28

816 159 2
                                    

NOTE: EKSTRA CERITA ALL OF THEM WANT TO KILL HER EPISODE 4 SUDAH TERBIT DI KARYAKARSA. :”) Semoga kalian suka. Hihihi.

***

Aku belum menentukan kota yang ingin kusinggahi. Sekalipun Putih menyarankan agar tidak gegabah lekas meninggalkan Bintang Fajar, tapi tidak ada salahnya mempersiapkan diri menyambut kehidupan lain. Bukan berarti aku berniat secepatnya hengkang. Hanya saja aku tidak terbiasa terjebak di bawah naungan kebaikan hati manusia. Seperti bom waktu. Aku takut kebaikan hati mereka akan melemah, pudar, kemudian berganti dengan kemarahan terhadap eksistensiku.

Tidak ada guna menumpuk kecemasan dan ketakutan perihal masa depan. Lama-lama kapasitas dalam otakku akan berkurang, membuatku lemah, dan mengacaukan rencanaku.

Oleh karena itu, kuturuti keinginan Putih. Aku mulai gila-gilaan menghabiskan waktu dengan cara melawan Riu. Kadang aku bisa melayangkan satu pukulan, yang tidak berdampak apa pun terhadapnya, dan seringnya aku yang kena hantam atau berusaha melarikan diri.

Sedikit demi sedikit, aku mulai merasakan manfaat dari latihan kebugaran. Ketika berlari aku tidak cepat kehabisan napas. Kewaspadaan pun meningkat karena sering kena pukul. Sepertinya itu hal bagus. Siapa tahu nanti aku perlu menghajar seseorang....

Atau sesuatu.

Aku tidak pernah ikut misi mengejar penjahat atau vampir level tinggi. Tugasku sebatas membantu menerapkan ilmu pelacakan saja. Lagi pula, aku tidak tertarik membunuh monster dan vampir. Satu-satunya yang akan kubinasakan hanya mereka yang berniat melenyapkanku.

Berkat itu, hak khusus yang kudapat, aku pun bisa menikmati beberapa hal. Seperti saat ini.

Aku melakukan jalan-jalan di kota. Keramaian. Aku berdiri di antara kerumunan. Tidak ada seorang pun peduli kepadaku. Tidak pula ada di antara mereka yang memandangku dengan tatapan aneh. Rasanya asing sekaligus melegakan.

Andai saja dulu aku mendapatkan ketenangan serupa di kehidupan sebelumnya. Mungkin diriku tidak akan begitu hancur. Sekalipun sekarang aku berusaha menguatkan diri, memaksa menjalani hidup seolah tidak ada yang salah denganku ... kadang kekosongan merayapi jiwaku. Seperti seekor ular beracun yang diam-diam menyembunyikan diri. Dengan sabar menanti kesempatan. Lantas ketika aku telah sekarat dan tidak bisa melawan, ular menjerat dan menyuntikkan bisa ke dalam aliran darahku.

Tidak ada yang bisa kulakukan selain menyerah. Jauh lebih mudah menyerah pada ketidakberdayaan daripada melawan sampai mampus. Sampai kapan aku harus berjuang demi hidup yang tidak mau berbaik hati kepadaku?

Sampai kapan?

[Nak, pikiranmu sedang kacau.]

Dengan suara lirih, aku berusaha memberi jawaban agar tidak didengar oleh siapa pun yang ada di dekatku. “Aku sedang berkontemplasi.”

[Pikiranmu seperti danau tar. Hitam dan lengket.]

“Terima kasih,” sahutku. “Bukankah kamu yang memutuskan masuk dan melompat ke danau terkutuk itu? Aku hanya berusaha memberi peringatan.”

Kakiku melangkah pelan. Kulewati deretan distro yang menawarkan bermacam barang. Pakaian, jam tangan berharga murah, boneka, kostum aneh, bahkan perhiasan imitasi. Kadang-kadang aku mencium aroma kopi dan roti. Cukup menghangatkan hatiku yang kaku.

[Kamu perlu belajar membiarkan semuanya berlalu.]

“Tidak semudah itu.”

Kalau merelakan dan mengikhlaskan merupakan hal yang mudah, maka di dunia ini tidak ada yang namanya terapis dan dokter jiwa. Siapa yang membuat luka batin? Masyarakat! Manusia! Bila seseorang terlalu mencolok dan berkilau, maka ada orang atau bahkan kelompok yang merasa terancam. Seolah memiliki bakat ialah sebentuk dosa.

[Kadang aku berharap bisa memakan rasa sakit dalam hati dan jiwamu. Dengan begitu, kamu tidak perlu merasa begini hancur.]

“Nggak bisa,” ucapku, getir. Kali ini aku berhenti tepat di depan papan reklame yang menampilkan seorang gadis tengah tersenyum. Wajahnya seperti malaikat. Cantik dan menawan. Gaun putih bermodel sederhana membuat tampilannya semakin menarik. “Kalaupun kamu bisa memakannya, aku tetap akan merasa sakit karena ada satu bagian dalam diriku yang ikut hilang.”

Aku hendak melanjutkan jalan-jalan malam, tapi mataku menatap sesosok gadis remaja yang tidak asing. Dia adalah vampir campuran yang waktu itu kutemui. Kupikir dia sudah pergi....

... atau, sebenarnya dia tinggal di dekat sini?

Ekspresi di wajahnya terlihat tidak nyaman. Sepertinya dia butuh bantuan. Dia duduk di bangku. Sibuk memperhatikan sesuatu dalam dompetnya.

“Pasti dia butuh uang,” kataku kepada diri sendiri.

Aku melangkah dengan santai. Kuambil beberapa lembar uang dari ruang khusus. Begitu sudah berdiri di hadapan remaja itu, aku berkata, “Kamu butuh uang?”

Remaja itu mendongak. Awalnya tidak ada apa pun, selain kesedihan, yang terpancar di kedua matanya. Lalu, perlahan dua bulatan hitam di bola matanya bergetar. Ha dia tahu diriku.

“Tenanglah,” kataku meyakinkan, “aku nggak berniat memburu vampir sepertimu.”

“Bagaimana aku bisa yakin?” tanyanya, pahit. “Semua orang pasti ingin melenyapkan makhluk campuran sepertiku.”

“Aku bisa saja menghabisimu,” ujarku, tenang. “Tapi, itu nggak akan membuatku senang. Lagi pula, kamu butuh uang, ‘kan?”

Kuletakkan lembaran uang di tangannya. “Ambil,” kataku, “dan larilah ke mana pun yang kamu anggap aman. Aku nggak akan melaporkan dirimu ke siapa pun.”

“Kenapa?” Suara remaja itu terdengar serak. Barangkali sebentar lagi ia akan menangis. “Kenapa kamu nggak ingin melenyapkanku.”

“Karena aku nggak punya wewenang apa pun dalam meniadakan maupun mempertahankan eksistensimu. Apa kamu meninggalkan ibumu? Karena itulah kamu kembali ke sini? Atau, kamu butuh saran?”

Dia menggeleng. “Aku kembali ke sini agar orang-orang dari Bulan Darah tidak memburu ibuku.”

Bulan Darah? Apa mau mereka terhadap makhluk campuran.

Seolah mengerti keingintahuanku, dia memperlihatkan sesuatu di pergelangan tangan kirinya. Sebuah batu, sama seperti milikku hanya saja ukurannya mungil, tertanam di sana.

[Dia bukan sembarang makhluk campuran.]

Ternyata bukan hanya aku saja yang ingin kabur dari kelompok terkutuk itu! Benar, ‘kan? Isinya orang tidak beres!

“Ayahku setengah manusia,” ia melanjutkan, “setengah vampir. Ibuku manusia murni.”

“Kenapa kamu merasa terganggu dengan itu?”

“Sebab orang-orang dari Bulan Darah mulai memburu siapa pun yang memiliki batu darah. Aku nggak tahu alasan mereka semangat memburu, bahkan yang campuran sekalipun. Barangkali mereka hendak membujuk vampir agung. Karena itu, aku tinggalkan ibuku dan memilih kembali ke kota ini. Di sini ada Bintang Fajar. Kudengar mereka tidak berkawan baik dengan Bulan Darah. Dengan begitu, aku aman.”

“Justru mereka akan mencincangmu. Bintang Fajar tidak peduli dengan vampir murni maupun tidak. Jarang yang berpikir baik mengenai vampir.”

Dia menunduk, menatap tanah. “Lantas, apa yang harus kulakukan?”

“Kamu bunuh saja yang ingin membunuhku,” saranku. “Beres.”

Aku tahu dia punya kekuatan untuk melakukan itu.

Aku bisa merasakannya!

Ada kekuatan yang mengalir di dalam dirinya.

Seharusnya itu cukup untuk menghajar orang dari Bulan Darah.

Cukup kuat untuk membuat seorang manusia terjungkal dan menyesal telah ada di dunia.

***
Selesai ditulis pada 1 Februari 2024.

***
Maaf update cerita di Wattpad nggak bisa cepat. Saya sedang pusing memikirkan ponsel. Hiks. :”( Terima kasih atas pengertiannya.

Salam cinta dan kasih sayang.

ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang