Siang berlalu, berganti dengan malam yang syahdu. Ukiran langit gelap yang bertabur bintang, serta bulan purnama yang merindu, menghiasi kehangatan cinta dua insan yang telah bersatu.
Ya, malam ini. Nafisya dan Samudra sudah resmi menjadi pasangan suami istri yang sesungguhnya, setelah sekian lama mengarungi bahtera yang mengambang dengan gamang di tengah lautan.
Mereka memang belum saling mencintai, tapi sekali lagi, Nafisya sudah menggugurkan kewajibannya sebagai seorang istri, memberikan hak, seluruh hidup, dan seluruh tubuhnya untuk Samudra, menerima nafkah batin dari suaminya.
Setelah sekian purnama, setelah berbulan-bulan mereka menjalani pernikahan keterpaksaan ini.
"Terimakasih, Almahyra..."
Samudra mengucapkan kata itu untuk kesekian kali, diiringi dengan kata maaf tanpa henti.
Nafisya menenggelamkan diri di ceruk leher Samudra, menyembunyikan tubuh polosnya dalam dekapan suaminya. Bagaimanapun, ini pertama kali bagi dirinya, jujur, Nafisya malu.
Mengerti, Samudra menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka, mengeratkan pelukan hangat keduanya.
"Maaf..." lagi, suara lembut itu mengucapkan kata maaf.
Nafisya tak bergeming, ia masih menyembunyikan wajah merahnya disana. Samudra membelai surai hitam bergelombang itu, menghapus peluh yang masih menitik di kening istrinya. Nafas mereka masih memburu, dengan degup jantung yang saling beradu.
Beberapa saat lalu, Samudra melakukannya dengan lembut, berkali-kali meminta maaf dan meminta izin kepada Nafisya jika ingin menyentuh lebih jauh. Nafisya membiarkannya, mengizinkan apapun yang dilakukan Samudra terhadapnya.
Dengan lembut, Samudra menjauhkan sedikit tubuhnya lalu menaikkan dagu indah yang sedikit terbelah milik istrinya itu, membawa wajah cantik Nafisya untuk menghadap wajahnya. Nafisya membuka mata perlahan, sorot sayu ia tampilkan, menatap netra legam dihadapannya.
Degup jantung mereka semakin beradu, tatapan Nafisya berpindah-pindah dari kedua mata ke bibir suaminya, berkali-kali, hingga akhirnya nalurinya mendorong wajahnya mendekat, semakin dekat hingga bibir mereka kembali bersentuhan.
Samudra terkejut, berbeda dengan Nafisya yang mulai melumat bibirnya disana, matanya kembali terpejam, menunggu suaminya untuk membalas pagutan lembut ini.
Tak ayal, Samudra ikut terbuai, tangannya yang berada di dagu istrinya, kini berpindah menangkup rahang cantik Nafisya, membawanya semakin dekat, membalas pagutan itu semakin dalam.
Nafisya sudah kehilangan akal, dia yang memulai, maka dia yang harus menerima akibatnya. Samudra memagutnya semakin dalam, membuat Nafisya hampir kehabisan nafas. Gadis itu memukul pelan dada bidang suaminya, membuat sang empu tersadar lalu melepaskan sejenak kegiatan mereka.
Hingga akhirnya, keduanya kembali melakukan ibadah mereka di malam ini, tidak ada yang lebih indah dari pada ikatan suci pernikahan, bersatu untuk saling menyempurnakan, mengarungi bahtera bersama dan melaju ke dermaga impian.
***
"Mau makan apa hari ini, hm?"
"Terserah."
Dasar perempuan, selalu saja mengatakan kata terserah ketika diberikan pertanyaan. Baiklah, Samudra harus mengubah pertanyaannya sekarang.
"Mau es krim dan croissant? Atau mau ayam geprek di depan?"
Nafisya mengerjap, netranya bergulir keatas, memikirkan sesuatu. "Eum... Dua-duanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
DESAMSYA [ON GOING]
Teen Fiction#3 GEZELLIGHEID SERIES Nafisya Nayyara Almahyra, gadis belia yang terpaksa harus menikah dengan Samudra Shazad Zaigham, sahabat sekaligus sepupu dari orang yang dia cintai, Dewangga Adelard Nadhif. Pernikahan yang tidak diimpikan itu, berlandaskan...