11. movie date

25 5 0
                                    

Ajakan nonton mungkin hanya ajakan biasa, jika orang yang ngajak bukan Kahill. Sedari tadi Laras tak kunjung beranjak dari depan cermin, meneliti dirinya dari atas hingga bawah. Dress biru muda selutut, rambut yang dia biarkan tergerai, dan polesan make up tipis hasil belajar semalaman dari youtube dan konsultasi dari Fira. Dia tak ingin tampil biasa saja.

"Gak menor, kan?" Dia bermonolog, memutar tubuhnya di depan cermin seolah belum puas dengan penampilannya saat ini. Bahkan dia kembali mematung, merasa pakaian yang sedang dia kenakan sama sekali tak cocok di badannya. Dia berniat membuka kembali lemari bajunya ketika suara lantang Tirta terdengar dari luar kamarnya

"Dek, buruan keluar!"

"Iya," balasnya tak kalah lantang.

Sudah tak ada waktu. Masa bodoh dia akan terlihat seperti apa di depan Kahill, lelaki itu sudah menunggunya. Toh, ini hanyalah acara nonton biasa bersama sahabat. Bukan kencan pertama seperti kebanyakan ajakan nonton dari lelaki ke perempuan. Memikiran itu membuat Laras sadar, apa kekasih Kahill tak marah jika mengetahui cowoknya sedang mengajak gadis lain untuk nonton? Meski statusnya hanyalah sahabat. Tapi, kan, banyak cewek di luar sana yang suka cemburu gak jelas ke teman wanita pacarnya.

Lagi-lagi, Laras hanya bersikap masa bodoh. Itu akan jadi urusan Kahill nantinya.

Setelah sedikit menenangkan debar jantungnya, Laras membuka pintu kamarnya dan keluar dari sana. Matanya langsung bertemu dengan netra Kahill, lelaki itu rupanya sedang duduk dengan tenang di sofa ruang tamu. Kontras dengannya yang sedang berusaha menenangkan jantungnya yang kembali berdebar setelah tak sengaja menatap matanya.

Tangannya bergerak kaku untuk menyapa Kahill, bahkan senyum yang tercetak di wajahnya saat ini terlihat begitu canggung. Laras gak mau terlihat bodoh seperti sekarang, tapi sudah terlanjur.

"Aduh, mau kemana, nih, para anak muda ini?" Mama datang dari dapur, dengan sepiring penuh pisang goreng yang masih mengepulkan asap. "Mau nge-date, ya, kalian?"

Laras memberi mama tatapan tajam yang cuma dibalas mama dengan tanya "apa" tanpa suara. Wajah Laras memanas, bahkan lebih panas dari pisang goreng yang kini tersaji di meja. Semerah apa wajahnya sekarang? Itu tak penting. Yang terpenting, kemana dia harus mengubur wajahnya dalam-dalam sekarang? Sumpah, Laras gak sanggup menatap wajah Kahill sekarang.

Mama selalu begitu. Ceplas-ceplos tak melihat situasi.

"Tante, saya izin bawa Laras keluar, ya?" Di luar, Kahill tampak tenang dan biasa saja dengan ujaran mama barusan. Tak ada yang tahu, kecuali dirinya kalau sekarang pun dia sekuat tenaga menahan debaran jantung yang membuatnya susah untuk berdiri tegak.

Mama tersenyum, membalas uluran tangan Kahill yang selanjutnya dicium olehnya. "Iya. Hati-hati, ya. Pulangnya jangan sore-sore."

Buru-buru Laras ikut mencium tangan mama dan Tirta, setelahnya gadis itu langsung melangkah lebih dulu keluar rumah disusul Kahill di belakangnya.

"Kahill, kamu bakalan nyetir?"

"Iya. Kamu tenang aja. Aku bisa nyetir, kok."

Entah kenapa Laras merasa ragu karena belum pernah melihat Kahill menyetir sebelumnya.

Melihat raut khawatir yang kini menghias wajah Laras membuat Kahill menarik seutas senyum di wajah. Tanpa bilang apa-apa tangannya bergerak, semakin dekat dan mendarat di puncak kepala Laras. Tangannya bergerak kecil di atas sana, rambut Laras di acak-acak meski tak membuatnya berantakan. Justru hal lain yang kini sepertinya tengah berantakan, hatinya.

"Percaya sama aku. Lagian kalo aku gak jago nyetir aku gak bakalan nekat bawa kamu. Yuk!"

Kaki Laras sebenarnya sudah tak mampu untuk di ajak berdiri, tapi tak mungkin dia tiba-tiba menjatuhkan diri, kan? Yang ada dia tak jadi pergi dengan Kahill.

I'll Be Friend's With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang