Malam ini aku menemani Suai Namun bekerja di restoran. Sebelum sampai ke sini, aku memaksanya dengan keras agar dia mau mengizinkanku untuk membantunya bekerja. Oke, kemarin aku menuruti kemauan Suai Namun. Tapi hari ini tidak boleh dibiarkan. Lagi pula kemarin siang saat di UKS, aku dan Miller sudah mengganggu waktu bekerja Suai Namun bersama ibunya. Jadi, sebagai gantinya aku tidak akan membiarkan Suai Namun bekerja sendirian malam ini.
Suai Namun bersikeras mengenai kakiku. Dan berapa kali harus kukatakan kalau kakiku tidak separah yang mereka pikirkan, bahkan setelah dikompres dan istirahat sebentar di UKS kemarin, seharusnya aku sudah bisa jalan sendiri. Ini hanya cedera ringan. Tiada alasan lagi untuk tidak membantu Suai Namun bekerja, kecuali kasusnya seperti Miller yang memar hampir di seluruh bagian tubuhnya. Wajar kalau dia tidak bisa ikut membantu hari ini.
Pekerjaan kami selesai lebih cepat hari ini. Restoran sedang sepi dan piringnya juga tidak terlalu banyak. Waktu yang tersisa kami manfaatkan untuk mampir ke pondok. Seperti biasa, mengamati langit malam. Akan tetapi, malam ini langitnya sedang tidak cerah. Sehingga yang dapat diamati hanya pemandangan bulan dan cahaya bintang Sirius. Sirius bintang paling terang yang bisa diamati dari bumi. Letaknya di rasi bintang Canis Major.
Agar dapat melihat Sirius. Aku dan Suai Namun harus turun dari pondok. Jika kami tetap di atas pondok. Ranting dan dedaunannya bisa menghalangi kami untuk dapat melihat Sirius. Dan di sinilah kami sekarang, di tengah hamparan padang rumput.
Suai Namun berbaring santai dengan menjadikan kedua tangannya sebagai bantal. "Bukannya kamu ada evaluasi terakhir di kelas Astronomi besok? Tidak mau langsung pulang ke asrama dan belajar?"
"Lima menit lagi," jawabku. Apa pun yang terjadi. Aku harus menyempatkan diri memandangi langit malam. Lagian aku sudah belajar maksimal di siang dan sore harinya. Anggap sekarang adalah bagian dari refreshing.
Berbeda dengan Suai Namun yang tanpa beban berbaring begitu saja di atas rumput. Aku lebih memilih mengamati langit malam sambil duduk. Tidak ada yang tahu kalau nantinya rumput-rumput itu akan menyebabkan rasa gatal di sekujur tubuh.
Suai Namun kembali duduk. Dia menggeser badannya lebih dekat. Kemudian tanpa sebab tiba-tiba langsung menepuk bahuku. "Kapan mau nembak Luna?"
"Ha?" Aku sangat terkejut, dan hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.
"Aku rasa Luna menyukaimu."
Aku menatapnya dengan tidak percaya. "Dari mana kamu tahu?"
Suai Namun kelihatan salah tingkah. Senyum lebar itu samar-samar terlihat di bawah redupnya sinar bulan. Melihat tingkah aneh Suai Namun. Membuatku sangat penasaran dengan ceritanya.
Aku menguncang bahu Suai Namun karena sangat penasaran. "Ayo ceritakan."
Suai Namun menepis pelan tanganku. "Waktu kamu lagi pulang kampung. Aku beberapa kali kembali ke kamar asrama. Terus di halaman sekolah tidak sengaja bertemu Luna. Di situ aku baru tahu kalau Luna memutuskan untuk tidak pulang kampung. Jadi, di masa-masa libur semester itu aku sering datang ke sekolah dan menghabiskan waktu bersama Luna."
Sangat tidak menyangka jikalau Suai Namun sudah bertindak sejauh ini. Rasanya seperti sedang dicurangi. "Terus?"
"Karena sering menghabiskan waktu bersama. Akhirnya aku punya kesempatan untuk jujur terhadap perasaanku sendiri. Hari itu, aku nembak Luna. Dan hasilnya ditolak."
Hore. Untungnya masih bisa menahan diri. Jika tidak, mungkin saja aku sudah melompat kegirangan dan tertawa lepas tepat di depan wajah Suai Namun. Tak menampik, kali ini aku sangat kejam karena berbahagia di atas kabar buruk yang menimpa seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEBULA [15+]
Teen FictionUmurku 14 tahun, pecinta buku yang lumayan terobsesi pada benda langit. Dan, aku tidak terima, kenapa harus mendapat panggilan sehina itu? "Duda Miskin," ejek Miller sepupuku. Ya betul, ini kesalahanku. Semua dimulai saat malam, ketika Bella tiba-ti...