15. Crush Crash

18 1 0
                                    

Jadi wanita itu harus bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, begitu nasihat Emak yang seorang janda dari anak-anaknya kecil sampai tua. Kerja keras dan mengandalkan apa saja yang dimiliki untuk modal dagang adalah cara hidup Emak dari dulu. Yang juga diwarisi Mamiku lalu kepadaku dan adik-adikku. Tak satupun dari kami yang Cuma enak-enakan berpangku tangan dan minta uang orangtua. Keluarga kami sederhana tapi selalu berkecukupan. Mami punya toko sembako dan Papi usaha dealer mobil bekas. Kami bukan keluarga ambisius yang mengejar segala-galanya demi jabatan dan kekuasaan. Hidup tenang dan damai cukuplah dengan mengerjakan apa yang baik di mata Tuhan dan manusia.

Aku hidup dengan sedemikian eratnya etika ketimuran yang diterapkan di keluargaku. Wanita boleh bekerja dan menjadi pemimpin. Tapi dalam satu hal itu, wanita harus menunjukkan ke eleganan tersendiri yaitu tidak mengejar pria manapun.

Kata Emak, pria hakikatnya adalah pemburu dan pengejar. Mereka lebih menyukai seseorang yang di dapatkan dengan jerih payah. Tapi bagi sebagian mokondo dan kaum mageran sih mending ada yang mau sama dia. Pasti ogah ngejar cewek. Mending juga main PUBG.

Tapi hanya gara-gara hari ini aku menampakkan batang hidungku di GOR, aku rasanya sudah melanggar semua etika dan norma yang kujaga satu persatu dengan baik.

Rule 1, jangan pernah terlihat seolah kamu membuntuti your crush. Meskipun semutpun tahu kamu ngebet banget sama dia dan mencari tahu setiap jadwalnya, pastikan pertemuan kalian seperti tidak sengaja!

Hal ini terjadi secara tidak sengaja sore ini aku buru-buru kabur setelah fitting demi mendengar ceramah Mami tentang banyak hal. Ya terutama tentang jodoh lah apalagi. Mana mungkin mami mengajak berdiskusi tentang visi misi pemilihan presiden mendatang ketika diajak nobar debat saja Mami ketiduran. Jadi sore itu aku memutuskan mengiyakan kegiatan latihan Badminton Tiara dan ibu-ibu PKK.

Aduh sekali ini aja deh aku ikutan karena ini lebih ke pasar bersama ibu-ibu senam dari pada main badminton. Tapi hal itu tergantikan dengan datangnya bapak-bapak Kepala Dinas beserta Mas Raditya.

Ulang, katanya Mas Raditya lagi di Jakarta? Tapi ternyata malah ada di tempat ini adalah sebuah mukjizat. Tapi aku mau ngapain emangnya?

Akhirnya aku memilih untuk menghampiri dan menyapa Mas Raditya. Meski kemudian itu hal yang aku sesali. Mas Raditya menjawabku dengan baik dan tersenyum meski masih dengan keringat yang terus menetes.

"Hei.. oh ya, Gwen ya? Apa kabar?" Mas Radit mengangkat kedua tangannya, menariknya jauh-jauh padahal tanganku sudah terulur.

"Baik Mas," jawabku pelan sambil menahan senyum kecil.

"Oh, tumben hari ini disini?" tanyanya sedikit basa basi tapi okelah aku masih maklum. Aku harus siap-siap menjawab.

"Iya, hari ini bersama sahabat saya.." Aku celingukan melihat Tiara yang sudah di ujung lapangan bersama dengan seorang mama muda lainnya, sedang asyik dengan tepok bulunya.

"Oh iya? Wah, jadi bakal sering kemari?" tanya Mas Radit. Aku insecure asli. Kalau aku salah jawab bisa-bisa dia besok malah nggak mau datang lagi karena males bertemu denganku.

Ah tapi siapa gue?! Gwen bukan siapa-siapa yang harus sampai dihindari.

"Eh, hanya kalau diajak sih, Mas.." sahutku malu-malu. Ini kemana sih Gwen yang pencilakan bak kerasukan Badarawuhi yang biasanya. Ketika di depan beliau ini jadi malu-malu.

"Oh ya Mas.. uhm, kalau boleh minta tolong donk.. uhm, kalau boleh video ucapan buat ..."

"Hah? Iya sebentar..." Mas Radit melambai kepada seseorang di balik net sana. Dan betapa dongkolnya ketika melihat orang itu adalah Reza.

"Gimana Gwen?" tanyanya kembali. Tapi aku terdiam. Aku menggeleng pelan.

"Tidak apa-apa Mas, lain kali saja..." ujarku mengangguk pelan. Mas Raditya tersenyum kecil dan menepuk pundakku – lagi. Sebelum dia akhirnya berpamitan untuk melanjutkan permainan.

Duh, apa-apaan sih aku! Kenapa keburu ilfil melihat Reza di sana membuatku kehilangan momen penting. Kalau tahu begini kan aku bisa meminta foto dan video! Belum tentu juga beliau ada disini besok! Apa iya besok aku mau kesini lagi? NO WAY!

Duh sekali ini aja seorang Gwen kesini! Semua pandangan mata para Kadis itu terarah kepadaku ketika aku berbincang dengan Mas Radit. Apalagi para ibu PKK yang sibuk tepok bulu tapi karena biasanya bulu idung doank akhirnya lebih banyak teriak-teriak "Eee nggak kena.. ee nggak kena!"

Aku memilih keluar dari lapangan indoor badminton tersebut, mencari tempat yang sejuk. Di dalam suasananya bukan Cuma panas tapi juga penuh dengan bau amoniak. Aku paling tidak tahan dengan bau keringat cowok.

Oke Mas Radit pengecualiannya.

"Ngapain kamu disini? Masih ngebet aja sama si Bos?" Itu suara menyebalkan yang tiba-tiba terdengar di sebelahku. Aku menoleh dengan enggan. Si Reza dengan wajah yang selalu menyebalkan itu membuatku ingin kabur jauh-jauh.

Aku tidak menjawab. Dan dia meneruskan ocehannya, sementara bajunya pun basah oleh keringat.

"Besok ulang tahunmu kan?" Reza berucap dengan nada sinis. "Mau minta apa tadi? Minta ucapan ulang tahun dari dia?"

Seringai menyebalkan itu muncul di bibirnya. "Udah deh, kamu nggak usah berharap bakal dapat sesuatu yang spesial dari si Bos! Siapa elu? Temen bukan, bawahan bukan."

Aku mendengus sebal. Sebalnya lagi pada diriku yang sama sekali tidak bisa membantah karena hal itu benar adanya.

"Ya kan? Kau pikir setelah novelmu berhasil terbit dan mendapatkan penghargaan, kau akan mendapatkan perhatian yang special darinya juga? Mimpi!" Reza menyeringai lagi. Kalau dilihat-lihat dia lebih mirip siluman serigala di GGS temennya si Prilly, tapi ini versi keracunan Kecombrang!

"Kau tahu novel cetakmu yang dihibahkan itu ditaruh dimana?" Mendengar kata-kata "Novel" aku mencelos. Aku mengangkat kepalaku dengan jengah.

"Bos menaruhnya di laci bawah meja kerjanya. Bentar lagi mungkin akan dikilokan!"

Baiklah! Aku masih bisa mentolerir rasa sakit hatiku akibat kata-katanya tentang siapa aku. Tapi ketika mengetahui apa yang dilakukan Mas Radit terhadap karya yang aku tulis sepenuh hati siang dan malam itu, hatiku teriris semakin dalam.

"Maksud lo apa sih ngomong gini ke gue? Biar gue terpancing gitu?" ujarku mencoba tenang meski suaraku sudah bergetar tidak karuan.

Reza tersenyum sinis, sesinis Onta salah minum air tajin!

"Maksud gue ke lo adalah biar lo sadar! Lo cuma mimpi kosong! Percuma lo pertahanin macem-macem! Tetep lo bukan siapa-siapa dan mimpi lo hanya akan dipandang sebelah mata!" Reza menunjuk tepat di depanku. Sepertinya si keturunan Thanos ini sedang balas dendam setelah aku kata-katain kapan hari.

Aku menghela nafas lalu dengan suara berat aku berkata balik, "Heh, ubi rambat kurang pupuk. Dengerin ya... kalau emang jadi hater gue buat lu ngerasa di atas angin. Oke. Go on! Tapi inget, posisi lo disini juga krusial. Posisi ADC nggak boleh banyak bacot! Apalagi hal-hal nggak penting ngomentarin bos lu! Iya, anda berseragam ni. Tapi inget, salah langkah, seragam anda jadi oranye bos!"

Reza sempat tidak menyangka aku bakal membalasnya kembali.

"Ngomong-ngomong masalah karyaku dibaca atau dipake buat bungkus bawang merah, itu terserah dia. Uang kertas aja bisa jadiin kain pel saking tajirnya beliau. Apalagi cuma karya picisan kayak novelku. Justru aku berharap beliau tidak membaca, jadi tidak tahu betapa diluar nalar dan akal sehatnya kehaluanku terhadap beliau!" Aku menjeda perkataanku.

"Oh ya mengenai gue yang terlalu berharap. Iya, emang gue berharap. Emang kenapa? Nggak boleh? Setelah semua yang gue lakukan buatnya! Sedikit berharap sah-sah aja kan. Perkara diberi atau tidak, urusan gue! Ngapa lu yang ribet kayak ibu-ibu kalah arisan panci!"

Boom! That's the last missile.

Sekali lagi aku ngeloyor pergi. Sudahlah, aku hanya ingin ketenangan!

Setelah bergegas ganti baju, aku menelepon Gita.

"Ti.. Bilang Mami ya.. Aku ke Bromo! Kalau ditanya mau ngapain? Bilang aja, mau ikutan upacara Kasodo!"

***

Gwen-chana [Season 1 Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang