Akhir pekan ini Gasya habiskan dengan bermalas-malasan di rumah. Sebenarnya ia ada janji dengan trio kunyuk akan berkumpul bersama di rumah Rajendra. Tapi pagi tadi ia mendapat mandat tiba-tiba dari mamanya untuk tetap di rumah menjaga Ruha karena selain mereka berdua sekarang, tak ada manusia lain lagi di rumah ini.
ART rumah meminta izin selama seminggu untuk balik kampung, sedangkan sopir pribadi keluarganya mengantar sang mama yang pagi ini ada seminar di luar kota.
Papanya? Jangan tanya. Pria itu belum pulang ke rumah selama sebulan, sibuk di rumah sakit.
Bosan hanya scroll layar ponsel selama dua jam, Gasya memutuskan bangkit dari kasurnya dan keluar kamar. Ia menuju dapur untuk mengambil air. Keadaan rumah sekarang benar-benar sepi. Gasya beralih berjalan ke ruang tengah dan menatap pada lantai dua.
Ia baru ingat sesuatu, mamanya sempat berpesan untuk memastikan bocah itu sarapan dan minum obat pukul delapan tepat. Matanya dengan cepat melirik jam dinding di ruang tengah, dan sekarang pukul sembilan.
"Bego, telat sejam. Ngaruh gak ya."
Gasya bergegas kembali ke dapur menyiapkan sarapan dan juga obat yang biasa dikonsumsi Ruha. Kalau tak salah ingat, obat itu ditaruh di laci khusus yang berada di dapur dekat rak piring.
Semangkuk oatmeal, segelas air dan tabung obat telah siap dalam sepuluh menit di atas nampan. Gasya segera membawanya ke lantai dua. Sebenarnya dia orang yang paling anti direpotkan, kalau saja bukan mamanya yang meminta ia tak akan peduli dengan bocah bernama Ruha itu.
Ketika Gasya membuka pintu bercat putih itu, hal pertama yang ia lihat adalah Ruha yang tengah fokus menggambar di ranjangnya dengan berbagai macam krayon berceceran. Tak ketinggalan Garfield yang tidur nyaman di samping anak itu.
Gasya menaruh nampannya di atas meja, lantas mendekat untuk melihat gambaran yang tengah Ruha buat. Sebuah gambar separuh jadi seorang anak yang bermain layang-layang di padang rumput. Tanpa sadar Gasya mengakui bakat seni Ruha yang cukup mengagumkan.
"Aaa—"
Krayon kuning yang Ruha pegang jatuh. Ia memekik terkejut dengan Gasya yang tiba-tiba berada di sampingnya. Gasya sama terkejutnya mendengar pekikan kecil tersebut dan mundur beberapa langkah.
"Gue cuma—" perkataan Gasya terhenti. Ia berganti mengetikkan sesuatu di note ponsel dan menunjukkan kepada Ruha yang memasang tampang bingung.
Sarapan sama obat. Tulis Gasya pada note sambil menunjuk nampan di atas meja. Ruha hanya menatap nampan itu.
Melihat tak ada tindakan apapun yang dilakukan Ruha, Gasya mengambil mangkuk oatmeal dengan tak sabaran dan menarik tangan Ruha untuk memegangnya.
"Ma... kan," kata Gasya dengan gestur mulut pelan agar Ruha mengerti.
Dan sepertinya berhasil, Ruha mulai menyendok sesuap demi sesuap oatmeal itu ke dalam mulutnya.
Gasya duduk menunggui, memastikan sarapan itu benar-benar habis dan Ruha juga meminum obatnya. Dua puluh menit berlalu, acara sarapan yang lumayan telat itu selesai. Obat juga telah diminum. Merasa sudah tak ada tanggungan lagi, Gasya membawa nampan beserta mangkoknya untuk kembali ke dapur. Tapi saat Gasya ingin melangkah pergi, tarikan pada kaos belakangnya membuatnya terhenti.
Ruha tersenyum kecil kearahnya. Tangan kanannya merapat dengan ujung jemari menyentuh dagu, kemudian melengkung turun lurus kedepan.
"Gue gak ngerti bahasa isyarat," kata Gasya dengan alis mengernyit.
Meski tak bisa mendengar ucapan itu, Ruha cukup tau dengan reaksi yang Gasya berikan. Jadi ia membuka halaman lain buku gambarnya dan menuliskan sesuatu dengan krayon disana. Ia menunjukkannya pada Gasya sebuah tulisan 'Terima kasih, Kak Gasya'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mellifluous
Teen FictionKetika kehidupan monoton Gasya menjadi berwarna karena kehadiran sosok 'adik' yang tak ia duga. "Lo anak selingkuhan papa? Ngaku." Telunjuknya mengarah pada wajah polos anak itu. Yang ditatap hanya berkedip pelan. Bocah lima belas tahun yang dipungu...