Chapter (04) | A Weird To Be Recognise

35 11 0
                                    

Intinya, ia menganggap tak ada yang salah dengan dirinya. Jadi, yang mesti diperdebatkan itu apa?

 Jadi, yang mesti diperdebatkan itu apa?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keesokan harinya.... Empat puluh menit sebelum pelajaran pertama dimulai, Sebastian berjalan menuju ruang kelasnya setelah membeli jajanan di kantin.

"Woy! Lemes amat?" sapa Sebastian kepada Rajash dengan semangat.

Sementara, Rajash duduk dengan menyilangkan tangan di atas meja, merebahkan kepalanya di sana. Tubuh yang terbalut jaket berhoodie putih itu pun gemetar.

Ia acuh tak acuh dengan kehadiran Sebastian yang berdiri di hadapannya. "Enggak, kok...." sahutnya. 

Sebastian asik dengan sebungkus kebab di genggamannya, tak terpengaruh sikap acuh tak acuh Rajash kepadanya. "Cie elah! Murung kenapa, lo?" tukasnya berbasa-basi.

"Ck! Enggak penting," balasnya. Rajash meregangkan tangan dibersamai helaan napas beratnya.

"Rajash, lo kan teman gue, masa gue enggak peduli?" timpal Sebastian.

Mendengar suara renyah kunyahan makanan yang disertai harum kebab favorit di sekolahnya, Rajash kemudian melihat Sebastian dengan heran.

"Tunggu, memangnya kantin buka jam segini?" tukas Rajash yang kini total plonga-plongo masih tak mengerti.

"Astaga, lo enggak bisa serius sedikit apa? Konteks kita dari awal tadi enggak begini, lho." Sebastian membalas pertanyaan Rajash dengan sedikit nada ketus di dalamnya.

"Masalahnya, gue buru-buru tadi. Jadi, enggak sempat bawa bekal," sahut Rajash tak diada-adakan. 

Mendengar hal itu, Sebastian melempar kebab ke sebelah tangan Rajash. "Eat that. I don't mind," ucapnya santai.

* * *

"He-hey?"

Suara itu pun mengalihkan atensi dua lelaki yang sedari tadi hanya ribut tanpa ada konteks dan tujuan yang jelas.

Mendapati tatapan mengintimidasi dari Sebastian, gadis itu pun melemparkan protes dengan kesal. "Apa? Memangnya wajah gue kelihatan begitu kriminal?" ketusnya.

"Duduk. Ngapain masih berdiri di situ?" ujar Sebastian, membalas protes si gadis berambut ikal tersebut yang kini tengah berdiri di tengah-tengah persimpangan di sebelah kiri meja Sebastian.

"Ya, lo jangan halangi jalan gue, dong," sahut Savara sambil menghela napas.

"Pacar lo sakit, tuh. Perhatian sedikit, gitu loh," adu Sebastian.

𝐖𝐇𝐄𝐋𝐕𝐄: To Everything, Who Still Haunt Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang