6. Dua Kepastian

238 124 128
                                    

Assalamualaikum semuanya.
Gimana harinya? Semoga sehat ya.
Jangan lupa bersyukur hari ini.
Aku mau ucapin terimakasih banyak-banyak karena udah singgah ke cerita aku.
Selamat membaca.
Jangan lupa tinggalin vote sama comment ya!

شكرًاجزيلا

Pengingat untuk hari ini :
"Dan janganlah kamu merasa lemah, dan jangan pula (kamu merasa) bersedih hati. Sebab, kamu paling tinggi derajatnya jika kamu (termasuk) orang yang beriman," Q.S. Al-Imran (3:139)

Sebelum membaca jangan lupa
Shalawat Nabi Muhammad dulu:
"Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad."

.
.

.

"Allah tahu Ru, aku menunggu sampean. Tetapi barangkali aku harus menerima. Jika ada seseorang yang juga menyimpan rasa untukmu. Karena Aku belum berhak untuk benar-benar memiliki hatimu."

-Awan Diandra Fidelya-


.

Suasana ruang makan pagi ini terlihat tidak seramai biasanya. "Ayah durung pulang Bu?" tanyaku kepada Ibu.

Ibu yang sedang menyiapkan teh hangat menoleh. "Ayah sik sibuk ngurusi pasien, nyapo kangen ya?" Aku mengangguk.

Jujur saja belakangan ini ayah jarang pulang ke rumah. Apa mungkin banyak pasien yang harus ditangani di rumah sakit? Semoga mereka segera diberikan kesembuhan oleh Allah.

"Lha iki, anak wedok nek ndak iso adoh karo Ayah," (Lha ini, anak perempuan kalau tidak bisa jauh dengan Ayah.) ucapnya sambil membawa teh yang sudah siap ke meja makan.

"Mbak ndak coba telfon Ayah?" tanya Bulan kepadaku. Aku hanya menggeleng. Jika menelfon Ayah tiba-tiba, takut jika itu akan mengganggunya bekerja.

"Ayah nanti ke ganggu Lan, nanti Mbak coba SMS ae." Aku beralih menyeruput teh buatan Ibu.

"Mengko kuliah jam piro Lan?" Bulan menoleh ke arahku. "Sekitar jam delapan nan," ucapnya sambil mengunyah makanan.

Ditengah percakapan kami. Seseorang terlihat mendekat ke arah ruang makan.

"Mas, sampean berangkat jam piro?" Tanya Bulan sesaat sebelum melihat seseorang itu. Raut wajah Bulan yang tadinya biasa saja berubah jadi kaget bercampur khawatir. "Mas kenapa?" tanyanya ketika melihat kondisi Bintang.

Setelah mendengar ucapan Bulan, kulihat Ibu tiba-tiba menoleh kearah Bintang. Wajah paniknya tiba-tiba muncul. "Ya Allah, nyapo Le?" Ibu segera mendekat ke arah Bintang. Ibu menolah-nolehkan wajah Bintang.

Bagaimana tidak kaget? Bintang dengan santainya datang dengan keadaan wajah yang memar dibeberapa sisi.

Bukannya merasa bersalah. Bintang malah tersenyum. "Ndak papa Bu, cuma lecet begini." Ibu sibuk memeriksa keadaan wajah Bintang. "Lecet kok ngasi koyo ngene. Ulah e sopo Iki?" (Lecet kok sampai seperti ini. Ulahnya siapa ini?)

"Lecet kok sampek kayak gitu Mas?"

Bintang menggeleng. "Wes-wes Ibu kalih Bulan ndak usah khawatir. Niki nggeh sampun di obati kalih Mbak Awan." Pandangan Ibu dan Bulan yang tadinya menatap ke Bintang, sekarang sepenuhnya menatap ke arahku.

Payung Untuk Awan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang