Satria tidak bisa menahan kakinya lagi, pria itu dipegangi oleh Justin karena hampir jatuh ke lantai. Marvin menutup mulutnya tak percaya, dia dituntun oleh Bagas untuk duduk di sofa kemudian diberikan pelukan erat oleh Abangnya itu. Bunda juga sudah menangis histeris di dekapan Devan, perasaan baru tadi wanita tersebut mendoakan agar Putranya selalu sehat.
Dibantu dengan Arka, Bima langsung mengangkat tubuh Cakra yang nampaknya sudah sangat tidak berdaya. Jerico dan Arga sudah lebih dulu lari keluar, kedua Anak tertua itu menyiapkan mobil yang akan dibawa menuju ke Rumah sakit. Yang lainnya ikut berjalan cepat saat sang Ayah sudah membawa Cakra keluar.
Semua itu bohong, Cakra tak benar-benar pingsan. Anak itu sudah merencanakannya, bermaksud untuk membalas dendam. Merasa panik saat akan dibawa ke Rumah sakit, Cakra langsung membuka matanya. Kemudian dengan beberapa kali kedipan, bibirnya ditarik untuk membentuk seulas senyum.
Langkah Bima berhenti, pun dengan yang lainnya. Nafas Pria tua itu sudah naik turun sangkin cepatnya berlari. Di depan mereka, dua mobil sudah terparkir rapi. Melihat sang Putra yang tertawa, bahkan seperti sudah kembali sehat. Bima langsung terduduk lemas, lalu dengan tangisan kecilnya memeluk erat tubuh Cakra yang sempat ikut terjatuh.
"Dek? Udah ngga sakit? Kok bangun? T-tadi Adek susah nafasnya, 'kan? Sekarang kenapa? Ngga jadi ke Rumah sakit, Yah?"
Arka membuka suaranya, lantaran dia juga ikut terjatuh ke lantai saat ingin menahan tubuh sang Ayah. Arka kira sang Ayah sudah kehilangan tenaganya karena kepalang panik, namun saat paham dengan sadarnya sang Adik yang justru ketawa-ketawa membuat Arka semakin bingung.
"Dek? Kenapa?"
Bunda berjongkok untuk melihat lebih dekat wajah Bungsunya itu. Melihat sang Suami yang menangis, Bunda semakin bingung. Apa? Ada apa? Kini dia harus lega atau harus bagaimana?
Arga dan Jorico keluar dari mobil kemudian mendekat, keduanya masih tidak paham. Menatap yang lain pun, mereka sepertinya masih mencerna. Tadi mereka hampir putus asa saat melihat langit yang sudah sangat mendung, bahkan semua pikiran buruk menyerang bertubi-tubi. Kini yang bikin panik justru tengah tertawa kecil.
"Ayah, Adek ngga papa. Jangan menangis."
"Adek ngga papa, Bunda."
Cakra menatap kedua orang tuanya yang masih memandangnya dengan khawatir. Bahkan Ayahnya itu sampai menangis, membuat Cakra paham betapa khawatirnya lelaki hebatnya tersebut.
"A-ayah takut, Dek. Jangan kaya gitu lagi. Ayah mohon, jangan." Bima berucap gusar.
Jantungnya tadi hampir copot, bahkan Bima berusaha keras agar tidak ikut panik. Bima merasa kembali ke masa dulu, saat dirinya berlari di sepanjang koridor Rumah sakit untuk menyelamatkan Putranya itu yang ternyata harus berakhir koma beberapa hari.
"Maaf, Ayah jangan nangis." Cakra semakin merasa bersalah, kemudian tangisannya keluar lebih keras dari sang Ayah.
"Beneran ngga papa, 'kan? Ngga perlu ke Rumah sakit?" Tanya Bunda memastikan.
Bunda seperti menenangkan dua bayi yang tengah menangis sambil berpelukan. Putranya itu mengangguk, sontak membuat pikirannya mulai tenang tidak sepanik tadi. Kedua Anak Ayah itu, Bunda berikan peluk hangat untuk menenangkannya.
"Maaf, maaf udah bikin panik. Adek kesel udah dibentak-bentak semalem, bahkan Bunda Ayah ngga peluk Adek. Adek sakit hati, Adek ngga suka dibentak. Adek salah, tapi jangan dibentak-bentak. Adek ngga suka! Adek benci!" Cakra mengeluarkan kekesalannya disertai isakannya yang semakin keras terdengar.
Arga segera berjongkok, kemudian langsung mengangkat tubuh Cakra untuk digendong. Meski sempat akan terbanting, Arga tidak memperdulikannya. Dia sudah tidak pernah lagi menggendong Adik paling kecilnya itu. Sampai-sampai tak sadar kalau sang Adik sudah semakin tumbuh besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
All About Today | Nct 127
FanficDaily life Cakra, sebagai bungsu di keluarga Birawa. Copyright by, Nyyzfn, 2022.