“Nenek moyang kita diberkahi Tuhan lewat alam.”
Kalimat itu seakan menjelma menjadi ruh di desa ini, desa Purnamasari. Orang-orang selalu menyelipkan kalimat itu saat mereka memuji betapa indahnya alam tempat mereka tinggal. Diceritakan dari generasi ke generasi, lewat mulut seorang nenek yang menemani cucunya tertidur sambil menatap kerlip bintang di malam hari atau lewat mulut seorang ibu saat menemani anaknya pergi ke sekolah menyusuri persawahan hijau yang menyejukkan hati.
Kadang kala kalimat itu terselip di antara ucapan syukur yang mengudara, saat seorang petani melewati masa panen yang melimpah, karena tanah subur tak pernah absen menghidupkan apapun tanaman yang ada di atasnya, atau ketika seorang nelayan bersukacita menyambut hasil tangkapan ikan, karena yang didapat ternyata melebihi harapan.
Begitulah cara para warga di desa Purnamasari bersyukur dan menghargai pada apapun pemberian alam, sesederhana seperti saat mereka mengukir kata di atas pasir dengan kayu.
Begitulah, sebelum semuanya tergerus oleh waktu dan tangan-tangan rakus mulai berdatangan menjamah isi alam, menghilangkan keseimbangan.
***
Bapak datang diiringi senyum hangat seperti biasanya, salamnya lupa untuk kujawab karena aku terlanjur tertarik pada sebuah bungkusan plastik yang terkait di antara jemarinya.
“Nih, makan sama adikmu,” ujar bapak seraya menyodorkan bungkusan yang sedari tadi aku tunggu-tunggu itu.
Aku segera membukanya dengan semangat, seraya memanggil-manggil Raka yang sedang berada di kamarnya.
Tak menunggu waktu lama, satu potong martabak lolos ke dalam mulutku, saking menikmatinya sampai aku lupa menawarkan kepada ibu.
“Besok ada kenduri di aula desa.”
Perhatianku teralih pada pembicaraan bapak dengan ibu, telingaku mendadak berdiri ketika mendengar kata ‘kenduri.’
“Ada kenduri apa, Bu?” tanyaku. Ibu mendekatiku dan Raka, kemudian ikut menikmati martabak bersama-sama.
“Sepertinya acara syukuran dan silaturahmi, tapi kata bapak, akan ada tamu luar desa yang datang. Kalian berdua besok datang saja, katanya ada banyak makanan di sana,” ujar ibu.
“Memang anak kecil boleh datang, Bu?” tanya Raka.
“Boleh, semua warga desa diundang,” balas ibu.
Keesokannya, pagi-pagi sekali aku sudah melihat banyak warga desa berduyun-duyun menuju ke arah jalan yang sama. Aku melongo menatap pemandangan itu, pikiranku menebak bahwa kenduri yang dimaksud ibu pastilah kenduri besar.
Tapi, sayangnya aku harus berangkat sekolah.
“Nanti kalian datang sehabis pulang sekolah saja, ya,” seru ibu membuatku semakin tak bersemangat pergi ke sekolah.
Alhasil, aku tak bisa berkonsentrasi selama pelajaran berlangsung. Pikiranku benar-benar tertuju pada kenduri itu, meskipun ragaku berada di kelas. Saat pelajaran berakhir, aku segera melesat pulang bersama teman-teman, langkah kami terburu-buru menuju rumah, lalu berganti pakaian secara kilat, sebelum akhirnya pergi menuju aula desa.
Sesampainya di aula desa, aku terpaku dengan pemandangan di hadapanku. Benar ternyata, ini kenduri besar, karena kulihat dekoran di ruangan itu seperti dekoran yang ada di acara-acara pernikahan. Juga yang tak kalah menarik perhatianku, terdapat meja-meja yang berjajar rapi dengan suguhan aneka makanan diletakkan di atasnya. Aku dan teman-teman pun segera menghampiri meja-meja itu, kemudian mengambil dan menyantap segala makanan yang sangat menggoda mata itu.
Di depan sana, kulihat ada pak lurah dan beberapa orangtua yang sangat aku kenali, beserta wajah-wajah asing yang belum pernah kulihat sebelumnya. Kuhitung-hitung ada sepuluh orang yang tidak kukenal, tapi wajah-wajah asing itu sungguh bersih seperti tak pernah tertimpa cahaya matahari, tubuhnya dibalut dengan pakaian yang begitu rapi dan terlihat sangat gagah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Ruang dalam Kehilangan
Short StoryMengartikan kehilangan melalui pandangan seorang anak kecil. Adi berpikir bahwa semua deritanya karena alam terlanjur marah kepada manusia, hingga semua hal berharga yang dimilikinya, dirampas tanpa ampun tanpa sangka.