"Maksud kalian apa ingin membawa anak itu kembali? Bukannya kalian sendiri yang membuangnya saat tak memenuhi ekspetasi yang kalian inginkan?" Wanita dengan rambut pendek itu menatap marah dua orang yang duduk tenang dihadapannya.
Tentu ia tak bisa terima, bagaimana keluarga mereka membuang seorang bayi seperti sampah yang tidak berguna 15 tahun lalu. Kemudian datang padanya tanpa raut penyesalan sedikitpun untuk meminta kembali anak yang sudah ia besarkan dengan kasih sayang.
"Lail, ayah sakit. Dan hanya anak itu yang menjadi solusi terbaik agar ayah bisa bertahan. Mereka memiliki kesamaan yang langka. Rh-null, tentu bukan istilah asing bagi kita sesama dokter." Karalyn Soraya, wanita yang berada di hadapan Lail—Elaila si wanita rambut pendek berbicara.
Elaila hanya menatap sinis pada pasangan suami istri didepannya. Mereka dulunya adalah para senior yang begitu ia hormati, tapi kini justru menjadi orang yang begitu ia benci.
"Kami berjanji akan merawat anak itu dengan baik. Dia masih bagian dari Keluarga Baldwin, Lail." Karalyn memegang kedua tangan Elaila yang berada di atas meja. Elaila dengan cepat menarik tangannya.
"Kalian lupa ucapan ayah yang mencaci maki dan hampir membunuh bayi umur seminggu yang bahkan belum bisa melihat dunia hanya karena dia memiliki kekurangan. Mungkin ini karma ayah." Elaila tersenyum sinis.
Satu-satunya pria disana tak tahan melihat sikap Elaila yang tak bisa diajak kerja sama. Alkaezar Baldwin, menaruh tangannya di meja hampir setara menggebraknya.
"Jangan lupa bagaimana Keluarga Baldwin memungutmu dulu sampai akhirnya membuatmu bisa seperti sekarang. Ayah menyayangimu seperti anak kandungnya sendiri, Lail!" Alkaezar hampir berteriak. "Dari awal kesepakatan, anak itu adalah milik Keluarga Baldwin. Jadi kami berhak mengambilnya kembali."
"Kalian berdua dan seluruh Keluarga Baldwin, jangan harap bisa mengambil anakku selama aku masih hidup. Kalian semua manusia gila." Mata Elaila menatap keduanya dengan tajam. Ia berdiri dan berlalu cepat tak ingin berlama-lama membuang waktu untuk menanggapi kegilaan keluarga itu.
...
Setelah membayar taksinya, Elaila memasuki rumah dengan sedikit berlari karena gerimis yang tiba-tiba turun. Ia bersandar sejenak di pintu rumah minimalis yang hanya ia tinggali berdua dengan sang anak. Mengusap air hujan yang mengenai pakaian formalnya dengan tangan.
"Ruha! Kamu dimana sayang?" panggilnya pada sang anak. Ia mencari ke beberapa tempat dimana sang anak biasa berada. Tak menemukan dimanapun, Elaila menuju tempat terakhir yaitu teras belakang rumah.
Senyum Elaila terkembang sempurna melihat punggung kecil sang anak yang tengah berjongkok di tepi teras dengan tangan menadahi tetesan hujan dari atap.
"Ruha, kenapa main hujan? Nanti sakit loh," ujar Elaila yang lagi-lagi tak mendapat respon. Atensinya lantas tertarik pada benda kecil yang tergeletak di meja samping pintu belakang. Ia mengambil benda tersebut dan mendekati Ruha yang masih asik dengan dunianya.
Tepukan pelan Elaila berikan pada pundak yang berlapis sweeter tebal berwarna biru itu, membuat sang anak berjingkat kaget sebelum menatapnya dengan senyum lebar. Ruha dengan cepat menubruk tubuh Elaila dengan pelukan hangat. Elaila balas mengusap rambut hitam legam milik Ruha.
Pelukan tak berlangsung lama, Elaila melepaskan kedua tangan Ruha dari perutnya dan menunjukkan benda kecil mirip wadah airpods yang ia ambil dari meja tadi. Kedua tangannya mulai bergerak mengatakan sesuatu.
"Bunda cari-cari kamu dari tadi tau. Bunda pikir kamu ilang." Elaila membuat ekspresi cemberut seolah merajuk membuat Ruha menatapnya menyesal.
"Maaf bunda. Ruha tadi abis dari kamar mandi, terus lihat hujan turun jadi Ruha ke teras belakang. Ruha lupa pakai alat bantu dengarnya lagi." Meskipun hanya dengan isyarat tangan berhasil membuat Elaila mencubit gemas pipi gembul milik Ruha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mellifluous
Teen FictionKetika kehidupan monoton Gasya menjadi berwarna karena kehadiran sosok 'adik' yang tak ia duga. "Lo anak selingkuhan papa? Ngaku." Telunjuknya mengarah pada wajah polos anak itu. Yang ditatap hanya berkedip pelan. Bocah lima belas tahun yang dipungu...