—
Tidak banyak yang kulakukan di rumah selama liburan semester selain tidur-tiduran, membereskan rumah, atau sesekali membantu menjaga toko pakaian di pasar. Sama seperti hari-hari yang kuhabiskan sebelum merantau kuliah ke Bandung.
Dua hari lalu Budhe Yanti memberi kabar bahwa akan menginap sehari di Cirebon. Tentu saja ibu dan ayah, serta keluarga lain menyambutnya dengan gembira.
"Ini uangnya. Nanti masakin makanan kesukaan Yanti ya? Dia suka banget sama semur ati ampela, sambel goreng kentang, sama tongseng kambing." Budhe Eli—istri Pakdhe Muk—memberikan lembaran uang ratusan kepada ibu. Aku ada di sana menyaksikannya sendiri.
Setelah itu, Pakdhe Muk yang mulanya sedang mencuci burung peliharaannya di halaman ikut nimbrung pembicaraan kami. "Jangan lupa juga masakan makanan kesukaan Agus. Dia itu suka bener sama Nasi Jamblang Pelabuhan. Nanti tolong belikan saja sekalian," sambung Pakdhe. "Bun, kasih lebihan uang dong. Jangan ngepas begitu."
"Iya, Mas, Mbakyu ... nanti saya siapkan semua ya," ujar ibu dengan mata berbinar. Mata yang sangat aku benci. Bagaimana bisa orang senang ketika sedang direndahkan seperti itu.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ibu belanja bahan makanan di pasar—atas perintah Pakdhe Muk dan Budhe Rini—untuk dimasak menyambut kedatangan mereka. Harusnya ayah yang mengantar ibu, tetapi karena ayah pulang larut malam dan kelelahan, aku dengan suka rela mengantar ibu. Kami menggunakan sepedah motor untuk pergi ke sana.
"Hari ini toko tutup, Bu?" tanyaku sambil mengendarai motor.
Ibu memajukan wajahnya ke samping telinga. Ia sedikit mengubah posisi helm nya agar bisa mendengar lebih jelas. "Apa? Tadi ibu gak kedengeran?"
"Iya ... hari ini toko tutup gak?"
"Oh..."Ibu menganggukan kepala, lalu mengubah posisinya seperti sediakala. "Ya tutup. Pakdhe Agus sama Budhe Yanti kan udah jauh-jauh datang ke sini, masa kita sibuk dagang. Apalagi katanya Sita ikut, ibu gak sabar ketemu dia." Nada ibu sangat ceria. Berbeda sekali ketika aku menanyakan hal-hal lain. Entah ini ekspresi alamiah seorang ibu terhadap anak bungsu, atau memang ibu hanya peduli pada Sita.
Lebih baik aku jaga toko saja daripada harus bertemu dengan mereka. Sejauh ini perilaku yang tidak menyenangkan hanya datang dari Sita. Tetepi entah mengapa, aku juga merasa tak suka melihat Pakdhe Agus dan Budhe Yanti, mereka terlihat penuh kepura-puraan.
Setelah selesai belanja segala kebutuhan, kami berkumpul di rumah Pakdhe Muk—kakak ayah yang paling tua—tepatnya di sebelah desa. Ayah yang tadi pagi masih tidur pun sudah terlihat bersih-bersih di halaman depan. Sementara ibu dan aku langsung berkutat dengan urusan dapur, memasak berbagai macam masakan.
Semua orang sibuk pada hari itu. Begitu pun Pakdhe Muk dan istrinya yang fokus menatap ponselnya masing-masing. Entah sibuk menanyakan keberadaan Budhe Yanti, atau sibuk lainnya.
Tepat setelah azan Dzuhur berkumandang—waktu yang pas untuk makan siang—keluarga Budhe Yanti datang. Kami menyambut dengan gembira, ibu pun langsung memeluk erat tubuh Sita. "Anak ibu makin cantik aja. Sehat tah nok?" (*nok dari bahasa Cirebon, artinya nduk, kak, ya!)
Sita hanya tersenyum tipis, tidak menanggapi pelukan ibu dan ayah dengan serius. Ia sepertinya juga tidak betah untuk berlama-lama berdiri depan teras sehingga buru-baru masuk ke dalam rumah tanpa permisi—tentunya setelah sesi menyalami satu per satu tetua di rumah ini. Aku tidak berani mendekat, mengingat pertemuan terakhir kami tidak menyenangkan. Sialnya, pandangan kami saling bertemu. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain tersenyum ramah padanya. Namun, yang kudapati hanyalah tatapan dingin, lalu ia langsung buang muka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Sunshine (Selesai)
RomansaTidak ada yang spesial dalam hidup Lita sebelum akhirnya kuliah di Bandung, lalu bertemu lagi dengan Alfian, teman SD yang dulu pernah mencium pipinya di depan banyak orang. Alfian tumbuh menjadi pria berbeda, Lita tahu dari bagaimana Alfian menata...