Our Love

473 27 2
                                    


   Langkah demi langkah kami tapaki, pepohonan disekitar terlihat mulai jarang. Kepalaku menoleh kebelakang. Hal yang mengincar kami masih terus saja mengejar, kulihat mereka terus bertambah—dan bertambah. Kembali kuarahkan pandangan ini kearah depan, sejenak kutatap genggaman tangan kami, ini begitu erat—dan hangat. Bahkan disaat seperti ini kulihat orang yang menggenggam jemariku tersenyum dengan manisnya.

   Senyuman itu selalu saja membuatku sedikit tenang, entah apapun kondisinya, orang didepanku ini akan mengusahakan segalanya nyaman untukku. Genggamannya terasa semakin mengerat, kecepatannya berlari pun bertambah. Hingga tak berselang lama, dengan mudahnya ia menggendongku. Hembusan nafasnya bahkan terdengar dekat, lagi, kutatap yang ada dibelakang kami.

   Sekumpulan zombie dan mutan parasit manusia yang lapar. Pemandangan ini adalah hal biasa bagi kami, setidaknya 2 tahunan ini bagiku. Virus dan masalah Parasit bermulai entah darimana yang mampu menghasilkan kekacauan seperti ini. Bisa aku katakan dengan pasti, di tempat ini hanya tersisa aku dan gadis yang tengah menggendongku. Rekan-rekan kami telah menjadi salah satu dari mereka. Setidaknya sejak seminggu lalu, sebelum kulihat rekan terakhir kami dikerubungi zombie dan Mutan Parasit menjijikkan itu.

"Greesel, mereka bertambah banyak." Lirihku memeluk lehernya. Bisa kurasakan genggamannya pada punggung dan kakiku mengerat.

"iya Cyn, sabar ya, aku akan menambah kecepatan lariku, pegangan yang kuat ya?"

   Betapa lembut tuturnya, bahkan lembutnya mampu menembus sampai ke hati. Sesuai ucapannya, Greesel menambah kecepatan larinya. Aku yang berada dalam gendongannya hanya bisa memeluk erat lehernya dan berharap berat badanku bisa sedikit berkurang. Bisa kurasakan leher Greesel penuh keringat, bahkan hembusan nafasnya makin berat.

   Greesel berhenti, nafasnya yang terengah-engah itu sejenak membuatku terhenyak. Pandangan kujatuhkan pada sebuah jurang tinggi dengan sungai mengalir deras dibawah. Greesel memejamkan matanya, tangannya dengan pelan menurunkan aku dari gendongannya. Ternyata kami sudah berada diujung. Apakah ini akhir dari perjuangan kami?

   Netra kami saling bertemu, saling berkomunikasi. Dengan senyum hangatnya Greesel mengusap lembut suraiku. Tanpa sempat kusadari, Greesel mengecup keningku. Tetesan air mengenai tanganku yang masih bersandar pada pundak Greesel. Greesel untuk pertama kalinya menangis dihadapanku.

"Cynthia, maafkan aku yang tidak bisa membawamu ketempat aman,"

   Aku menggeleng dengan cepat. Bukan salahnya jika keadaan seperti ini, pun jika bukan karena Greesel, aku mungkin telah lama menjadi bagian dari mereka yang tengah berusaha menggapai kami. Dengan cepat aku menangkup kedua pipinya, mengusap air mata yang jatuh. Kukecup mata kiri Greesel, tangisan kami menjadi satu-satunya suara diujung jurang itu.

  Bulan malam ini bersinar dengan indahnya. Bahkan langit nampak cerah dengan terlihat jelasnya bintang-bintang. Didepan jurang dan arus sungai dibawah kami, lagi dan lagi greesel mengecup buku jemariku. Setelanya ia mengecup cincin yang ia pasangkan pada jari manisku 2 hari lalu.

   Kenangan termanis selama 2 tahun terakhir, didalam sebuah gereja Greesel menyematkan cincin yang selalu ia jadikan liontin kalungnya. Dengan pakaian terbaik yang dapat kami temukan, Greesel menggandengku kedepan altar. Dan dengan tegas dan lembut ia mengucap janji sakral itu. Suaranya waktu itu sampai membuatku memejamkan mata dan dengan tanpa sadar kusandarkan kepalaku ke pundaknya.

  Rasa-rasanya aku ingin tertawa, bahkan dikeadaan sekacau ini Greesel dan otak randomnya masih sempat-sempatnya berfikir melakukan pengucapan janji sakral seperti itu. Kami seharian berada di gereja dan hanya menatap kearah patung didepan, saling berdoa dalam hati, meminta keadaan sedikit membaik. Setidaknya biarkan kami merasakan ketenangan walau hanya sebentar.

