa istriku lebih dulu dan pastikan keadaannya sudah membaik. Setelah ini jangan harap aku akan mengampuni mereka yang coba menyakitimu." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut khalifah. Lalu dia pun bangkit untuk memberi ruang pada tabib istana agar mengecek kondisi permaisuri.

Di tempatnya Anzilla hanya bisa pasrah dan terus berdoa. Agar khalifah melepaskan Ayesha.

***

Assalamualaikum semua .... akhirnya setelah sekian lama aku come back lagi dengan cerita ini. Semoga suka ya. Jangan lupa kasih support dengan like dan komen atau bagikan cerita ini di sosmed kalian biar banyak yang tahu dan aku makin semangat lanjut. See you next chapter.

Anzilla dan Sang KhalifahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang