12.1 Nura

2 1 0
                                    

Wanita itu membuka pintu rumah. Melakukan salam dan mengatur napas lega. Sedari tadi wanita itu waswas berlebihan, dia takut dipertemukan sosok pria yang dicintainya muncul di dalam rumah dan duduk kalem di kursi untuk menunggunya pulang dari Jakarta. Ternyata tidak. Dia aman, atau mungkin hanya sementara.

"Pulang dari Jakarta, ya? Meninggalkan anak-anak di rumah."

Wanita tadi tercekat. Itu suara suaminya. Bukankah suaminya sedang bekerja di kantor hari ini. Dia menoleh dan menemukan sosok suaminya yang sedang memasak di dapur. Hatinya tersulut rasa bersalah seketika, tapi dirinya tidak bisa membiarkan anak pertamanya di Jakarta.

"Sudah saya katakan, Lily tidak usah ditengok. Dia dihukum." Suaminya membalikan badan sembari menenteng sepiring capcay untuk dijadikan menu makan siang.

"Lily dianiaya, dia kesakitan, dan kamu tega membiarkan anak kita begitu?" Mama menasihati suaminya seraya duduk di kursi makan. "Dia di-bully."

"Penindasan selalu ada penyebab. Lily yang ceroboh."

Ista tertegun, tentulah sakit mendengarnya. "Itu salah kita. Dan kamu tidak sebersit pun ingin menindaklanjuti atas penindasan itu? Atau kamu hanya ingin dapat hasil keringat Lily saja? Kamu keterlaluan."

"Sebetulnya saya sudah tahu kejadian itu lebih awal. Kenapa saya tidak memanjangkan masalah? Malas. Anak itu sudah malas belajar apalagi saya? Dan ingat, saya tidak ingin kamu ke Jakarta lagi. Lily sudah besar, dia sudah sepatutnya merenungi nasib sialnya itu."

"Dia hanya bolos satu mata pelajaran. Dan kamu menghukumnya berlebihan."

"Itu cara kerjanya mendidik anak. Semoga Lily bisa berpikir di mana letak kesalahannya." Acuh tak acuh Aryo membalas.

"Baik, kamu ingin menghukum Lily tidak boleh pulang ke Bandung selama setahun! Tapi tidak sepatutnya kamu diam polos begitu ketika Lily ditindas tidak manusiawi."

Aryo menatap istrinya, begitu gelap. "Itu sudah keputusan saya. Kamu tidak usah ikut campur."

"Bila begitu, kamu pun tidak boleh ikut campur dalam urusanku. Bertemu Lily ke Jakarta adalah keputusanku." Ista mengatur napasnya, ia menatap menantang.

"Apa yang saya putuskan sungguh baik. Lagipula dia sudah besar. Tahu mana kebahagiaan, kebebasan, dan kesibukan tersendirinya."

Ista tersenyum jengkel, mulai berdiri dari kursi meja. "Kamu sedang menyindir diri sendiri rupanya?"

"Saya ingatkan lagi. Lily akan mendirikan bisnis besar nantinya, bisnis warisanku. Dan dia harus belajar memilih kebenarannya sendiri."

Benar-benar tak paham jalan pembicaraannya. Ista tak kuasa menahan emosinya lagi. "Dia perempuan, Aryo! Kamu selalu menganggap Lily itu laki-laki!"

"DIAM!" Aryo balas berteriak, bahkan sampai menggema ruangan. "Kamu tidak boleh keluar rumah. Ingat itu."

Dan untuk saat itu, Ista bungkam, ia sudah kalah telak. Juga pastinya dia takkan bisa menemui Lily untukk sementara waktu.

***

Pulang sekolah, awan lagi-lagi menangisi kota Jakarta. Membuat siswi-siswi yang tidak membawa payung ketakutan setengah mati. Untung saja Tuhan memberikan rintik air bukan batu atau yang sangat gilanya bukan semburan api.

