13.1 Menghindar

2 1 0
                                    

Lily meringis, merasakan perutnya berdenyut-denyut perih, tangannya yang meremas perutnya seakan sebagai obat dadakan untuk menghilangkan rasa sakit itu. Matanya tertuju pada cewek yang tersenyum licik itu.

"Makanya kalau jalan pakai mata!" sungut cewek licik itu dengan suara anggunnya.

"Dia buta," ralat seorang cowok dari belakang, kemudian melintasi perkumpulan para cewek yang baru saja mengerjai Lily. "Hati-hati, Girls, gue saranin jangan ceroboh, entar dipanggil BK lagi. Pahlawan si culun banyak."

Salah satu dari mereka berdecih. "Gak peduli kita."

Kemudian, setelah lenyapnya sosok cowok yang mengingatkan tadi, para cewek cantik itu pergi. Sebetulnya mereka ingin melakukan penindasan itu lebih lama sebagai hiburan para siswa yang melintasi koridor. Tapi nyali mereka menciut karena ucapan cowok tadi, walau mereka tahu cowok itu sama-sama berkelakuan biadab seperti mereka.

Bila cowok tadi hati-hati dalam hal ini, apalagi mereka yang lemah itu.

"Guys! Cuus, makan! Laper, niih!" 

Kepergian mereka untuk istirahat membuat Lily mampu meluangkan waktunya untuk berdiri pelan-pelan, perutnya tetap berdenyut nyeri, biasanya rasa sakit ditendang atau dipukul itu tak pernah lama sakitnya, tapi kali ini nyaris menusuk organ dalamnya.

Padahal hanya satu kali ditendang. Juga melalui pergerakan kecepatannya, tendangan salah satu dari mereka sungguh tak berasa. Seharusnya begitu.

"Perut gue sakiiit." Lily menekan perutnya lebih dalam. Baru sadar sakit perut itu berasal dari dalam tubuhnya. Namun, tak lama rasa nyeri itu mulai mereda. Untunglah.

"Kebanyakan minum kopi."

Lily menoleh ke sumber suara. Ia tersentak kaget.

"Biasa aja mukanya." Cowok itu berdelik tak suka, kakinya kemudian melangkah hendak menuju kantin lebih awal.

"I-iya," Lily tersenyum masam. "Lo kenapa tahu gue minum kopi?"

"Dari Ryan."

Lily terdiam menatap kepergian Rubay. Entah apa yang dicernanya dari jawaban Rubay tadi. Yang jelas Lily menduga Ryan pernah menceritakan tentangnya kepada sahabat patuhnya itu.

***

Lily menghampiri dua temannya yang sedang adu mulut itu di meja pojokan. Linda dan Kaze. Terkadang Lily berpikir ingin menjodohkan mereka berdua karena serasi. Bila mereka berpacaran pastinya akan menciptakan drama yang penuh abstrak.

Mata elang Linda mudah sekali menangkap tubuh Lily yang hanya berjarak beberapa meter. "Lo dari mana, sih? Lama kita nunggu lo. Dasar anak sibuk ...."

"Lo aja yang hidupnya hardolin," celetuk Kaze dengan wajah kalemnya seraya menyeruput jus mangganya. "Duduk, Ly."

Lily duduk di kursi yang kosong. "Tadi ada buku-buku yang musti gue antar ke ruang guru. Makanya agak lama ke sini."

"Bener-bener anak sibuk."

"Daripada lu hardolin."

"Bacot lo, Ze!" Linda berdengus mendengar kata ‘hardolin’. Singkatan legendaris asal sunda yaitu ‘dahar modol ulin’ yang menjadi gelar untuk orang memiliki hidup yang begitu-begitu saja, tidak ada kesibukan atau tidak ada kerjaan.

Mungkin sebagian orang tak ada yang mengira mereka bertiga asli tinggal di Bandung, anak berbahasa sunda yang lama-kelamaan kental berbahasa gaul Jakarta. Pengaruh interaksi selama hampir tiga tahun di Jakarta ini membuat bahasa sunda mereka bertiga jarang digunakan walau sebetulnya mampu.

"Ly, lo sepertinya punya masalah," Kaze bersuara serius, "muka lo kusut gitu."

"Masa?" Linda mengamati wajah Lily yang terlewat biasa-biasa saja. Tapi kantung mata Lily tampak menghitam. "Lo kelelahan ...."

Lily Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang