Mereka termasuk Ryan menghabiskan waktu bersama hingga sore. Walau Ryan ikut-ikut tak jelas dan mengaku-ngaku sebagai pacarnya, Lily tetap bahagia bisa bersama dengan mamanya. Namun, belum terbit senja tetapi tali rindu secara sengaja diputus ketika Mama mohon pamit pulang ke Bandung.
Lily tak bisa berbuat apa-apa. Justru Lily sebagai anak pertama wajib tegar, ia tidak boleh egois, rasanya sudah lebih dari cukup Mama mengajaknya bermain-main walau tubuhnya sedikit ngilu untuk jalan-jalan.
Inginnya Lily mengantar mamanya ke Bandung, lepas itu kembali lagi, tetapi mamanya mengelak ingin diantarkan sampai stasiun. "Mama hati-hati di dalam kereta, kalau ada masalah telepon Lily aja, aku bakal angkat dan bantu bila ada masalah."
Ista tersenyum, merasa terharu, bangga, sekaligus sedih. "Jaga diri kamu baik-baik. Untuk sekarang Mama masih berbaik hati kepada pelaku penindasan dan masih sabar, kalau kamu terluka lagi-Mama gak akan tinggal diam," katanya seraya memeluk anaknya. "Sehat-sehat ya, Nak. Jangan makan dan minum sembarangan. Tetap baik dan menjadi baik. Buktikan kepada papa kalau kamu nggak pantas dihukum. Kamu paham pesan Mama?"
Tubuh Lily bergemuruh haru. "Paham, Ma."
Ista melepas pelukan hangat itu, tatapannya berganti ke arah Ryan yang berdiri di samping anaknya. "Ryan, Tante boleh minta tolong?"
"Boleh, Tant, minta tolong apa?" Ryan membalas sopan.
"Tolong jagakan anak saya. Dia biasanya sulit memahami pesan Tante."
Lily mengernyit heran. "Ma ... tadi Lily udah bilang paham. Mama gak percaya sama Lily?"
Ista menoleh ke arah anaknya. Percaya memang percaya, tapi dirinya tahu mana wajah paham dan mana tidak. "Kamu kan punya pacar, sudah seharusnya si cowok menjaga kamu."
"Ma ...," rengek anak itu tak habis pikir.
"Iya, Tant, saya akan menjaga Lily. Tante hati-hati di jalan."
Mama melambaikan tangan setelah itu memasuki mulut pintu kereta yang siap melaju. Ryan maupun Lily berbalik pulang karena sore itu sebentar lagi akan menampakkan seni jingga di langit.
"Berhubung lo gak bawa mobil dan jalan ke rumah lo dengan ke kos gue berlawanan arah. Gue pamit pulang naik angkot. Daah!" Lily melambai seperti mamanya tadi, namun tanggapannya justru di luar pikiranya, tangan itu digenggam erat oleh Ryan.
Ryan menyeringai licik. "Berhubung kaki kita masih sehat, yuk jalan kaki."
"Ka-kaki gue masih bengkak looh, gak baik." Langkah Lily tertahan, rautnya sudah menandakan penolakan.
Ryan mendekatkan wajahnya pada kuping gadis itu. "Lo makin hari makin ngelunjak, ya? Gak sadar gue selalu hitung berapa banyak penolakan lo ke gue?" bisiknya penuh nada ancaman.
Lily bergidik ketika kupingnya diembuskan bisikan lelaki itu. Apalagi ketika pikirannya sedang berlabuh pada wajah Kaze yang memar dahulu sebab tak sengaja menumpahkan semangkuk bakso ke seragam Ryan. "I-iye iye, jangan bawa-bawa Kaze, ya?"
"Lo suka ya sama Kaze?"
"Dia sahabat gue." Lily membalas seraya melangkah lebih dulu meninggalkan stasiun kereta.
"Linda juga sahabat lo. Tapi gue rasa lo selalu utamakan Kaze terlebih dahulu."
Lily mengangkat bahu. "Linda itu jago beladiri, beda sama Kaze yang kurang dalam beladiri. Gak pantas Kaze babak belur karena dia gak suka balik melawan, beda sama Linda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lily Kacamata [END]
RandomCover by Fisca @Choa Tentang Lily Kacamata yang selalu tegar menghadapi masalah di depannya. Namun semakin ia kuat bertahan, masalah semakin bermuculan. Mereka selalu mengganggunya. Seolah dirinya adalah manusia terkutuk yang pantas menjalankan kis...