Di saat pulang, di suasana sedang basah kuyupnya. Lily justru sedang sibuk berlari menuju toilet perempuan sekolah karena tak tahan buang air kecil. Salah dirinya yang meminum kopi terlalu banyak tadi istirahat.

Setelah buang air kecil, napas Lily melega. Ia akhirnya bisa pulang tanpa menahan sesuatu lagi. Dan ternyata dihadiahkan kembali oleh sedikit masalah di ruang toilet tersebut. Bukan karena pintunya tiba-tiba terkunci dari luar, tetapi ada seorang perempuan lumayan tinggi yang berdiri di depan mulut pintu dan melempar tubuhnya ke pojok toilet.

"Nu-Nura?" Lily berusaha memaklumi kelakuan cewek itu. Toh lemparan kasar tadi tidak begitu sakit, hanya kepalanya berbenturan dengan dinding kaca.

Nura tersenyum sinis. "Lo semakin hari semakin dekat Ryan, ya?"

Sekadar informasi selubung, ini hari pertama Lily masuk sekolah lagi setelah tiga hari tidak masuk, bukan kemauannya untuk mengijinkan diri sendiri sakit selama tiga hari, itu kemauan Ryan yang dirancang serius bersama Linda dan Kaze. Jelas Lily tak bisa menolak karena Linda, Kaze dan satu lagi, Ryan adalah teman baiknya sekarang.

Sesudah bencana kejar-kejaran dengan anjing, Lily dan Ryan menjalin kedekatan sebagai teman. Dan, ya, dugaan Nura memang benar.

"Jawab, nyet!"

"Iya."

Nura menampar pipi Lily cukup keras hingga tubuh mungil itu sedikit bergerak ke samping. Lalu wajah penuh teka-tekinya kembali terpancar. Wajah yang membuat hujan sore itu nampak horor, seakan-akan dunia sudah tak aman atas kehadiran sepasang wajah itu. "Lo bisa kan jauhi dia, gak dekat-dekat walaupun hanya sekadar teman?"

Bulu kuduknya berdiri bersama bulu halus di pipinya yang barusan ditampar. Bahkan Lily sudah tertangkap basah gemetaran di waktu kurang tepat. "Gu-gue gak dekat-dekat, kok. Lo jangan salah paham ...."

Nura mendekatkan wajahnya kepada Lily, sedikit membungkuk karena ketinggian. "Dia selalu memantau orang yang merusak rencana gua. Dia seperti vampir, ingin kebahagiaannya dilunaskan, ingin aksinya dimuluskan, pada dasarnya dia ingin darah lebih dan lebih. Lo sebagai perusak, lebih baik patuhi omongan gua karena Dia tidak main-main dalam hidup. Dan lo tahu? Dia itu gua sendiri."

Lama, Lily menggeleng ketakutan. "Gue bukan perusak, please, lo jangan salah paham," terasa kedua tangannya mendingin dan gemetar. Entah kenapa, perkataan Nura tadi seakan mengancam keselamatannya. Dan baru kali ini, Lily takut terjadi dengan keadaannya sendiri.

Apalagi Nura tengah menuduhnya perusak. Bukankah perusak perlu dimusnahkan?

Lambat-laun Nura menurunkan tangan Lily, menggenggam lalu mengelus punggung tangannya lembut. "Lo pasti belum pernah lihat tangan ini dipotong-potong, ya? Gua bisa aja lakuin itu, tapi berterima kasihlah karena bukan tangan lo korbannya." Nura lagi-lagi mendekatkan wajahnya, menambahkan hawa gelap di toilet tersebut. "Korbannya adalah orang terdekat lo sendiri."

"Jangaan," Lily menggeleng getir, tatapannya memohon, "jangan jangan jangan, jangan lakuin itu! Gue pasti jauhi Ryan demi lo. Jangan sakiti orang kesayangan gue, jangaan ...."

Nura tersenyum lalu mengusap kepala Lily sekali. "Gadis penurut."

Buuug!!!

***

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang