Braga Memelukmu Lebih Erat Daripada Aku

19 2 2
                                    


Katanya Bandung kota romantis...

Di Bandung, cinta berkembang, kata orang,

Namun perpisahan di sini, terasa pilu dan nyata.

Jalan-jalan indah, cerita cinta kita terekam,

Namun kenapa Bandung selalu menyaksikan perpisahan kita?

Saat itu, tepat pada 12 November, ingatanku menyimpan dengan jelas saat di mana aku pertama kali melihatmu di antara kerumunan muda-mudi yang riuh di jalan Braga. Kamu bersinar di antara kerumunan, senyummu memikat ketika kamu berada di tengah teman-temanmu.

Matamu, menyipit membentuk bulan sabit, seolah menjadi senjata yang mampu mengancam jantungku. Aku yang tak ingin melewatkan kesempatan itu, berjalan mendekatimu dengan modal nekat dan urat maluku yang sudah kubuang sejak ingin lebih mengenalmu.

Responmu kala itu tidak begitu ramah, namun itu tidak membuatku berhenti tertarik akan senyum secerah mentari mu. Kamu menolak dengan tegas keberanian nekatku yang membuatku mau tak mau kembali memunguti sisa-sisa dari urat malu yang telah aku buang tadi.

Seminggu kemudian, mungkin semesta tengah bercanda dengan kuasa nya, sebab kita bertemu lagi di tempat yang sama.

Namun, kejutan menanti di sana. Bukan senyummu yang kulihat , tapi rintik hujan yang turun membasahi wajahmu. Wajahmu yang kusaksikan dihiasi oleh tetesan-tetesan air hujan, dan tanpa senyum , tapi dengan keindahan tersendiri. Saat itu, aku merasa seolah-olah hujan menjadi metafora dari perasaan dalam dirimu yang tidak baik-baik saja.

Dan itulah kali pertama aku menawarkan pundakku pada seseorang. Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya suara isakan kecil yang di iringi hujan yang juga turun menghiasi langit Paris Van Java.

Tiga bulan telah berlalu sejak benang merah itu pertama kali kita sentuh. Setiap senyummu kini menjadi pemandangan yang tak asing, seakan-akan menjadi sebuah lagu yang indah yang terus berkumandang di dalam hati. Bandung, kota yang selalu setia, masih menyambut kita dengan senyumnya yang ramah, namun kisahnya kini menjadi lebih berbunga dengan warna-warna baru.

Celotehanmu di setiap lampu merah, seperti musik kota yang tak pernah sepi. Kita tertawa bersama saat merasakan getaran kehidupan di setiap sudutnya. Kamu selalu punya cara unik untuk melihat kepadatan penduduk, terkadang dengan candaan, terkadang dengan keluhan, tapi selalu dengan sentuhan humor yang membuat Bandung tampak lebih hidup.

Lalu, ketika kamu mengusulkan ide pindah ke Mars, membawa kedai batagor kesukaanmu, aku tersenyum. Kamu dengan penuh semangat berceloteh, "Aku bisa hidup di mana pun asalkan ada batagor!" Ungkapan itu membuat suasana lebih ringan, dan seakan-akan Bandung harus bersiap-siap kehilangan satu penggemar batagor setia jika jalanan nya masih terus padat oleh kendaraan yang menumpuk di jalan.

Di antara romantika kota, kita terpisah jauh,

Seakan waktu bertanya, mengapa di sini kita terhenti?

Bandung menyimpan cerita, kenangan yang berbunga,

Namun perpisahan selalu hadir, seperti suratan takdir.

Lima bulan telah berlalu sejak benang merah itu semakin mempererat kita. Namun, seperti semua kisah, setiap babak punya akhirnya. Kampus impianmu akhirnya memanggilmu, memintamu untuk sejenak berhenti menjadi pelanggan tetap kedai batagor dan merayakan kehidupan kampus yang baru.

Bandung akan merindukan seruan kecil dari bibirmu, begitu juga aku, tetapi jarak ini hanya sementara karena kamu terus mengunjungi Bandung setiap dua minggu sekali, dan kita bertemu kembali di keramaian jalan Braga, terutama di hari Minggu.

Elegi Senja Di Pelukan Paris Van Java | Seoksoo.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang