"Umah mau ke kamar sekarang atau masih mau nonton TV?" tanya Abah saat beliau akan pergi beristirahat ke kamar.
Umah menggeleng. "Di sini dulu, Bah. Abah ke kamar dulu ndak papa. Ada Hais juga di sini," ujar Umah yang diangguki anak bungsunya.
"Iya, Bah. Biar Hais saja nanti yang anter Umah ke kamar," ujar Imron sembari melepaskan Koko--kucing kesayangannya.
Abah mengangguk lalu berlalu pergi dari ruang keluarga itu. Tinggallah Umah dan anak bungsunya yang sedang membaca kitab.
"Le, sudah berapa lama kenal Alca?" tanya Umah yang membuat Imron menoleh dan berpikir sejenak.
"Kalo sekadar kenal sepertinya tiga tahun Umah, ya semenjak Hais berteman dengan Saiful."
Umah mengangguk-angguk. "Umur berapa dia?"
"Mau ulang tahun ke-16, kenapa Umah? Tumben tanya-tanya tentang santri ke Hais."
"Enam belas tahun ..., artinya dia sudah baligh toh?" tanya Umah sembari menoleh ke anaknya.
Imron menutup kitabnya. "Iya, Umah," jawabnya.
"Sini mendekat, Le," ujar Umah yang membuat Imron meletakkan kitabnya di atas meja, lalu dia duduk lesehan di sebelah kursi roda Umah.
Imron menunduk sebab tahu ini pembicaraan serius.
"Kamu sudah dewasa, sudah tahu batasan, sudah belajar ilmunya, sudah didik oleh Umah dan Abah toh? Kamu pasti sadar sesadar-sadarnya kalau dia bukan mahrom kamu meskipun Saiful sudah seperti saudara bagi kamu dan adiknya juga seperti adik bagi kamu. Tapi Le, hukum tetap hukum. Menyentuh yang bukan mahrom hukumnya haram. Lebih baik ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi ketimbang menyentuh seseorang yang bukan mahrom."
Imron menunduk dalam-dalam karena sedang mengintrospeksi diri akan semua yang dia lakukan.
"Mungkin tiga tahun lalu dia masih seorang adik kecil buat kamu, tapi sekarang dia sudah dewasa, sudah baligh, kamu harus menjaga pandangan dan menjaga jarak dari dia. Dosa yang kamu lakukan tadi di dapur. Ini di lingkungan agamis saja kamu berani menyentuh kepalanya, apalagi di luar? Subhanallah, ndak bisa Umah bayangkan. Abah dan Umah memberi kamu kebebasan memilih sekolah di sana itu karena kami percaya kamu bisa menjaga diri. Bukan malah seperti ini. Kalau begini Umah dan Abah merasa berdosa karena mengizinkan kamu mengambil pilihan kamu sendiri ketimbang memaksa kamu ke Lirboyo yang jelas lingkungannya lebih baik."
Imron memegang tangan umahnya dan menciumnya dengan khidmat serta merasa bersalah. "Ngapunten, Umah. Hais mengaku lalai."
"Umah terlanjur khawatir dengan kamu. Silakan pilih, Nayla atau putrine Kyai Hasan Nursalamah? Mereka sama-sama hafidz 30 juz dan Alfiyah."
Imron mendongak menatap umahnya sendu. "Umah, Hais masih butuh banyak belajar."
"Putrine Yai Hasan yo sama-sama di Mesir. Bisa sambil sama-sama belajar. Begini lebih baik, menghindari zina."
Imron terdiam mendengar perkataan umahnya. Dia sedang merangkai kalimat yang tepat untuk menolak secara halus sebab Imron masih belum siap untuk membina rumah tangga.
Abahnya yang tadi pamit pergi ke kamar, tiba-tiba kembali ke ruang keluarga, duduk di sebelah umahnya dengan segelas air hangat.
"Anakmu lapo, Mah?" ujarnya yang membuat Umah menoleh ke arah Abah.
"Hais sudah waktunya menikah, Bah. Demi menghindarkan dia dari perilaku yang melanggar syariat."
"Mosok iyo? Opo iyo, Le? Tenanan wes siap a? Kitab Fathul Wahab wes hatam dorong?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Anta, Ana Uhibbuka [END]
RomanceSeason I Alca menyukai Imron Hais Basalamah, sahabat kakaknya sekaligus gusnya di pesantren. Namun ... kisah percintaannya tak mulus kala bunyai menjodohkannya dengan seseorang yang tak dia duga.