Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sedikit cerita tentangku
Dan lagi aku melihatnya menangis sendirian di dalam kamar. Suara isaknya terdengar jelas di gendang telinga. Sedangkan tubuhku hampir tak mampu berdiri dibalik pintu kamar ibu. Aku tak bergerak sampai satu jam lamanya. Menunggu ia berhenti menangis lebih dulu.
Sepanjang malam aku tidak akan bisa tidur nyenyak sebelum ibu sembuh dari lukanya. Ulah siapa lagi ini kalau bukan ayah. Kali ini aku pantas menyebutnya lelaki bajingan.
Kalau ayah masih mencintai kekasihnya, seharusnya dia tidak menikahi ibuku. Seharusnya dia menikahi wanita itu saja. Biarkan aku tidak terlahir ke dunia asal ibu bahagia dengan lelaki yang lebih baik dan tulus. Kalau seperti ini siapa yang disalahkan? Pasti lagi-lagi ayah akan mengatakan nenek, karena telah memaksa pernikahan mereka.
Meski ragu, pada akhirnya aku melangkah ringan memasuki kamar. Mendekati wanita yang masih menangis sesenggukan di pinggir kasur dengan pundak yang bergetar memunggungiku.
"Bu," panggilku cukup pelan. Kedua tangannya segera bergerak lincah menghapus kedua pipi untuk memastikan tidak ada jejak air mata di sana. Dia menoleh ke belakang sambil tersenyum lebar. Masih terdengar ingusnya. Kedua matanya juga memerah.
Bagaimanapun juga beliau tidak akan bisa membohongiku. Pura-pura tegar padahal sebenarnya ia amatlah rapuh. Sakit sekali jadi ibu, sudah punya lelaki tukang selingkuh, terlahir dari keluarga yang tidak berada, tidak pernah merasakan duduk di bangku sekolah, belum lagi ia menjadi tulang punggung keluarga semenjak ia masih berusia remaja hingga sekarang setelah jadi ibu dari satu anak.
"Gadis siap kalau ibu mau pisah. Gadis nggak papa seandainya hidup tanpa ayah. Gadis bakalan lebih bahagia kalau kita tinggal berdua. Cerai aja bu, kalau ibu udah nggak tahan."
"Gadis!" aku tahu ibu paling tidak suka kalau kupaksa berpisah dengan ayah. Matanya segera menatapku tajam, memburuku dengan kalimat-kalimat nasehat. Bahwa...
"Dia ayahmu. Jangan menjadi anak yang durhaka. Kapan ibu mengajarimu bersikap tidak sopan seperti ini?"
Lagi-lagi ibu memarahiku. Bahkan setelah ia mendapatkan perlakuan kekerasan dari ayah. Wajahnya sudah banyak memar. Hatinya tergores luka sayatan beribu saat menyaksikan ayah membawa wanita lain ke rumah ini dan malah memperlakukan ibu seperti pembantu.
"Kamu tidak perlu mengajari ibu ini itu. Ibu lebih tahu darimu mana jalan baik yang harus ibu tempuh."
"Tapi, bu--"
"Gadis!"
Aku terdiam sesaat. kami saling melempar tatapan egois masing-masing.
Kenapa ibu tidak pernah mengerti bahwa selama ini keputusan yang ia pilih untuk bertahan menjadi istri ayah itu salah. Sampai kapan lagi ia seperti dipenjara, tidak bisa merasakan kebebasan. Sampai kapan lagi ia selalu menjadi bahan luapan emosi ayah setiap ayah pulang ke rumah dalam keadaan mabuk?