The Talk

23 7 2
                                    

Awalnya, Emma ingin memaksakan diri untuk mandi dan pergi sekolah. Tetapi di kamarnya kini ada Suster Elle, wanita berkulit gelap dengan rambut ikal yang diikat kuda, yang sedari tadi duduk di atas sofa kamar dan mencatat perkembangan kesehatan Emma.

"Suster..." panggil Emma dengan rengekan sedih.

"Apa, nona cantik?" Suster Elle masih menggoreskan tulisan di atas kertas berpapan dada.

Emma menoleh ke pintu kamarnya yang terbuka, Alex baru saja lewat sambil memakai dasinya. "Aku janji tidak akan pingsan."

Suster Elle mendongak. Bibirnya manyun, ragu-ragu dengan ucapan itu. "Aku selalu suka optimismemu. Jika kau terus begini, aku yakin The Dark Lord akan hilang." The Dark Lord, adalah sebutan bradikardia yang Emma idap. Mereka berdua menyebutnya begitu untuk mempercayai penyakit itu hanya sekadar menginap, bukan benar-benar menetap. The Dark Lord sendiri diambil dari musuh antagonis Harry Potter, Voldemort—sebab karakteristik bradikardia dan The Dark Lord agaknya memiliki kesamaan; membuat bangun tengah malam, berkeringat saat gelisah, dan endingnya akan kalah juga (semoga yang satu itu berlaku untuk Emma).

"Jadi, boleh ak—"

"Boleh kalau kau pilih hari ini, besok sudah bisa sekolah," potong Suster Elle. "Not today, ok?"

Emma menghela nafas lemas. Ia sudah kangen banget dengan Kim, Ben, Grace, Charlotte, dan George. Ingin mendengar cerita liburan mereka dan menceritakan pengalaman liburannya. "Ya udah, deh."

Emma mengangkat kakinya ke atas kasur dan menarik selimut. Sebenarnya ia juga belum seratus persen fit. Ia mengira pergi sekolah akan melupakan sejenak soal rasa sakit di dada kirinya, namun detik ini saja ia sedang kewalahan. "Bagaimana aku bisa percaya kamu udah kuat ke sekolah kalau sekarang aja tiduran gitu?" Suster Elle membuat Emma memandangnya dan tersenyum, seakan kepergok melakukan kesalahan.

Sekarang Alex yang sudah memakai seragam sekolah, berdiri di pintu kamar Emma, bahunya bersender ke sisi pintu dan tangannya membuka buku catatan pelajaran sastranya.

"Oh, my sister. She’s a masterpiece of nature’s art. In every smile, a loving heart. A face that holds the morning’s light. In her laugh, the stars take flight." Alex membacakan puisinya.

Emma tertawa kencang untuk pertama kalinya setelah tiga hari terkapar sakit. "Buatanmu?"

"Bukan," jawab Alex. "Tapi aku gak akan bilang ke Miss March ini hasil chat GPT."

"Dasar," komen Suster Elle yang bangkit dari duduknya dan melangkah keluar kamar. Alex menyingkir untuk memberi jalan dan menghampiri Emma.

"Teman-teman menghubungimu—selain di grup Dumbledore's Army?" tanyanya.

"Iya. Ben menelopon. Aku juga sempat video call sama Kim," jawab Emma. Mendengar nama Kim, Alex tersenyum kecil tapi buru-buru muka datar lagi.

"Alex, ayo." Albert yang entah sampai kapan work from home, sudah siap mengantar Alex ke sekolah.

"Semenjak Albert suka mengantarku, nilaiku jadi naik drastis,"  bisik Alex dan menjitak kepala Emma.

"Syukur kalau begitu." Albert senang mendengar ucapan Alex.

Ketika mereka pergi, Emma memejamkan mata, berusaha tertidur tapi tak kunjung terlelap. Dokter Brennet, lelaki berusia 35 tahun dengan bentuk wajah panjang bertanya soal perasaan Emma pagi ini. Ia juga memberikan satu botol obat tambahan. Tanpa harus diam-diam mengeluh, Emma menghela nafas. "Makin parah ya?"

"Ini artinya pasukan dipihak putih bertambah banyak," ujar Dokter Brennet dan keluar sambil menutup pintu kamar Emma.

Dua jam berlalu hanya terisi oleh Emma yang ditekan rasa bosan. Ia membuka ponsel dan menerima banyak pesan semoga cepat sembuh. Pasti mereka sudah tahu apa yang terjadi padanya dari Alex. Membuka Instagram, Tiktok, YouTube, semua sama menjenuhkannya. Sampai suara lelaki yang membentak menghentikan Emma dari kegiatan internetannya.

THE ETHEREAL LEARN OF EMMA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang