Sudah seminggu Alca berada di sini dan dia baru tahu ternyata pesantren Darul Amin ini tak dikelola oleh satu orang, melainkan dua bani A.K.A dua keturunan; Bani Basalamah dan Bani Nursalamah. Kebetulan periode ini, Kyai Muhammad Miftah Basalamah alias ayah dari Imron yang menjadi ketua umum majelis pimpinan Darul Amin.
Pesantren ini ternyata besar, pantas saja santri baru di sini menyentuh angka seribu seratus santriwan dan santriwati dari SMP, MTS, dan MA, SMA, serta perkuliahan. Alca juga baru tahu bahwa asrama putri di sini ada dua, begitu pun dengan asrama putra. Ada Basalamah 1 dan 2, juga ada Nursalamah 1 dan 2. Meskipun dikelola dua bani, tetapi mereka tetap satu naungan di bawah nama Pondok Pesantren Darul Amin.
Alca terduduk di pinggir beton jemuran yang berada di lantai empat sembari menikmati senja, hamparan sawah, dan desa.
Semua ke-waw-an fakta yang dia temukan membuat Alca semakin rendah diri. Dia semakin jauh mencapai kemungkinan 1℅ bersanding dengan Imron.
Hati Alca sekarang sedang bersedih dengan banyak hal yang menghantam kenyataan. Juga, ternyata hidup di pesantren tak mudah.
Dia terlalu gegabah masuk ke dalam lingkungan itu tanpa mempertimbangkan banyak hal. Misal, tentang ilmu agama yang sama sekali tak diketahuinya sedangkan dia sudah SMA dan harus menyesuaikan pelajaran yang setara. Bahkan Alca tak lancar membaca al-quran.
Dia terlalu fokus ingin dekat pada Imron padahal lelaki itu sebentar lagi kuliah dan akan meninggalkannya, sedangkan Alca di pesantren itu harus tiga tahun.
Alca malu saat beberapa waktu lalu dites membaca al-quran dan pengetahuan agama, sebagian temannya masuk di kelas diniyah Ula dan sebagian lagi Ulya, ada beberapa juga yang wustho, sedangkan dia sendiri masuk di kelas BTQ (Baca Tulis Quran), kelas paling dasar berkumpul dengan para santri SMP.
Saat itu semua teman-temannya menatap heran ke arahnya. Memalukan! Sangat-sangat memalukan! Makanya dua hari ini dia membolos kelas sebab tak kuat menahan malu satu kelas dengan anak-anak SMP.
Alca menyembunyikan wajahnya di lengannya. Dia benar-benar menangis. Untuk sekejap dia menyalahkan kedua orang tuanya yang tak mengajarinya soal agama. Bahkan bacaan sholat saja Bude yang mengajarinya, itupun dari tulisan latin.
Di sini, semua kitab bertuliskan arab, bahkan beberapa ada yang tidak berharokat, tak ada terjemahannya karena santri sendiri yang harus memaknainya didikte oleh ustadz dan ustadzahnya.
Alca tak tahu sama sekali, jadi saat pengajian akbar seluruh santri yang diajari langsung oleh keluarga ndalem tadi malam, kitab Alca masih bersih, berujung mendapat poin dari pengurus. Katanya setidaknya dimaknai menggunakan latin.
Alca berdecak dalam hati, bagaimana mau memaknai latin jika dia saja tak tahu letak ayat di sebelah mana yang harus dimaknai.
Dia juga diceramahi oleh pengurus itu yang terheran karena Alca sudah berada di jenjang SMA tapi tak tahu apa-apa tentang agama yang dia peluk. Bahkan untuk hal-hal paling dasar seperti mengenali huruf arab.
Mereka seperti menyalahkan Alca. Padahal Alca merasa dia tak bersalah sama sekali.
Kenapa dia disalahkan? Apakah ketidaktahuan atas sesuatu itu dosa? Bukannya dia masuk ke sini untuk belajar? Mengapa pengurus itu seperti menghakimi ketidaktahuannya?
"Ca, ngapain? Dari tadi dicariin banyak orang," ujar seseorang yang membuat Alca menoleh, ternyata Nendy yang memanggilnya.
"Nggak ada, abis jemur aja," ujar Alca sambil cepat-cepat mengusap air matanya.
Nendy terkekeh. "Nggak betah, ya?" tebak Nendy yang membuat Alca menggeleng.
Wanita dengan kerudung rabbani hitam itu mendekati Alca. "Aku mau ngehibur kamu, tapi kamu dicariin mba-mba abdi ndalem dari tadi. Katanya kamu dipanggil Bunyai," ujar Nendy yang membuat Alca melotot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Anta, Ana Uhibbuka [END]
RomanceSeason I Alca menyukai Imron Hais Basalamah, sahabat kakaknya sekaligus gusnya di pesantren. Namun ... kisah percintaannya tak mulus kala bunyai menjodohkannya dengan seseorang yang tak dia duga.