Ditawan: Part 3

906 9 0
                                    

Nyi Sarpa berlalu dari hadapan Haikal. Begitu juga Ki Upas segera menyuruh punggawa-punggawa untuk memindahkan Aldi dan Haikal ke alun-alun.

Sekarang beberapa punggawa mulai berlalu lalang di antara Aldi dan Haikal. Obor-obor yang mereka bawa menerangi ruangan itu. Haikal memanfaatkan kesempatan itu untuk melihat kondisi Aldi.

Aldi sama mengenaskannya dengan kondisi Haikal. Tubuhnya terbelenggu pada sebuah papan. Mulutnya dibekap lakban, dan ia juga tidak menggunakan sehelai kainpun.

"Mmh!" Haikal berseru pada Aldi. Aldi yang semula tertunduk segera mengangkat kepalanya dan menatap Haikal.

Haikal dapat melihat tatapan Aldi yang sangat ketakutan dan putus asa. Matanya merah dan basah oleh air mata, sementara dadanya naik turun karena nafasnya sesenggukan.

Haikal sungguh tidak tega melihat Aldi seperti itu. Tanpa terasa air matanya juga mulai meleleh.

"Dasar cowok cengeng! Oh iya, kalian kan banci!" Ejek salah satu punggawa yang sudah berdiri di dekat Aldi, bersiap memindahkannya.

Papan di mana Aldi dan Haikal dibelenggu ditopan oleh sebuah tatakan di dasarnya. Di bawah tatakan itu dipasang empat roda sehingga mudah untuk dipindah-pindahkan.

"Sayang banget," ujar salah seorang punggawa perempuan sambil memegang kemaluan Haikal. Haikal membelalak, terkejut.

"...padahal gede kaya gini, eh, sukanya lubang t*i!"

Semua yang di ruangan itu tertawa. Haikal yang tidak terima kemaluannya tiba-tiba disentuh dan dirinya diejek, naik pitam. Ia meronta-ronta, "Mhh! Mhh!"

Plak!

Punggawa perempuan tadi baru saja menggampar kemaluan Haikal sambil membentak, "Diem!".

Haikal mengernyitkan wajahnya, kesakitan. Rasa ngilu menjalari testisnya. Ia sudah tidak kuat, air matanya berderai dengan deras.

Papan tempat Haikal lalu didorong keluar oleh dua punggawa, disusul oleh papan Aldi.

Keduanya kini sudah ditempatkan di atas sebuah panggung di alun-alun. Di depan panggung itu ada tumpukan kayu yang  disusun mengerucut. Rupanya itu kayu bakar untuk api unggun.

Sesaat kemudian, dua punggawa menyemburkan api dari mulutnya ke arah tumpukan kayu di depan panggung itu. Alun-alun sekarang terang benderang oleh api unggun itu.

Haikal dan Aldi  kini tampak jelas oleh penonton, sebaliknya mereka juga dapat melihat kerumunan yang menonton mereka. Para penonton yang rata-rata adalah gadis-gadis sekarang mendekat ke panggung. Namun ada juga pemuda-pemuda, terutama pemuda-pemuda yang berlagak kemayu seperti perempuan. Suara teriakan histeris mulai terdengar dari kerumunan penonton itu.

"Aaa ganteng banget yang kanan!" Ujar sebuah suara perempuan, mengomentari Haikal. "Kamu yang kanan apa kiri?"

"Aku juga yang kanan, deh." Lawan bicara perempuan itu, seorang lelaki kemayu, menjawab dengan centil, "Manly banget, top idaman. Ugh!"

"Keknya kalo pada diminta milih, pasti pada milih yang kanan, iya gak sih?" Ujar suara perempuan lain.

"Aku suka yang kiri, ah. Badannya pas, nggak terlalu berotot, cenderung kinyis-kinyis gemesin!" Ujar suara lainnya mengomentari Aldi.

Haikal menelan ludah. Ia merasa ngeri melihat pemandangan itu. Perasaan malu, mual dan sesak bercampur menjadi satu. Bayangkan, ia dipertontonkan dalam keadaan telanjang di muka umum.

Perasaan yang sama dialami oleh Aldi. Dia terus menangis ketakutan, kini ditambah rasa malu yang teramat sangat.

Seorang punggawa sekarang membuka lakban yang membekap mulut mereka berdua. Keduanya langsung saling berbicara.

Buaian Tubuh PerkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang