03 - Lingkungan Baru

152 68 137
                                    

Hari ini adalah hari pertama Anin mengenakan seragam SMA. Selama satu minggu menjalankan Masa Orientasi Siswa kemarin, Anin masih memakai seragam putih-biru. Anin dan Shindu berangkat bersama menuju sekolah menggunakan motor pribadi milik Kakaknya.

Sampai di parkiran, Anin langsung bergegas pergi setelah berpamitan dengan kakaknya. Dan kini ia melewati koridor seorang diri.

"Loh, itu Kak Izaz bukan, sih?" tanyanya pada diri sendiri. Lantas Anin memberhentikan langkahnya, melihat Izaz yang sedang berhadapan langsung oleh Pembina OSIS.

Jika saja tidak ada siswa yang berlalu lalang, kemungkinan ia akan menertawakan kakaknya itu. Bagaimana tidak? Melihat wajah Izaz yang menunduk lesu membuatnya seakan-akan puas.

Tangannya kini mulai memegang ponsel lalu mengarahkan kamera kepada Izaz yang menunduk lesu. Setelah Pembina OSIS itu pergi, Anin langsung berlari ke arah Izaz dengan wajah ceria.

"Eh, ada Kakak OSIS. Habis dimarahin sama Pembina, ya, Kak?" tanyanya.

Izaz mengusap kasar wajahnya, setelah berhadapan langsung oleh pembina OSIS kini ia juga harus berhadapan dengan Anin.

"Ngapain lo di sini?" Izaz balik tanya.

Anin mengulas senyum tipis lalu berkata, "Enggak ngapa-ngapain, iseng aja jalan-jalan di koridor, eh ketemu Kakak tersayang."

Tanpa minat meladeni gadis di hadapannya itu, Izaz pun melangkahkan kakinya untuk pergi menuju ke kelas. Namun baru beberapa langkah berjalan ia berhenti menatap punggung Anin yang masih belum beranjak dari sana.

"Ngapain lo? Mau di sini terus?" tanya Izaz kemudian menarik pergelangan tangan Anin.

Perlakuan tiba-tiba dari kakaknya itu membuatnya terkejut. "Gila, lo. Kalo gue kena serangan jantung gimana?" Anin menatap wajah Kakaknya dengan tajam.

"Gak akan. Jadi orang gak usah lebay."

Anin hanya memutar kedua bola matanya malas. Walau begitu Anin tetap mengikuti langkah kaki kakaknya itu. Berhubung koridor sudah lumayan sepi jadi Anin tidak begitu merasa khawatir akan adanya gosip-gosip dari kakak kelasnya.

Sesampainya di depan kelas X MIPA 1, Izaz langsung mendorong pelan tubuh Anin untuk cepat-cepat memasuki ruang kelas. Anin yang diperlakukan seperti itu pun terlihat marah apa lagi Izaz tidak mengucapkan permintaan maaf.

Pemuda berusia tujuh belas tahun itu malahan lebih dulu pergi menuju kelas dengan kedua tangannya di masukkan ke dalam saku celana abu-abu.

Anin mengendarkan pandangan melihat kursi-kursi kosong yang ada. Matanya tidak sengaja menangkap sisa kursi kosong yang berada dekat dengan dinding di barisan nomor dua dari depan. Melihat ada tas di samping kursi kosong membuatnya kebingungan mencari pemilik dari tas itu.

Karena bel masuk sudah berbunyi akhirnya ia meletakkan tas dan mendudukkan bokongnya di sana.

"Hai," sapa gadis itu yang kini sudah mendudukkan bokongnya tepat di sebelahnya.

"Oh, hai," jawabnya dengan sedikit canggung. "Gak pa-pa, kan, kalo gue duduk di sini?"

Gadis itu mengangguk lalu tersenyum manis. "Boleh banget, dong. Kenalin nama gue ... Nana."

Anin membalas jabatan tangan gadis yang bernama Nana. "Anin."

Setelah saling mengenal nama satu sama lain, keduanya mengobrol ringan sampai ada perempuan yang masih terlihat usianya masih muda memasuki ruang kelas. Namanya Bu Yuni, usianya tiga puluh satu tahun. Beliau yang akan menjadi wali kelas X MIPA 1 sampai satu tahun ke depan.

Berhubung ini masih hari pertama masuk sekolah setelah MOS, pembelajaran masih belum produktif. Beberapa guru memasuki kelas hanya untuk sekedar berkenalan dan bercerita.

Bu Yuni meninggalkan kelas karena ada kepentingan mendadak, beliau sempat berpesan kepada siswa-siswinya untuk saling mengenal lagi satu sama lain agar lebih akrab.

Hal itu membuat seisi ruang kelas ini menjadi riuh. Anin sempat di buat bingung, beberapa dari teman sekelasnya sudah menjadi akrab.

"Lo kenapa bengong, Nin?" tanya Nana yang sejak tadi menyadari teman barunya itu sedang melamun.

"Eh, gak pa-pa. Sepi aja, gak ada temen dari sekolah lama gue di kelas ini," jelas Anin.

Nana mengangguk paham. "Gak pa-pa, Nin. Masih ada gue, di sini."

"Omong-omong lo asal mana?" tanyanya penasaran.

"Semarang."

Jawaban yang diberikan oleh Nana membuatnya seketika bingung. "Terus kenapa lo ada di sini?"

"Ngikut orang tua, waktu di Semarang ikut Nenek. Tapi karena Nenek udah gak ada jadinya balik lagi ke sini," jelasnya.

"Maaf, ya, Na. Gue enggak tau,"

"Gak pa-pa, santai aja."

Kini sudah tidak ada topik pembicaraan yang di lontarkan oleh kedua gadis itu. Seakan-akan mereka tengah memikirkan topik pembahasan yang akan dibicarakan oleh mereka.

Di tengah-tengah keheningan diantara kedua gadis itu, bunyi ponsel Anin menyita perhatian Nana.

"Siapa, Nin?" tanya Nana.

"Gak tau, nih. Salah nomor kali," jawab Anin kemudian mengajak Nana untuk pergi ke kantin.

Sebenarnya, sekarang belum waktunya untuk istirahat. Tetapi cacing-cacing yang  ada di perutnya sudah memberontak sejak  tadi. Setelah sekitar lima menit berjalan menyusuri koridor yang sepi, akhirnya mereka tiba di area kantin.

Anin langsung berlari menghampiri gerobak  batagor milik pria paruh baya yang sudah berusia lima puluh tahun.

"Pak, pesan batagor sama jus jeruk, ya," ucap Anin kepada pria itu.

"Mau berapa, neng?" tanya Pak Musir yang masih sibuk menyiapkan beberapa pesanan milik orang lain.

Nana mengisyaratkan kepada teman barunya itu agar memesankan juga untuknya. Anin yang mengerti hal itu pun lantas mengangguk lalu beralih ke Pak Musir.

"Dua, Pak," jawab Anin diangguki oleh Pak Musir.

Setelah itu barulah Anin dan Nana menduduki kursi yang berada di depan gerobak batagor milik Pak Musir.

"Ini gak papa kalo kita ke kantin duluan, Nin?" tanyanya dengan cemas. Sesekali Nana memperhatikan sekitarnya untuk mengawasi jika tidak ada guru di sini.

Anin menggeleng pelan lalu menyeruput jus jeruk yang baru saja sampai. "Gak papa, tenang aja. Semua guru lagi pada rapat, kemungkinan bakalan jam kosong sampai pulang nanti."

"Really?"

"Iya, Nana."

"Lo kok bisa tau kalo bakalan jam kosong sampai pulang sekolah?" tanya Nana yang masih penasaran.

Anin berdecak kesal. "Ya, tau, lah. Apa sih yang enggak Anin ketahui tentang sekolah ini?"

"Oke, kalo gitu gue mau tanya," ucap Nana kembali menatap wajah Anin yang tengah mengunyah batagor. "Kapan sekolah ini mulai beroperasi?"

"Enggak tahu," jawabnya.

"Katanya tadi, tahu semua tentang sekolah ini. Gimana, sih?"

"Kalo itu gue gak tau, Na. Tapi kalau soal di mana letak kelas yang dihuni banyak Kakak ganteng baru gue tau," jawab Anin.

"Perasaan wajah lo kaya orang bener deh, tapi otak lo kayaknya agak konslet dikit," ungkap Nana yang sudah tertipu dengan wajah cantik Anin.

"Ingat kata pepatah, Na. Jangan menilai orang dari luarnya saja."

***

Unspoken Traces (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang