6.2 Dengan Nura

1 1 0
                                    

Suasana sudah sepi, tersisa beberapa orang yang masih hinggap. Lily menelusuri koridor sendirian, sementara Kaze sudah kabur duluan dengan alasan dia harus buru-buru untuk pulang ke kos, katanya ada pekerjaan yang belum terselesaikan, entah pekerjaan apa.



Seusai keluar dari kawasan SMA-nya, Lily menelusuri lorong yang akan mempertemukan basecamp Ryan, tempat berupa bangunan tua yang selalu dijadikan tempat bolos anak nakal.



Tetapi langkahnya terhenti ketika seseorang menghalanginya, satu perempuan dengan wajah cantik itu tersenyum manis. "Nura? Apa kabar? Kok, belum pulang?"



Nura masih tersenyum manis. "Tugas gue udah dikerjain?"



Lily terdiam, tak biasanya gadis itu menemuinya hanya untuk menanyakan tugas. Perasaannya sedikit tak enak tapi ia usahakan untuk mengangguk. "Udah. Tinggal satu soal lagi, agak panjang jadi memakan waktu lama dan gue harus rileks. Tapi tenang aja, besok tugas lo gue pastiin selesai.""



Nura mendekat, mengusap surai rambut Lily yang sepantar dengan telinganya. "Gue boleh nanya satu hal?"



Lily merasa yakin bila gadis itu ingin 'bermacam-macam' dengannya. Mimiknya berubah, persis mimik sewaktu dia tersenyum dan menggeleng iba kepadanya minggu lalu. Di hari dirinya mendapati Raisa (adik Ryan) dengan tatapan kosong saat Nura muncul di depan pintu, di mana dirinya berdiri di samping Ryan yang nampak marah atas kehadiran Nura waktu itu. Entah keberuntungan atau pengucilan, Ryan secara gamblang menjawab pertanyaan adiknya tentang hubungannya dengan Ryan: "Lily pelayan gua," katanya waktu itu tak sedikit pun membuang tatapan tajam kepada Nura. Sementara gadis berwajah psikopat yang berdiri di gagang pintu bernapas lega begitu tahu tentang hubungan dirinya dengan Ryan. Tatapan misterius pun menghilang sekaligus.



Lily tak mengerti sampai sekarang. Apa yang terjadi. Mengapa jiwanya tiba-tiba menciut ketika Nura berhadapan dengannya, apalagi sendirian. Ia jadi menyesal telah menolak Kaze untuk pulang bersama.



"Nanya satu hal? Tentang?" Lily spontan mundur, "Lebih baik kita duduk daripada berdiri ... iya 'kan?"



Nura tersenyum manis. Namun, tatapannya menyorot hampa. "Lo bukannya disuruh cepat-cepat ke basecamp Ryan?"



Lily meneguk ludahnya. "Lo kok tahu?"



Nura menggeleng kecil, seakan pertanyaan Lily terdengar basi. "Gue cuma mau nanya, lo sebetulnya punya hubungan apa sama Ryan?" Nura masih tersenyum.



Lily merasa tertuduh. Ia spontan mengangkat satu tangannya, membentuk huruf V dengan gesit. "Gue cuma pelayannya! Sueer! Gak ada hubungan apa-apa. Gue gak bohong!"



Jari telunjuk Nura menyentuh bibir Lily yang spontan mengatup. "Bagaimana ceritanya lo bisa cium dia?"



Napas Lily tercekat ketika bibirnya sedikit ditekan, ia mundur selangkah untuk membuang waswas dan menggeleng lemah. "Rubay, dia dorong Ryan dari belakang yang posisinya berhadapan dengan gue, alhasil kita jatuh."



Hening sejenak. Suasana mendadak beku.



Nura ber-oh ria sambil terkekeh kecil, mimik wajahnya spontan berubah menjadi biasa, seperti yang terumbar di sekolah. Kembali anggun dengan tingkah cantiknya. "Rubay, Rubay, bikin gue cemburu aja. Lo kok bisa hilang keseimbangan? Cari kesempatan, ya?" tanyanya sinis.



"Lantainya licin," cicit Lily, tersenyum kikuk. Tapi tak urung, hatinya melega, seakan beban yang menimpanya terangkat kala ekspresi Nura berubah. Ia justru lebih menyukai Nura dengan kesinisannya, daripada senyuman manis bagaikan psikopat tadi.



"Tunggu dulu," Nura masih menghalangi jalan Lily seraya merogoh ponsel ber-chase besi lumayan tebal. "Ini hadiahnya karena lo udah ...."



Nura menampar pipi Lily beberapa kali, menggunakan handphone ber-casing besi miliknya. Lily tak bisa bergeming, dia menghindar sekaligus kaget. Pertama, penyerangan secara tiba-tiba itu. Kedua, pipinya merasakan kekakuan atas nyeri yang hebat.



Penamparan bak pukulan keras berhenti. Nura merogoh tas, entah membawa apa. Sementara Lily terjatuh lemas di tanah sebab tamparan bagaikan pukulan kencang itu. Keadaan pipinya ternyata membeku, sulit membuka mulut atau hanya sekadar bilang 'sori' pun susah. Kebekuan ini tak bisa menghindar dari rasa sakit dan nyeri yang terasa sangat nyata. Sebagaimana ia tahu, pipi ditampar dengan besi lebih menyakitkan daripada ditampar menggunakan telapak tangan.



Tangan Lily menyentuh pipinya dengan mulut yang masih meringis kecil, pipinya sedikit basah yang Lily duga adalah air keringatnya tapi agak janggal karena pipinya sedikit merobek, bila dipegang bisa membuat siapapun berteriak kesakitan. Namun, tak ada sebersit pun ingin menangis. Lily malah tertawa kaku. "Ha-ha-ha ... s-sakit banget ...," desisnya dan berusaha untuk bangun, ternyata tamparan itu dapat melemahkan tulang-tulangnya dan menolak untuk berdiri.



Nura nyengir tanpa membuang keanggunannya. Siapapun yang melihatnya pertama kali akan mengira dia baik, tak tercermin keburukan. "Tamparan tadi adalah balasan karena lo udah regut ciuman pertama Ryan, udah berani-beraninya hina dia 'cowok banci' dan udah buat dia gak konsen belajar karena lo," kata Nura penuh penekanan.



Lily tersenyum paksa walau sedikit nyeri. Prasangkanya memberitahu bila Nura berbahaya, buktinya dia tahu apa saja yang ia lakukan ketika bersama Ryan. Terlebih lagi Nura tahu gerak-gerik Ryan yang tidak konsen belajar karenanya.



Nura meraih botol berisi kopi dingin dari ranselnya. "Mau kopi? Minuman kesukaan lo, kan?"



Lily tak bisa tidak menduga kalau Nura pasti sempat menguntitnya kemarin-kemarin atau mencari-cari hal tentangnya. Rasanya tak ada yang mengetahui minuman kesukaannya selain Kaze. Tapi tak urung ia mengangguk sambil berdiri, ada energi yang masuk ketika minuman favorit-nya muncul di depan matanya. "Buat gue?"



"Iya ...."



"Makasih."



***


Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang