5.1 UKS

2 1 0
                                    

Di saat upacara pengibaran bendera berlangsung, dua siswa terlihat menjalankan sandiwara. Satu siswa berpura-pura sakit lalu satu siswa lagi akan menemaninya dalam UKS. Kemudian setelah dipersilakan menuju UKS, dua siswa itu dengan santainya rebahan di ruangan sejuk ber-AC itu. Mereka berdua adalah Ryan dan Rubay.

Parahnya lagi Lily pun harus mengikuti mereka. Maka dari itu, Lily juga berpura-pura oleng seperti hendak pingsan dan berhasil membuat beberapa anggota PMR yang berjaga itu menggiring Lily ke UKS. Seumur hidupnya, Lily belum pernah berpura-pura sakit. Maklum, dirinya sedikit kaku dalam menjalankan aksi tersebut.

Lily menggeser pintu UKS agar membuka setelah menolak kepada anggota PMR yang ingin menemaninya di ruangan. Kemudian menggeser kembali agar pintunya menutup, ia melakukan itu dengan hati-hati dan cemas, tanpa menimbulkan suara. Terlihat Ryan dan Rubay yang enaknya berbaring di ranjang.

"Btw, apa cuma kita doang di sini? Gak ada yang benar-benar sakit?" tanya Lily pelan sambil celingukan mencari barangkali ada manusia di dalam ruangan selain mereka bertiga.

"Ada. Cuma gue usir," jawab Rubay seenak jidat membuat gadis berkacamata itu membulatkan matanya kaget.

"Pijit kaki gua ...."

Menurutnya, Lily adalah pelayan yang patut diacungi jempol, dikerjakan gratis dan sangat menurut. Dibuktikan ketika Lily menyanggupi suruhannya untuk mengekorinya kemari dan kali ini langsung memijit kakinya tanpa banyak bicara. Namun, tetap saja, ia tak terima ketika Lily yang sedang memijit kakinya memasang wajah tanpa bersalah sekarang.

"Hari Sabtu, gue telepon lo kenapa gak diangkat? Udah itu malah diblok!" sungutnya kesal padahal waktu itu ia sangat membutuhkannya. Seharusnya gadis itu minta maaf sekarang, seharusnya bukan dirinya yang mengingatkan.

"Oooh," sahut Lily terlewat santai, sambil memijit kaki Ryan, ia menjelaskan, "gue lagi pulang ke Bandung. Kenapa gue block kontak lo? Karena gue dituduh punya pacar sama keluarga, hanya karena alasan ... lo namain kontak sendiri Ryan Tampan yang membuahkan bencana besar bagi gue di saat lo nelepon."

Ryan terduduk dan tertawa keras sambil memegangi perutnya, mungkin suara tawanya sampai terdengar keluar UKS. "Ternyata lo gak ganti nama kontaknya—"

"Sekarang udah diganti," tukas Lily ringan, "jadi Si Iblis pembawa bencana. Itu lebih baik daripada Ryan Tampan yang sebenarnya terkesan biasa aja mukanya."

Entah darimana Lily memiliki keberanian itu. Yang jelas, ia mengatakan itu dengan wajah tanpa beban. Seolah kata-katanya memang fakta.

Tawanya terhenti.  Tatapan Ryan menyorot tajam pada Lily. Ada jiwa iblis yang menyerangnya untuk menimpali ucapan Lily. Sambil tersenyum miring ia berbisik di telinga gadis itu. "Coba ngomong sekali lagi, hm?"

Suara berat yang membisik itu memberi aura kegelapan yang pekat. Melalui bisikan yang bak embusan angin malam itu, Lily dapat melihat nasibnya ke depan. Langsung tergambar jelas, dirinya dengan monster besar dalam ruangan tanpa cahaya, tubuhnya dipeluk oleh lengan besar itu dan kepalanya masuk ke dalam mulut besar itu. Dirinya tak bisa berlari. Dibiarkan beribu-ribu ketakutan, tetapi entah bagaimana hendak menyelamatkan diri. Dan monster itu seperti bisikan Ryan yang langsung menembus ulu hatinya.

Ketika Ryan masih menatapnya tajam, tubuhnya spontan meremang dan merasa ada aura dingin yang menakutkan. Lily menggigit bibirnya dan menggeleng kecil. Ucapan berupa bisikan itu memberi dampak yang membuatnya merasa ketakutan. Terpaksa ia melangkah keluar UKS untuk melarikan diri, "Sori, Yan. Gue mau ke lapangan, gak baik berpura-pura kayak gini."

"Ternyata cewek sepintar lo punya nyali kecil," komentar Ryan sangat puas seraya kembali berbaring. Berniat bermain ponsel kembali. Melihat raut wajah Lily yang berubah gugup itu membuatnya besar kepala. Dalam hati, ia takkan melupakan raut orang yang digadang-gadang murid terpintar itu ternyata bisa berubah pucat di hadapannya.

Lily yang mendengarnya mengatupkan bibirnya tepat di hadapan pintu yang tertutup. Menahan gejolak kesal yang hampir keluar.

Tak disangka, pintu geser itu bergerak membuka dari luar.

"Eh, Lily? Kamu sakit?" Tahu-tahu Pak Joy, si guru penuh kejutan itu berdiri berhadapan dengan Lily yang tadinya berniat menggeser pintu, tetapi keduluan olehnya.

Mendengar ada suara bapak-bapak, Ryan maupun Rubay sesegera menyimpan ponsel, tapi terasa nihil karena Pak Joy sudah melihatnya. Dan Lily tak kuasa berpura-pura pingsan sekarang.

“Kalian berdua kenapa tidak upacara?” tanya Pak Joy begitu melihat kedua lelaki itu ketahuan bermain ponsel. Langsung saja dia tebak bila mereka hanya pura-pura sakit. “Bolos upacara?!”

“Nggak, Pak. Pusing kita, Pak,” dalih Rubay tanpa banyak berpikir.

Memang ada ya orang pusing yang berwajah segar begitu ditambah tadi ketahuan sedang bermain game online. Mana tadi satu kaki yang panjang itu nampak ditekuk karena tidak muat diluruskan di satu ranjang, dengan telapak kaki beralaskan sepatu menyentuh sprei bersihnya. Ditambah satu kaki lain disilangkan dengan berani.

Lalu Pak Joy menatap nyalang Lily. “Kamu juga pura-pura sakit?!”

Lily melirik dua laki-laki yang bergeming kaku. Ia sempat menyunggingkan senyuman simpul yang terlihat sinis kepada mereka, terutama kepada Ryan. "Kita pura-pura sakit, Pak." Perkataan Lily membuat Ryan terkaget-kaget, sementara Rubay malah tersenyum tak enak kepada Pak Joy yang manggut-manggut paham. "Saya disuruh pijit kaki, makanya saya ikut ...."

Begitulah penuturan Lily yang mengakibatkan mereka dihukum bersama, walau Lily dapat getahnya tapi berhasil membuat Ryan dan Rubay mendapat hukuman dari sekian banyaknya tidak mematuhi aturan tapi berhasil lolos dari hukuman. Sayangnya, sekarang tidak.

***

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang