Sepanjang lorong atensi seolah tiada habisnya menyoroti. Agak menjijikan bagi Nio kala menyadari bahwa pandangan tersebut tentunya diberikan oleh mayoritas siswa. Patut disyukurinya jika maksud tatapan itu nyatanya tak lebih dari rasa dengki hingga secara tersirat menyatakan penolakan keras terhadap kedatangannya.
Mengangkat bahu, Nio mana peduli. Jika boleh memilih pun dia tak sudi menginjakkan kaki ke sekolah khusus anak laki-laki. Baginya, itu merupakan suatu keputusan yang justru merugikan. Yang mana Nio tak lagi bisa memanfaatkan wajah rupawannya untuk bermain perasaan dengan banyaknya gadis yang menyatakan cinta padanya.
Untungnya lagi, Darren tak cukup tega untuk ikut memasukkannya ke dalam asrama, meskipun kecamannya beberapa saat yang lalu lumayan membuatnya sedikit merasa takut.
“10-B, ‘kan?”
Nio menggaruk asal surai belakangnya. Seingatnya benar inilah kelasnya, tapi kenapa mereka menutup pintu?
Usai berdecih, Nio lantas segera membuka paksa pintu tersebut. Lumayan kasar karena berakhir dengan suara bantingan dari pintu tersebut dan dinding yang ada di sebelahnya. Matanya menampilkan sorot polos tatkala melihat adanya sosok guru beserta anak-anak didiknya di dalam yang awalnya mungkin sedang asyik dengan pelajaran, justru buyar oleh kedatangan si barbar.
“Pagi, Pak! Saya murid baru di kelas ini!”
Bukankah anak ini patut untuk didisiplinkan? Bahkan Darren selaku orang tua terkait saja tidak cukup sanggup sampai memberikan penolakan keras ketika sang istri mengaku ingin menambah momongan.
Satu Nio saja sudah cukup ampuh untuk menghancurkan rumah, apalagi dua atau tiga Nio!
୨୧
“Lumayan juga.”
Itu adalah kalimat yang menggambarkan kondisinya setelah tiga jam penuh menghabiskan waktunya di sekolah sejenis. Tidak seperti sekolah-sekolah yang sebelumnya ia datangi, meskipun ada banyak laki-laki, tapi di sini mereka tak menyebalkan oknum siswa yang sebelumnya ia tahu.
Terutama oleh penghuni di kelasnya. Jika hitungan Nio tidak salah, ada lima belas orang yang mendekam di kelas ini termasuk dirinya. Dan tidak ada yang berniat mencari masalah dengannya, walaupun terbilang ada banyak kesempatan untuk menyerangnya di jam kosong seperti sekarang ini.
“Akhirnya, gue dapet sesi kedamaian juga,” gumamnya panjang sambil meregangkan tangannya di bangkunya sendiri, sementara yang lain tampak bergaul dengan sebaya dan tengah asyik sendiri.
Tidak punya teman? Bukan hal yang memberatkan karena Nio memang tak tertarik dengan hal yang demikian. Setidaknya merasa ditolak sejujurnya lebih baik karena minimnya interaksi menjauhkannya dari tipikal teman yang harusnya dia hindari. Lagipun, dia bukan perempuan yang kemana-mana harus minta ditemani. Menjadi kesepian di sekolah justru terasa tidak seburuk itu.
“Skylar.”
Matanya bergulir dan dengan spontan memberikan lirikan sinis. Siapa orang gila yang merasa dirinya cukup kompeten untuk memanggil nama rumahnya dengan nada secanggung itu?
Lelaki yang tengah berdiri di samping mejanya tersebut bergerak membenarkan kacamatanya yang melorot dari hidungnya. Iseng, Nio alihkan pandangannya ke arah bordir nama yang ada di dadanya. “Gue Ketua Kelas. Sekedar memastikan, nama lo gue masukin ke daftar anggota kebersihan kelas di hari Jum'at. Jadi, gue harap lo nggak ikut pulang duluan nanti. Jangan lupa tugas lo buat bersihin kelas.”
KAMU SEDANG MEMBACA
CARAT CAKE +jaeno
FanfictionJatuh cinta itu musuh akal sehat, katanya. [Jung Jaehyun - Lee Jeno]