"Gue beruntung bisa kenal lo cak, beruntung banget. Lo yang nggak beruntung karena kenal cowok penyakitan kayak gue."
- Haikal Mahendra.
'Berdasarkan hasil pemeriksaan massa / benjolan yang tumbuh di dalam otak yang telah di lakukan dengan metode penyeluruhan. Pasien atas nama Haikal Mahendra di vonis positif terkena tumor otak stadium 3 (tiga).'
Haikal tersenyum miris membaca kertas yang sering kali ia baca. Lelaki itu kembali menyimpan kertas hasil kemoterapinya itu ke dalam laci. Wajahnya mendongak, menatap cermin yang ada di dalam kamarnya.
"Lo itu nyusahin banget sih kal, lo udah nyusahin Cakra." seulas senyuman pedih terbit di bibirnya.
"Harusnya itu Cakra nggak punya sahabat penyakitan kayak gue, harusnya di dunia ini nggak ada yang namanya Haikal Mahendra." Haikal menghembuskan nafas beratnya sebelum kembali melanjutkan kalimatnya.
"Bodoh lo kal, bahkan lo sendiri nggak pernah nemuin bab kebahagiaan dalam hidup lo. Lalu, kenapa lo milih buat lahir?" air mata Haikal lolos begitu saja. Dia membalikkan badan, tubuhnya merosot ke bawah bersandar pada lemari berwarna hitam miliknya.
"Maafin gue cak, maaf gue udah nyusahin lo." lirihnya.
Ingatannya kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu. Dimana saat Cakra bersikeras meminta Dr. Nicholas untuk mencarikan pengobatan terbaik agar dia dapat sembuh total. Bahkan dia dapat melihat ketakutan dan kekhawatiran yang terpancar jelas di wajah Cakra waktu itu.
"Kenapa tuhan? kenapa Mama sama Papa nggak pernah peduli?" Haikal memukul kepalanya sendiri, wajahnya dia tenggelam kan di kedua lututnya dengan isakan yang menyakitkan. "bahkan gue sakit kayak gini mereka nggak tau."
Inilah kehidupan Haikal yang sebenarnya, dia tidak sekuat yang terlihat dan dia juga tak seceria yang ditunjukkan ke semua orang. Haikal itu hancur, dia lemah, dia sakit, dan hidupnya sudah tidak akan lama lagi. Bukan hanya sakit karena penyakitnya, tapi dia juga sakit hati dan batinnya, dan bahkan sepertinya mentalnya pun juga terguncang, hanya saja dia tidak memperdulikannya.
Dari kecil, Haikal sudah kehilangan peran orang tuanya. Terhitung sudah 7 tahun dia tidak pernah merasakan kasih sayang orang tuanya. 5 tahun pula dia menyandang gelar anak broken home. Di umurnya yang baru 13 tahun dia harus membagi waktunya antara sekolah dan bekerja. Miris memang, tapi itulah takdirnya. Lelah? ya, dia sangat lelah dengan takdirnya tapi sebisa mungkin dia harus tetap bertahan. Setidaknya hanya untuk mendengar kata sayang dari orang tua kandungnya sendiri.
Haikal itu munafik, dia hidup dengan topeng yang tebal. Terlihat seakan-akan dia manusia yang hidupnya tanpa beban sedikit pun. Namun nyatanya, itu semua sangat berbanding balik dengan kehidupan yang sebenarnya.
Haikal mengeluarkan ponselnya dari saku celana seragam yang dia kenakan, jari-jemarinya mengotak-atik benda pipih itu dengan lincah. Layar ponselnya menunjukkan satu foto kenangannya bersama Cakra. Disitu terdapat gambar dirinya dan Cakra saat berumur 13 tahun yang tengah bermain sepeda bersama. Foto itu diambil oleh Mommy Leen sebagai kenangan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tanpa Jendela [VER LENGKAP DI NOVELTOON]
Teen FictionVERSI LEBIH LENGKAP ADA DI NOVELTOON, GRATIS!!! "Untukmu Haikal Mahendra, lelaki hebat yang tertawa tanpa harus merasa bahagia." - Rumah Tanpa Jendela. "Gue nggak boleh nyerah sebelum denger kata sayang dari mama papa." - Haikal Mahendra. [PEACEABLE...