Tuhan mengabulkan doa kami, namun dengan cara yang bahkan tak bisa kami bayangkan.

   Sehari setelahnya, kami yang sedang berjalan mencari tempat atau camp survival menemukan sarang musuh terbesar kami. Jumlahnya sangat mengerikan, sampai bisa kurasakan jemari Greesel gemetar dengan hebatnya. Saat itu aku tersadar, bahkan dengan Greesel yang pernah berhasil selamat melawan gelombang Zombie dengan jumlah lebih 100 pun, akan tetap gentar dihadapan sarang ini. Ya, akupun paham apa yang dihadapan kami bukan suatu hal yang bisa dianggap remeh.

   Dengan senyum getirnya, greesel berdiri dikakinya yang nampak lemas. Nafas greesel tak beraturan, pandangan tetap teguh menatap sarang ribuan Zombie dan Parasit itu. Kuraih jemarinya, kupeluk lengannya, kusandarkan kepalaku kepundaknya. Terus kuusap lengannya berharap itu cukup membuat greesel tenang. Greesel meraih tanganku yang aktif mengusap lengannya, ia menggengam jemariku dengan erat.

   Tatapan nanar itu, tak akan pernah kulupa. Karena untuk pertama kalinya semenjak aku mengenal dan bertemu Greesel, cahaya pada mata itu meredup. Berganti gelapnya ketakutan, takut jika ini adalah hari terakhir ia bisa menghirup udara.

"Cynthia, aku... takut," dengan suara bergetar Greesel mengatakan itu, pandangannya bahkan tak berpindah dan tetap menatap lamat-lamat sarang itu.

"Iya Greesel, kamu.. aku.. kita takut, tapi kita masih bersama" kupeluk tubuhnya yang bergetar dengan hebat itu.

   Itu adalah kenangan terakhir sebelum aku kembali tersadar pada posisi ini, jika saja saat itu Greesel berhasil mencegah orang bodoh yang ketakutan untuk tidak mengusik sarang itu. Mungkin saat ini kami telah sampai di kota sebelah yang dirumorkan lebih sedikit bahaya disana. Namun lagi, namanya manusia, jika sudah ketakutan apapun akan ia lakukan, bahkan hal terbodoh sekalipun.

   Orang bodoh itu berhasil menemukan Gua bekas pertambangan yang berisi puluhan dynamite. Dan dengan bodohnya, orang itu berlari kedekat sarang. Ada satu hal yang orang itu lupa, pada titik ini, baik zombie dan Parasit telah bertmutasi ditahap bisa mencium bau manusia hidup dari jarak 100meter sekalipun. Dan bisa dipastikan, belum sempat ia melempar Dynamite itu, ia lebih dulu dikepung dan dijadikan santapan. Namun setidaknya Dynamite di tangannya meledaksaat ia tengah dikepung.

   Walau begitu, 1 Dynamite hanya mampu melumpuhkan sekitar 5-7 Zombie. Yang pada kenyataannya orang itu dikerubungi oleh ratusan lebih Zombie dan parasite mutan. Sialnya salah satu dari mereka menemukan bau kami, dan seperti kebanyakan monster, Parasite itu meraung seakan memberi tahu keberadaan dua mangsa mereka—yakni aku dan Greesel. Kami tanpa sempat melawan akhirnya berlari dan berlari sampai tibalah kami disini, dihadapan Jurang.

Lebih tepatnya dihadapan kematian kami..

  Baik aku dan Greesel tersenyum, kami saling menatap. Dengan sisa kewarasan kami, kami tertawa saat mereka mendekat. Suara teriakan dan raungan dari mereka seakan menjadi lagu pengantar untuk kepergian kami. Greesel menggenggam tanganku, bahkan tangan kirinya masih sempat-sempatnya menghapus air mata dipipiku.

"Takut?"

"iya." Jawabku setengah berbisik, sedikit terkekeh dengan tangan gemetar milik Greesel. Kuraih jemarinya dan menggenggamnya.

"Sama-sama, ya?" dengan lembut greesel menarikku kedalam dekapannya. Dengan lemah aku mengangguk. Toh kami akan pergi bersama, Karena pada akhirnya cinta kami selalu menang, seperti yang selalu Greesel Ucapkan.

"I Love You, Greesel!"







END.



jangan lupa vote ygy!!

hihihi

buat endingnya kalian pikirin sendiri ya? entah GreeCyn Lompat atau diem aja sampe dikerubungi Zombie. kasih tau aku ending versi kalian di kolom komen ygy

see ya next time.

Our Journey - GreeCyn OSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang