Kalian tahu rasanya putus asa dan lelah ketika menjalani sesuatu yang sama sekali gak kita kuasai? Laras tahu bagaimana rasanya. Tiada hari tanpa memikirkan apa yang akan terjadi esok hari, apa dia mampu menjalani ini semua? Itu semua terjadi kala dia menjalani kuliah di jurusan ekonomi. Setiap detik rasanya ingin menyerah, apalagi kalau sudah bertemu dengan mata kuliah yang penuh dengan angka dan hitungan.
Laras kira, semuanya kan menjadi lebih mudah ketika dia pada akhirnya melakukan apa yang dia suka. Tapi namanya hidup akan selalu ada rintangan yang dihadapi. Laras berharap banyak dengan nilai UAS nya kali ini, tapi Laras memang tak bisa berharap banyak. Nyatanya dia perlu belajar lebih lagi. Nilainya sama sekali tak memuaskan, membuatnya merasa kecewa.
Dirinya mulai meragukan diri sendiri, sebenarnya kamu ini bisanya apa sih?
Laras lelah. Dia menyandarkan kepala di punggung sofa, memandang langit-langit ruang tamu dengan suara tv yang tak terlalu keras. Kepalanya kembali berkutat dengan hal-hal yang belum tentu terjadi, kebiasaan buruk kerap menimpanya. Beberapa kali dia mengembuskan napas panjang. Dia gak ngapa-ngapain, tapi rasanya capek banget.
Kalau sudah begitu, Laras hanya akan berakhir diam di rumah dengan pikiran penuh oleh hal yang tidak-tidak, padahal tahun baru sudah tinggal hitungan jam tetapi gadis itu sama sekali tak punya semangat untuk merayakannya. Dia terlalu larut dalam kegelisahan karena nilainya semester ini sama sekali jauh dari targetnya. Bapak dan mama mungkin tak protes, tapi Laras tetap merasa telah mengecewakan mereka. Lagi-lagi dia mengembuskan napas berat.
"Dek, masih duduk-duduk aja. Ganti baju, sana!"
Dahi Laras mengerut, menoleh untuk melihat ke tempat mama berdiri tak jauh darinya. "Mau kemana?"
"Rumah Kahill. Ibunya ngundang buat makan-makan."
Laras tak tertarik. "Aku di rumah aja deh."
Namun, mama tak setuju malah menarik lengan Laras dan memaksa anak gadisnya untuk berdiri. "Harus ikut. Gak enak kalau gak datang. Gimana kalau udah disiapin makanan banyak? Mubazir nanti, Dek. Ayo!"
"Mama duluan aja deh. Nanti aku nyusul."
"Bener, ya?"
"Iya."
Laras menyusul satu jam kemudian, itu pun karena mama beberapa kali menerornya untuk segera datang. Akhirnya dengan rasa malas dan tak semangat yang masih menguasai dirinya, Laras keluar rumah. Berjalan sendirian menuju rumah Kahill yang tak jauh dari rumahnya, hanya berjarak lima rumah dari rumahnya.
Di depan rumah lelaki itu tak terlihat ramai, mungkin hanya mengundang beberapa tetangga saja. Tapi ada lima anak kecil yang sedang bermain dengan riang di sana, salah satunya ada Adam. Mereka main kejar-kejaran.
"Dam, jangan lari-lari udah malam! Nanti jatuh!" Laras memberi peringatan ketika adiknya itu berlari dengan kencang melewatinya, tanpa menyapa atau bahkan meliriknya. Dan tentu saja, peringatan darinya hanya menjadi angin lalu di telinga bocah kecil itu. Laras jengah, hanya mampu memutar bola mata.
Laras masuk ke halaman rumah Kahill, nampak sepi tak ada orang. Akhirnya dia memilih untuk duduk di teras rumah Kahill sambil memerhatikan Adam dan teman-temannya bermain di depannya. Samar, Laras mendengar suara percakapan yang cukup bising dari belakang. Mungkin acara makan-makannya ada di halaman belakang rumah Kahill. Laras sedang tak punya energi untuk basa-basi, jadi lebih baik dia duduk di teras saja. Yang penting dia sudah menuruti perintah mama untuk datang.
Lima belas menit sejak sampainya Laras di rumah Kahill, kumpulan para bocah yang sibuk berlari-lari tak kunjung merasa lelah, Laras yang hanya melihatnya saja sudah kelelahan. Bagaimana bisa mereka energi sebanyak itu? Memandang mereka membuat Laras merindukan masa kecilnya. Seingatnya, dulu dia juga seperti mereka. Penuh energi dan tak punya banyak beban pikiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll Be Friend's With You
Teen FictionHidup ini penuh dengan misteri. Kita gak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Dan aku rasa, marantau adalah salah satu misteri yang gak pernah aku duga. Misteri lainnya, tetangga yang lama menjadi asing denganku tiba-tiba akrab lagi denganku...